Ninurta Dan Imdugud (Mitologi Sumeria)
Makhluk itu berkepala singa dan bersayap elang. Wujudnya menunjukkan
agresi di bumi dan di surga. Dia mengaum seperti guntur dan cakarnya sekuat
cakar singa. Enlil berkata, “Dari mana makhluk ini berasal? Siapa yang sudah
melahirkan makhluk seganas ini?”
Enki menjawab sang penguasa, “Tidak diragukan lagi bahwa banjir membawa
air murni dari para dewa jauh di bawah bumi. Bumi yang luas mengandung dia, dia
adalah seseorang yang lahir di bebatuan gunung, dan namanya adalah Imdugud.
Biarlah dia melayanimu dengan teguh. Hendaklah dia selalu menghalangi jalan
masuk ke tempat suci, rumahmu di tempat suci itu.”
Sang penguasa menyetujui jawaban yang dia berikan kepadanya, dia
mengambil tempat-tempat suci dan menugaskan semua tempat dewa menjadi tanggung
jawabnya. Enlil menjadikan Imdugud sebagai penjaga, dia melayaninya dengan
teguh, dia selalu menghalangi jalan masuk ke tempat suci, rumah Enlil yang
suci.
Imdugud mandi di air murni dari baskom air suci Enlil di hadapannya,
matanya melihat pada ornamen supremasinya, pada mahkota agungnya, pakaian
ilahinya, Imdugud memandangi tablet takdir di tangannya. Imdugud lalu berkata,
“Biarkan aku menjadi orang yang mengambil tablet takdir para dewa, biarkan aku
mengambil alih tanggung jawab semua dewa, biarkan aku memiliki tahta untuk
diriku sendiri, biarkan aku mengambil alih kekuasaan atas otoritas ilahi,
biarkan aku memberikan perintah pada para Igigi.”
Imdugud sudah mencuri Tablet Takdir, otoritas ilahi digulingkan, Sang raja dan penasihat para dewa, Enlil, terdiam. Kemegahan ilahi runtuh, keheningan kematian berkuasa, Para Igigi kebingungan. Tempat suci itu memancarkan kemegahan ilahinya. Para Anunna berkumpul, satu demi satu, untuk menyusun rencana.
An, dewa surga dan ayah bagi Enlil
dan Enki, berbicara kepada para dewa anak-anaknya, “O dewa, siapa yang akan
membunuh Imdugud, dan menjadikan namanya sebagai nama yang paling agung?”
Mereka memanggil sang penguasa kanal, putra An. Sambil memikirkan
rencana, dia berkata kepadanya, “Wahai Ishkur, kau perkasa, serang Imdugud
dengan senjatamu. Namamu akan menjadi yang terbesar di antara para dewa besar,
kau tidak akan memiliki yang setara di antara para dewa, saudara-saudaramu.
Tunjukkan dirimu yang utama di hadapan para dewa, namamu adalah 'Yang
Mahakuasa'.”
Ishkur menjawab An ayahnya, dengan mengatakan kata-kata ini, “Ayahku,
siapakah yang akan bergegas pergi ke gunung yang tidak bisa dijangkau? Siapakah
putramu yang bisa mengalahkan Imdugud? Dia sudah mengambil tablet takdir, dia
sudah merampas mes dari para dewa, Imdugud sudah mengangkat tinggi
kepalanya seperti Enlil. Perintahnya sudah menjadi seperti perintah Ekur yang
ilahi, dia cukup berkata, dan orang yang dikutuknya akan berubah menjadi
tanah.”
Mendengar perkataannya para dewa menjadi putus asa, dia berbalik, dia
menolak untuk pergi. Mereka lalu memanggil Gibil, anak sulung Annunitum. Sambil
memikirkan rencana, dia berkata kepadanya, “Wahai Gibil, kau perkasa, serang
Imdugud dengan senjatamu. Namamu akan menjadi yang terbesar di antara para dewa
besar, kau tidak akan memiliki yang setara di antara para dewa,
saudara-saudaramu. Tunjukkan dirimu yang utama di hadapan para dewa, namamu
adalah 'Yang Mahakuasa'.”
Gibil menjawab An, dengan mengatakan kata-kata ini, “Tuanku, siapakah
yang akan bergegas pergi ke gunung yang tidak bisa dijangkau? Siapakah putramu
yang bisa mengalahkan Imdugud? Dia sudah mengambil tablet takdir, dia sudah
merampas mes dari para dewa, Imdugud sudah mengangkat tinggi kepalanya
seperti Enlil. Perintahnya sudah menjadi seperti perintah Ekur yang ilahi, dia
cukup berkata, dan orang yang dikutuknya akan berubah menjadi tanah.”
Mendengar perkataannya para dewa menjadi putus asa, dia berbalik, dia
menolak untuk pergi. Mereka lalu memanggil Shara, prajurit pribadi An. Sambil
memikirkan rencana, dia berkata kepadanya, “Wahai Shara, kau perkasa, serang
Imdugud dengan senjatamu. Namamu akan menjadi yang terbesar di antara para dewa
besar, kau tidak akan memiliki yang setara di antara para dewa,
saudara-saudaramu. Tunjukkan dirimu yang utama di hadapan para dewa, namamu
adalah 'Yang Mahakuasa'.”
Shara menjawab An, dengan mengatakan kata-kata ini, “Tuanku, siapakah
yang akan bergegas pergi ke gunung yang tidak bisa dijangkau? Siapakah putramu
yang bisa mengalahkan Imdugud? Dia sudah mengambil tablet takdir, dia sudah
merampas mes dari para dewa, Imdugud sudah mengangkat tinggi kepalanya
seperti Enlil. Perintahnya sudah menjadi seperti perintah Ekur yang ilahi, dia
cukup berkata, dan orang yang dikutuknya akan berubah menjadi tanah.”
Karena sudah kehabisan akal, para dewa berhenti membuat usul. Para Igigi,
membentuk majelis, yang sedang kacau balau membahas masalah tersebut. Enki yang
penuh hikmat, yang bersemayam di kedalaman Abzu, dewa yang penuh akal, berkata
kepada An, ayahnya, dan Enlil, kata-kata dalam hatinya, “Biarlah aku memberi
perintah. Biarkan aku menunjuk orang yang akan menjadi penakluk burung Imdugud
di antara para dewa.”
Ketika para Igigi mendengar Enki berkata, mereka berkumpul dan memberi
penghormatan kepadanya. Dia memanggil Ninmena, penguasa rencana-rencana ilahi,
dia berbicara tentang kebesarannya yang luar biasa di antara para hadirin,
“Berikanlah kami yang perkasa, kekasihmu yang mulia, yang berdada lebar,
pemimpin tujuh pertempuran. Ningirsu, yang perkasa, kekasihmu yang terberkati,
yang berdada lebar, panglima dalam tujuh pertempuran!”
Ketika dia mendengar kata-kata Enki, dia yang memiliki kebesaran yang
luar biasa, Belet-ili, menyetujuinya. Mendengar
ucapannya, para dewa bergembira, mereka berkumpul dan memberi penghormatan
kepadanya. Dalam pertemuan para dewa, dia memanggil yang perkasa dari para
dewa, putranya, yang sangat dicintainya, dia perintahkan, dengan berkata kepadanya,
“Di hadapan An dan Enlil yang mulia, mereka sudah berdiskusi dalam sidang
tentang apa yang terjadi dengan wewenang ilahi mereka. Para Igigi, aku
melahirkan mereka semua, aku memberikan kehidupan kepada para dewa, satu dan
semuanya, aku adalah Mami! Aku menunjuk kekuasaan kepada saudaraku, An, sebagai
raja surga. Imdugud sudah melemparkan ke dalam kebingungan kedaulatan yang aku
sendiri tunjuk, dia sudah merampas mes, dia sudah berbuat salah terhadap
ayahmu.”
“Serbu jalannya, tetapkan batas waktu, buatlah terang keluar untuk para
dewa yang sudah kuberi kehidupan. Luncurkan seranganmu yang menentukan, buatlah
angin jahatmu bertiup, biarkan gunung jatuh dengan tenang. Taklukkan Imdugud,
terjanglah tanah tempat dia dihidupkan, buatlah tempat tinggalnya berguncang,
biarkan baju zirahnya berbenturan dengannya, biarkan seranganmu yang mengerikan
terus mengamuk kepadanya, biarkan angin puyuh dengan tegas menghalanginya.”
“Tarik busurmu, biarkan anak panahmu membawa racun, biarkan kutukan
teriakan perangmu menimpanya, biarkan dia mengembara dalam kegelapan, menjadi
bingung, penglihatannya gagal. Jangan biarkan dia menghindar darimu, biarkan
sayapnya jatuh dalam konfrontasi, biarkan wajahmu berubah menjadi wajah iblis,
kirimkan kabut sehingga dia tidak bisa mengenali dirimu. Semoga matahari di
atas sana tidak menyinarinya, semoga hari yang cerah berubah menjadi hari yang
suram baginya! Potong hidupnya, taklukkan Imdugud! Biarkan angin membawa
bulunya ke sini sebagai kabar gembira, di depan Ekur, ke arah ayahmu, biarkan
angin membawa bulunya ke sini sebagai kabar gembira.”
Sang pahlawan mendengarkan perkataan ibunya, orang yang gagah berani
dalam peperangan menjadi perkasa, dia menunggangi kereta perang menuju ke
pegunungan. Kereta itu digunakan untuk tujuh pertempuran, kereta itu
menimbulkan debu dari tujuh pusaran angin, kereta itu diikat untuk menghadapi
tujuh angin jahat. Karena kereta perangnya, karena kekuatannya, para dewa
gunung jatuh tak bergerak.
Sang dewa muncul di gunung Imdugud. Saat dia bergegas maju ke arahnya,
Imdugud mulai gemetar karena marah padanya, dia menggeram bagaikan setan badai,
cahayanya yang menakutkan menyelimuti pegunungan. Imdugud mengaum seperti
singa, terbawa oleh nafsu, dalam kemarahan hatinya dia berteriak kepada sang
pahlawan, “Aku sudah membawa tablet takdir. Aku memiliki kekuatan untuk
mengubah tugas para dewa. Kau yang datang untuk berperang denganku,
pertanggungjawabkan dirimu.”
Ningirsu yang gagah berani menjawab Imdugud, “Aku adalah putra Ekur,
pendukung Enki, penguasa takdir, aku datang ke sini untuk membalas dendam Enlil,
aku datang ke sini untuk menghancurkanmu, aku datang ke sini untuk melepaskan
baju zirahmu.”
Ketika Imdugud mendengar hal ini, dia mengeluarkan teriakannya yang
menakutkan di bagian terdalam gunungnya. Baju zirah keduanya beradu, berlumuran
darah, pertempuran terus berlanjut, menggelegar di antara mereka. Ningirsu
putra Mami, harapan An dan Enlil, kekasih Enki, melepaskan anak panah ke
arahnya. Anak panah itu tidak mendekati Imdugud, anak panah itu kembali
kepadanya. Imdugud berteriak kepadanya, “Anak panah yang datang kepadaku,
kembalilah ke semak belukarmu, tali busur kembalilah ke domba-dombamu, busur
kembalilah ke hutan, bulu kembalilah ke burungmu.”
Ningirsu lalu berbicara kepada Sharur, senjatanya yang agung, “Kembalilah
kepada Enki dan katakan kepadanya, bahwa aku muncul di gunung Imdugud. Saat aku
bergegas maju ke arahnya, Imdugud mulai gemetar karena marah padaku, dia
menggeram bagaikan setan badai, cahayanya yang menakutkan menyelimuti
pegunungan. Imdugud mengaum seperti singa, terbawa oleh nafsu, dalam kemarahan
hatinya dia berteriak kepadaku, ‘Aku sudah membawa tablet takdir. Aku memiliki
kekuatan untuk mengubah tugas para dewa. Kau yang datang untuk berperang
denganku, pertanggungjawabkan dirimu.’”
“Aku menjawab Imdugud, ‘Aku adalah putra Ekur, pendukung Enki, penguasa
takdir, aku datang ke sini untuk membalas dendam Enlil, aku datang ke sini
untuk menghancurkanmu, aku datang ke sini untuk melepaskan baju zirahmu.’”
“Ketika Imdugud mendengar hal ini, dia mengeluarkan teriakannya yang
menakutkan di bagian terdalam gunungnya. Baju zirah kami beradu, berlumuran
darah, pertempuran terus berlanjut, menggelegar di antara kami. Ningirsu putra
Mami, harapan An dan Enlil, kekasih Enki, melepaskan anak panah ke arahnya.
Anak panah itu tidak mendekati Imdugud, anak panah itu kembali kepadaku.
Imdugud berteriak kepadanya, ‘Anak panah yang datang kepadaku, kembalilah ke
semak belukarmu, tali busur kembalilah ke domba-dombamu, busur kembalilah ke
hutan, bulu kembalilah ke burungmu.’”
Sharur sampai ke hadapan Enki lalu berkata, “Tuanku Ninurta muncul di
gunung Imdugud. Saat dia bergegas maju ke arahnya, Imdugud mulai gemetar karena
marah padanya, dia menggeram bagaikan setan badai, cahayanya yang menakutkan
menyelimuti pegunungan. Imdugud mengaum seperti singa, terbawa oleh nafsu,
dalam kemarahan hatinya dia berteriak kepada sang pahlawan, ‘Aku sudah membawa
tablet takdir. Aku memiliki kekuatan untuk mengubah tugas para dewa. Kau yang
datang untuk berperang denganku, pertanggungjawabkan dirimu.’
“Ningirsu yang gagah berani menjawab Imdugud, ‘Aku adalah putra Ekur,
pendukung Enki, penguasa takdir, aku datang ke sini untuk membalas dendam Enlil,
aku datang ke sini untuk menghancurkanmu, aku datang ke sini untuk melepaskan
baju zirahmu.’”
“Ketika Imdugud mendengar hal ini, dia mengeluarkan teriakannya yang
menakutkan di bagian terdalam gunungnya. Baju zirah keduanya beradu, berlumuran
darah, pertempuran terus berlanjut, menggelegar di antara mereka. Ningirsu
putra Mami, harapan An dan Enlil, kekasih Enki, melepaskan anak panah ke
arahnya. Anak panah itu tidak mendekati Imdugud, anak panah itu kembali
kepadanya. Imdugud berteriak kepadanya, ‘Anak panah yang datang kepadaku,
kembalilah ke semak belukarmu, tali busur kembalilah ke domba-dombamu, busur
kembalilah ke hutan, bulu kembalilah ke burungmu.’”
Enki kemudian berkata, “Aku akan memberimu perintah, semoga kata-kataku
didengar, jangan terlalu memaksakan diri, buatlah Imdugud kelelahan. Saat dia
lelah, ujung sayapnya akan mulai jatuh. Potonglah sayapnya, lemparkan ke kanan
dan ke kiri. Biarkan dia melihat bulunya, biarkan itu menghilangkan ucapannya
‘bulu kembalilah ke burungmu.’”
“Tarik busurmu, biarkan anak panahmu membawa racun, biarkan kutukan
teriakan perangmu menimpanya, biarkan dia mengembara dalam kegelapan, menjadi
bingung, penglihatannya gagal. Jangan biarkan dia menghindar darimu, biarkan
sayapnya jatuh dalam konfrontasi, biarkan wajahmu berubah menjadi wajah iblis,
kirimkan kabut sehingga dia tidak bisa mengenali dirimu.”
“Jangan biarkan Imdugud yang jahat hidup. Biarlah kedaulatan datang ke
Ekur, biarlah tablet takdir kembali ke ayah yang melahirkanmu, biarlah ada
bunga aster, biarlah dibangun tempat pemujaan untukmu di empat wilayah dunia.”
Sang pahlawan mendengarkan perkataan ayahnya, orang yang gagah berani
dalam peperangan menjadi perkasa, dia menunggangi kereta perang menuju ke
pegunungan. Kereta itu digunakan untuk tujuh pertempuran, kereta itu
menimbulkan debu dari tujuh pusaran angin, kereta itu diikat untuk menghadapi
tujuh angin jahat. Karena kereta perangnya, karena kekuatannya, para dewa
gunung jatuh tak bergerak.
Sang dewa muncul di gunung Imdugud. Saat dia bergegas maju ke arahnya,
Imdugud mulai gemetar karena marah padanya, dia menggeram bagaikan setan badai,
cahayanya yang menakutkan menyelimuti pegunungan. Imdugud mengaum seperti
singa, terbawa oleh nafsu, dalam kemarahan hatinya dia berteriak kepada sang
pahlawan, “Aku sudah membawa tablet takdir. Aku memiliki kekuatan untuk
mengubah tugas para dewa. Kau yang datang untuk berperang denganku,
pertanggungjawabkan dirimu.”
Ningirsu yang gagah berani menjawab Imdugud, “Aku adalah putra Ekur,
pendukung Enki, penguasa takdir, aku datang ke sini untuk membalas dendam Enlil,
aku datang ke sini untuk menghancurkanmu, aku datang ke sini untuk melepaskan
baju zirahmu.”
Ketika Imdugud mendengar hal ini, dia mengeluarkan teriakannya yang
menakutkan di bagian terdalam gunungnya. Baju zirah keduanya beradu, berlumuran
darah, pertempuran terus berlanjut, menggelegar di antara mereka. Ningirsu
putra Mami, harapan An dan Enlil, kekasih Enki, berusaha membuat Imdugud
kelelahan. Saat dia lelah, ujung sayapnya mulai jatuh. Ninurta lalu memotong
sayapnya, dan melemparkannya ke kanan dan ke kiri. Ketika burung itu melihat
bulunya, itu menghilangkan ucapannya ‘bulu kembalilah ke burungmu’.
Sang pahlawan menarik busurnya, anak panahnya membawa racun, kutukan
teriakan perangnya menimpanya, Imdugud mengembara dalam kegelapan, menjadi
bingung, penglihatannya gagal. Ninurta tidak membiarkan burung itu menghindar
darinya, sayapnya jatuh dalam konfrontasi, wajah Ninurta berubah menjadi wajah
iblis, dia mengirimkan kabut sehingga Imdugud tidak bisa mengenali dirinya.
Ninurta tidak membiarkan Imdugud yang jahat hidup. Kedaulatan akhirnya
dikembalikan ke Ekur, tablet takdir dikembalikan kepada Enlil. Ninurta lalu
dipuji dan diberi tempat terhormat di antara para dewa atas tindakan heroiknya.
Dia mendirikan tempat-tempat pemujaannya di seluruh negeri Sumeria.
***
Kalau Anda menyukai kisah mitologi ini, Anda mungkin ingin membaca kisah mitologi Sumeria lainnya di sini.
***

Comments
Post a Comment