Halo, Kami Kembali Lagi
Kota ini sudah banyak berubah sejak Hamsad meninggalkannya berpuluhpuluh tahun
yang lalu. Setidaknya, orang-orangnya bertambah banyak. Entah bagaimana orang-orang
di kota ini bisa secepat itu memperbanyak dirinya. Mungkin mereka membelah diri
seperti bakteri, alih-alih melakukan hubungan seksual dengan santai dan gembira.
Hamsad berdiri di depan sebuah toko buku yang berdiri angkuh. Segala
sesuatu di kota ini memang angkuh. Sebuah toko roti kecil menyelinap di sebelah
kanan toko buku itu. Di sebelah kanannya lagi, sebuah warung mi ayam dan es campur
tertunduk lesu. Beberapa orang ada di sana. Makan dengan lahap. Mereka pasti sedang
mengisi bahan bakar setelah lelah membelah diri malam tadi.
Halte tua. Halte itu sedang melamun ketika Hamsad meletakkan bokongnya di
sebuah bangku yang kesepian. Sebentar saja, bangku itu pun memeluk Hamsad dengan
mesra. Sepasang orang tua juga ada di sana. Entah siapa yang lebih tua, halte itu
atau pasangan tadi. Hamsad melemparkan senyumnya kepada mereka berdua. Mereka berdua
diam saja.
Hamsad sekali lagi melihat kota yang sudah banyak berubah. Kota yang
berjejal di dalam bis. Orang-orang duduk, berdiri, bergantungan, jongkok,
bicara, merokok, bernyanyi, diam, melamun, mencopet, semuanya di dalam bis kota.
Hamsad menutup matanya dan hampir jatuh tertidur ketika sebuah bis kota
tibatiba berhenti dan menumpahkan orang-orang di dalamnya ke segala arah. Kota ini
akhirnya pecah!
“Kau datang juga akhirnya, Tuan Hamsad.”
Halte tua ini akhirnya bicara, dan hal pertama yang dipilihnya adalah
menyapa Hamsad. Seorang laki-laki berdiri di belakang Hamsad. Sebatang rokok menggantung
di bibirnya. Laki-laki itu tidak memandang Hamsad ketika bicara, wajahnya terus
menghadap ke tanah. Sesuatu di sana seperti menarik wajah lakilaki itu begitu kuatnya.
“Kau juga, Rash. Apa kabarmu?”
Hamsad juga tidak melihat wajah laki-laki yang disebutnya ‘rash’ itu ketika
balas menyapa. Sepertinya Hamsad sudah tahu siapa laki-laki yang menyapanya dengan
sebutan ‘tuan’ itu. Bahkan mungkin, sebenarnya laki-laki itulah tujuan Hamsad
datang kembali ke kota ini. Mungkin laki-laki itulah tujuan Hamsad duduk dan
menunggu di halte tua ini.
“Kau masih saja memanggilku ‘tuan’, Rash.”
“Berhentilah berbasa-basi, Hamsad. Kau tahu takdir yang sedang menunggu kita.”
“Takdir bahwa lima tahun dari sekarang kau akan membunuhku di depan toko buku di seberang sana? O, Rash, Rashidi. Ayolah, bagaimana aku bisa
melupakan itu semua?”
Kota ini mulai melambat. Bis kota masih sesekali mendatangi halte tua ini
dan menumpahkan beberapa orang lagi. Orang-orang yang datang entah dari mana.
Tapi tidak seperti tadi, orang-orang berjalan dengan lebih lambat. Matahari
semakin meninggi. Di tangannya tergenggam segala kutuk segala rutuk orang-orang
yang melaju di bawahnya. Semakin dimaki, semakin menyengat matahari.
“Lima tahun lagi, Rash, kau akan membunuhku. Lima tahun lagi! Persis seperti tiga puluh tahun yang lalu!”
“Lalu, apakah kita akan melakukannya sekarang untuk menghemat lima tahun
itu, Hamsad?”
Sepasang orang tua yang tidak membalas senyum Hamsad tadi masih ada di sana,
duduk diam tanpa bicara. Bahkan di antara mereka berdua. Mereka berdua seperti tidak
peduli pada Hamsad dan Rashidi. Mereka juga tidak tampak seperti sedang menunggu
bis kota. Berkali-kali bis kota menghampiri mereka, berkali-kali juga mereka tidak
mengacuhkannya.
“Masihkah kau dendam padaku, Rashidi?”
“Masihkah kau ingat pada Sawitri?”
“Sawitri, Sawitri, ya, ya, Rashidi. Kau suka padanya, tapi aku yang tidur
dengannya.”
“Bedebah kau, Hamsad.”
“Jangan salahkan aku. Kau yang tidak pernah bicara pada Sawitri. Kau suka
padanya, tapi kau tidak pernah berkata apa-apa. Lalu kau salahkan aku karena
tidur dengannya? Seharusnya, kalau kau tidak buru-buru bunuh diri selepas membunuhku,
kau bisa bertanya pada Sawitri.”
“Tanya apa?”
“Ayolah, Rash. Kau tidak pernah dengar Sawitri mengeluh tentangku,
bukan?”
“Bedebah kau, Hamsad! Bedebah!”
Matahari semakin tinggi, menggantung jauh di atas langit. Tapi untuk
beberapa saat, dia diam di sana. Menyengat semua makhluk yang merayap di bawahnya.
Tidak terkecuali empat orang yang berlindung di
bawah naungan atap sebuah halte
yang sudah berkarat: Hamsad, Rashidi, dan sepasang orang tua yang masih diam saja.
“Rash, Rash, Rashidi. Simpanlah dulu marahmu, dengarkan dulu aku. Tidakkah
kau merasa aneh bisa bertemu lagi denganku?”
“Kita terkutuk, Hamsad. Kita dikutuk.”
“Aih, Rash. Kita sama-sama mati tiga puluh tahun yang lalu. Kalau kau
begitu baik, kau pasti sudah ada di surga dan aku masuk neraka. Tapi kau juga
dari sana, kau juga tahu bahwa itu bukan surga atau neraka.”
“Tidak, Hamsad. Aku tidak tahu. Setelah kita hidup lagi, entah bagaimana caranya,
kukira inilah neraka. Kita berdua disiksa, dikutuk, untuk mengulangi semuanya dari awal mula.”
“Jangan terlalu pesimis, Rashidi. Semua orang akan mati. Itu pasti. Tapi kukira,
tidak ada yang benar-benar pergi. Besi dingin yang mulai berkarat ini mungkin
dulunya senyum sinis dari seseorang yang mirip denganmu. Kayu pohon di seberang
sana mungkin dulunya sepasang kaki yang terlalu jauh berjalan. Siapa yang tahu,
Rash?”
“Ya, Hamsad. Siapa yang tahu? Aku tidak, kau pun tidak. Kau hanya mengarang
saja.”
“Pada kita, semua unsur penyusun tubuh kita kembali lagi. Tepat seperti dulu.
Lengkap dengan dendam-dendamnya, lengkap dengan ingatan-ingatannya, Rashidi.”
“Lengkap dengan kutukan-kutukannya, Hamsad, Tuan Hamsad.”
“Kita bisa mengubah takdir kita, Rash. Kita bisa mengubah dunia!”
Sebuah bis kota datang lagi. Beberapa orang lagi dipaksanya turun walupun
mereka enggan. Gedung-gedung di belakangnya masih terlihat angkuh. Mereka tidak
pernah menyerah walau disengat matahari dengan hebat. Hanya bis itu yang
terlihat lesu. Sepertinya lelah. Tapi kota ini tidak pernah mau menerima mereka
yang kalah, bahkan walau cuma sebuah bis kota. Maka bis itu kembali melaju, menebas
jalanan yang mulai mendidih.
“Apa yang mau kita ubah, Hamsad? Kau jangan membuatku tertawa.”
“Sadarilah, Rash, sadarilah bahwa kita punya pengetahuan akan masa lalu.”
“Semua orang juga begitu, Hamsad.”
“Tapi cuma kita yang tahu bahwa segala sesuatu yang pernah terjadi akan terjadi
sekali lagi. Bahkan mungkin berkali-kali lagi. Bagaimana? Mulai tertarik kau, Rashidi?”
“Aku masih teringat pada Sawitri, Tuan Hamsad.”
“Ah, bedebah kau, Rashidi! Kita akan mengubah dunia dan kau masih merisaukan
soal perempuan. Ayolah. Tidakkah kau ingin memelukku seperti kali pertama bertemu
dulu, Rash?”
“Puih! Kita masih punya urusan yang belum selesai, Hamsad.”
“Bwahahahaha... Kau masih saja dendam padaku. Bukankah seharusnya aku yang begitu, Rash? Kau yang sudah membunuhku tiga puluh tahun lalu.”
Kota ini mulai redup. Matahari kembali menemukan jalurnya untuk pulang dan
tenggelam di laut. Gedung-gedung yang tadinya angkuh, kini tertutup bayangannya
sendiri. Mereka semua akan segera menghadapi malam yang menggigil. Takdir
memang kejam. Bis kota mulai berbaris di halte tua ini. Kota ini kembali berjejal
di dalam bis. Orang-orang mengulangi semua yang mereka lakukan pagi tadi:
duduk, berdiri, bergantungan, jongkok, bicara, merokok, bernyanyi, diam, melamun,
mencopet, semuanya di dalam bis kota. Hamsad dan Rashidi ikut menenggelamkan diri
mereka di sana.
Sepasang orang tua yang dari tadi duduk di halte tua itu tidak ikut
menjejalkan diri mereka ke dalam bis kota. Tapi mereka mulai bergerak. Mungkin mereka juga takut pada malam yang mulai datang. Gigil malam memang tidak mudah untuk
dihadapi. Terutama oleh dua pasang lutut yang sudah keriput. Mereka berdua bersiap
untuk melipat harinya.
“Kau tidak ingin menyapa mereka, Sawitri?”
“Tidaklah, Tuan. Mereka datang dari masa lalu, sementara kita sudah
melaluinya berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kita sekarang sedang berjalan ke
depan. Bukan begitu?”
“Yah, kukira juga begitu. Mari kita pergi, Sawitri. Mereka juga sudah
tidak ada di sini. Mereka akan menjalani takdirnya, sebaiknya kita juga.”
“Menurutmu, apakah mereka akan terus berpelukan seperti tadi, Tuan?”
“Tidak, Sawitri. Takdir sudah dituliskan. Lima tahun lagi, Hamsad akan mati di tangan Rashidi, sementara Rashidi akan bunuh diri setelah membunuh
Hamsad. Takdir tetap takdir, tidak ada yang mampu mematahkannya atau sekedar membengkokkannya.”
“Kalau begitu Rashidi benar. Mereka memang sedang dikutuk.”
“Kita semua sedang dikutuk, Sawitri.”
***
“Halo, Rash.”
“Huh!”
“Sudah berapa lama, Rash? Seratus? Dua ratus
tahun? Sepertinya kita harus mengulang semua cerita kita dari awal lagi ya?”
“Bedebah kau, Hamsad! Bedebah!”
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment