Botol-Botol Yang Kembali Ke Laut

Botol-Botol Yang Kembali Ke Laut

Botol-botol kosong berserakan di lantai, mengepung seorang laki-laki dengan label ‘mengandung alkohol empat puluh persen’ di tubuhnya. Laut memandang laki-laki itu dari balik jendela yang berkibar. Jendela kaca yang lupa ditutup dan angin utara yang terlalu kencang bertiup. Matahari tumbuh dari pucuk-pucuk pohon kelapa di sepanjang pantai. Matahari pecah jadi tiga: satu jadi debu, dua menerobos jendela, dan tiga membangunkan laki-laki yang rebah sejak malam tadi. Roboh diterjang botol-botol kosong yang berserakan di lantai.

Laki-laki itu bangun, lalu mulai mencair. Sebagian tubuhnya yang mencair mengalir ke laut, sebagian lagi menguap ke angkasa. Laki-laki itu harus mengerang untuk mempertahankan tubuhnya agar tidak mencair semua. Mengerang lalu terbang. Sejurus kemudian, laki-laki itu menenggelamkan dirinya ke laut, meminum semua tubuhnya yang mencair dan mengalir ke laut tadi. Seorang perempuan muncul dari dasar laut. Menyembul dan hanyut. Laut berjatuhan dari seluruh tubuhnya. Matahari kembali pecah, pecahannya kali ini memenuhi tubuh perempuan itu.

“Kau mabuk malam tadi,” kata perempuan itu.

“Mungkin,” jawab si laki-laki.

“Aku datang dari laut,” kata perempuan itu lagi.

“Aku tahu dan aku tak peduli,” potong si laki-laki.

“Kau masih ingat padaku, bukan?” kejar perempuan itu.

“Mungkin,” laki-laki itu menjawab malas.

“Kau masih  mabuk,”  kata  si  perempuan  sebelum  kembali  hilang  ditelan laut.

Merasa laut yang ditenggaknya cukup, laki-laki itu kembali naik ke darat. Seluruh tubuhnya sudah kembali padanya. Kecuali yang menguap ke angkasa. Dia tidak khawatir dengan itu. Hujan akan membawa mereka turun kembali. Begitu pikirnya. Perempuan yang tadi ditemuinya di laut sudah menunggunya di sana. Perempuan itu muncul dari balik pohon kelapa. Matahari sudah menyingkir dari tubuhnya dan matanya sekarang semerah bulan purnama. Matanya menyimpan dendam. Dendam angin utara pada jendela kaca. Dendam jendela kaca pada gelombang pasang.

“Kau seharusnya ingat padaku,” sambut perempuan itu.

“Apa yang membuatnya harus?” tanya si laki-laki ketus.

“Aku datang dari laut,” ulang perempuan itu sekali lagi.

“Aku tahu dan aku tak peduli,” si laki-laki juga mengulang kata-katanya.

“Kau seharusnya peduli,” keluh perempuan itu.

“Apa yang membuatnya harus?” lagi, laki-laki itu bertanya ketus.

“Karena kau juga berasal dari laut,” pungkas si perempuan.

Matahari semakin tinggi dan akhirnya berhasil menemukan dirinya kembali. Semua pecahan tubuhnya telah terekat kembali. Dari sebuah ketinggian, matahari memandang ke bawah. Di bawah sana, di antara laki-laki yang ketus dan tiga batang pohon kelapa, matahari melihat perempuan yang mengaku datang dari laut. Perempuan itu mulai mengeluarkan cairan dari seluruh tubuhnya. Matahari memanggang perempuan itu tanpa ampun dan perempuan itu menguap tanpa sisa. Laki-laki yang sejak tadi malas menanggapi perempuan itu cuma tersenyum. Setidaknya, dia bisa bebas dari perempuan yang cerewet itu.

“Kalau kau datang dari laut, maka aku datang dari matahari,” gumam si laki-laki.

Perempuan itu bisa jadi sampai ke langit dan duduk dengan tenang di sana, tapi tidak ada seorang pun, atau apa pun, yang mampu memanggul tubuh seorang perempuan untuk sampai ke langit. Hanya beberapa jengkal sebelum perempuan itu sampai di langit, hanya beberapa jengkal, tapi tubuhnya terlanjur pecah. Seluruh tubuhnya pecah berantakan. Perempuan yang mengaku datang dari laut itu sekarang justru sedang menumpahkan laut dari langit. Hujan.

“Bwahahahaha...,” laki-laki yang sekarang sendiri itu tertawa.

“Tubuhku, akhirnya kalian kembali juga padaku!” teriak laki-laki yang masih sendiri itu.

Laki-laki itu lalu merobek seluruh pakaiannya dan berdiri tegak lurus dengan langit untuk menyambut hujan, menyambut tubuhnya yang kembali dari langit. Mulutnya dibukanya lebar-lebar dan dibiarkannya hujan menerobos masuk sampai ke kerongkongannya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Sebagian lagi meresap melalui pori-porinya. Seperti matahari, tubuh laki-laki itu juga sekarang penuh. Seluruh tubuhnya telah kembali kepadanya dan laki-laki itu merasa seperti dilahirkan kembali.

Entah bagaimana caranya, perempuan yang muncul dari laut tadi kini ada di dalam rumah si laki-laki. Mungkin perempuan itu merembes dari lubang-lubang atap atau menerobos masuk dari jendela yang lupa ditutup si laki-laki. Dilihatnya botol-botol kosong yang berserakan di dalam rumah laki-laki itu. Ditendangnya botol-botol kosong yang berserakan di lantai itu. Belum puas, perempuan itu lalu menarik sebatang kursi kayu. Dengan sekali hela, tubuhnya sudah berada di atas kursi itu. Diraihnya bola lampu yang masih menyala, dipatahkannya, lalu ditelannya bulat-bulat. Pelan-pelan, cahaya berpendar dari dalam tubuh perempuan itu.

Laki-laki yang sekarang sudah bertubuh penuh itu berlari demi mendengar bunyi berdentang dari dalam rumahnya. Laki-laki itu tahu, dentang itu berasal dari botol-botol kosong yang beradu dengan lantai dan dinding rumahnya. Yang dia tidak tahu, buat apa botol-botol itu mengadu tubuh mereka dengan lantai dan dinding rumahnya. Yang laki-laki itu lebih tidak tahu, perempuan yang datang dari laut dan tadi bicara dengannya sekarang ada di dalam rumahnya.

“Sundal!” teriak laki-laki itu.

“Kau juga bajingan!” balas si perempuan.

“Botol-botol ini adalah seluruh hidupku, perempuan busuk!” maki si laki-laki.

“Kau datang dari laut! Kau datang dari laut!” perempuan itu mulai histeris.

Sebentar saja, mereka berdua kemudian menghamburkan ribuan butir peluru dari mulut dan seluruh tubuh mereka. Botol-botol mulai pecah dan kursi kayu yang tadi dinaiki perempuan itu untuk menggapai bola lampu sudah patah. Ribuan dan ribuan lagi peluru yang mereka hamburkan siang itu, tapi tidak satupun dari mereka mau mengalah atau berhenti karena lelah. Luka-luka sudah tidak terhitung lagi di sekujur tubuh mereka berdua. Sial bagi si laki-laki, sebutir peluru jatuh tepat di jantungnya. Darah tumpah dari dada laki-laki itu dan bau anyir mulai merekah di ruangan itu.

“Sundal,” bisik laki-laki itu pelan.

“Kau juga bajingan,” balas si perempuan pelan.

“Kenapa kau terus mengejarku, perempuan busuk?” tanya si laki-laki.

“Karena kau datang dari laut,” jawab perempuan itu.

“Kau terus mengatakan itu,” keluh laki-laki itu.

“Karena kau memang datang dari laut,” kata perempuan itu lagi, kali ini sambil tersenyum.

Senja mulai menampar daun-daun kelapa. Matahari sudah mengkerut dan beringsut surut ke tempatnya mula-mula, ke balik pohon kelapa dan semak belukar. Di kejauhan, di tubuh laut, cahaya mulai mengambang. Jukung-jukung tua sudah mengibarkan layarnya dan siap menggenangi laut malam nanti. Ibu-ibu menyalakan api dan anak-anak berhenti berlari. Burung-burung menempuh langit untuk pulang dan ikan-ikan akan menyesali tidurnya yang terlalu lelap. Senja sudah datang.

“Kau datang dari laut, karenanya kau butuh minum lebih dari orang kebanyakan,” kata si perempuan.

“Tidak! Aku datang dari matahari! Aku adalah matahari itu sendiri!” laki-laki itu menghardik dengan sisa tenaganya.

“Tubuhmu ada di dalam tubuhku,” lanjut si perempuan.

“Itu bola lampu! Itu bola lampu! Jangan bohong padaku,” bantah si laki-laki.

“Lebih daripada cahaya yang keluar dari dalam tubuhku, tubuhmu memang sedang tumbuh di dalam tubuhku. Kau mendatangiku ketika kau sedang mabuk. Itu sebabnya aku selalu bilang bahwa kau seharusnya ingat padaku,” terang si perempuan.

“Seharusnya aku tidak minum, seharusnya aku tidak mabuk,” gumam si laki-laki.

Darah mengalir semakin deras dari tubuh laki-laki itu. Darah laki-laki itu pasti juga mengandung alkohol empat puluh persen, sama dengan label yang ada pada tubuhnya. Darah laki-laki itu merah, sementara senja semakin hitam. Angin utara sudah tidak bertiup dan jendela-jendela di rumah laki-laki itupun sudah tidak berkibar. Laki-laki itu sekarang hanya bisa menyesali kebodohannya karena terlalu lama hidup bersama botol-botol kosong. Dipandanginya botol-botol kosong miliknya yang bergelimpangan di lantai, lalu laki-laki itu menghela nafasnya.

“Berapa orang, menurutmu, yang dibutuhkan untuk menggali kubur ketika kita mati?” tanya si laki-laki.

“Entahlah, lima mungkin?” perempuan itu menjawab sekenanya.

“Hanya butuh dua orang, satu menggali dan satunya lagi menyingkirkan tanah ke tepi. Sesederhana itu,” laki-laki itu menjawab pertanyaannya sendiri.

“Sejatinya, ketika kita mati, lalu dikubur, kita tidak akan tahu berapa orang yang berdiri di sisi kuburan kita. Kita tidak akan peduli,” kata laki-laki itu lagi.

Seekor anjing hutan yang sedang melintas berhenti saat mendengar pertanyaan laki-laki itu. Di dalam hatinya, anjing itu tertawa geli mendengar penjelasan dari si laki-laki. Hanya perempuan itu yang tidak. Di dunia ini, memang hanya maut atau waktu-waktu akut yang lainlah yang mampu mengubah orang yang paling ketus menjadi orang paling bijaksana. Perempuan yang datang dari laut itu tahu, karenanya dia tidak berkata apa-apa, di bibirnya atau di dalam hatinya.

Perempuan itu kemudian meraih wajah si laki-laki, lalu meletakkan bibirnya di atas bibir laki-laki itu. Laki-laki itu tidak pernah siap untuk sebuah ciuman, apalagi ketika darah mengucur sedemikian deras dari tubuhnya. Ciuman itu begitu hangat, tapi tubuh yang tidak siap bisa bereaksi lain. Laki-laki itu sekarang justru menggelepar-gelepar seperti ikan yang terdampar di pantai karena dilontar gelombang pasang. Ciuman perempuan itu, tidak bisa tidak, sudah melontarkan tubuh  si laki-laki  entah ke mana. Anehnya, tubuh  perempuan dan laki-laki itu pelan-pelan mulai mencair.

“Kau tidak akan mati, laki-laki. Kita berdua akan mengembara.”

“Ke mana?”

“Melintasi samudera dan cakrawala.”

“Untuk apa?”

“Untuk dihempas gelombang pasang ke batu-batu karang dan pecah, atau dihembus angin utara dan terdampar di pantai-pantai yang jauh.”

Saat itu malam sudah begitu matang. Matahari tidak bisa menerkam tubuh mereka yang mencair dan membuatnya menguap sia-sia di angkasa, tapi tubuh mereka juga tidak mengalir ke laut. Tubuh perempuan dan laki-laki itu justru mengalir ke arah botol-botol kosong yang belum pecah. Sedikit demi sedikit, botol-botol kosong itu semuanya kini terisi penuh. Angin utara kemudian berhembus pelan dan menggelindingkan botol-botol itu ke laut. Butir-butir pasir merebahkan tubuhnya untuk membuat jalan bagi botol-botol yang sedang menggelinding itu. Satu demi satu, botol-botol itupun sampai di laut.

“Boleh kutanya sekali lagi, untuk apa kita lakukan semua ini?” si laki-laki masih sempat mengajukan pertanyaan.

“Supaya mereka yang beruntung menemukan kita bisa menenggak tubuh kita berdua sampai tandas, sampai tuntas,” jawab si perempuan.

“Mereka akan roboh kalau begitu.”

“Persis seperti kau dulu.”

“Dan rebah sampai pagi, sampai matahari jatuh di atas kepala mereka.”

“Persis seperti kau dulu.”

“Dan mencair lalu mengalir ke laut atau menguap ke angkasa.”

“Persis seperti kau dulu.”

“Dari air kembali ke air, dari yang cair kembali ke yang cair.”

“Persis seperti kita sekarang.”

Di laut, nelayan-nelayan yang seharusnya mencari ikan sekarang justru sedang disibukkan dengan ratusan botol yang mengambang di dekat kapal mereka. Beberapa botol itu bahkan menggedor-gedor dinding jukung tua mereka. Sebentar saja, nelayan-nelayan itu sudah lupa pada tujuannya melaut, lupa pada anak dan istrinya yang menunggu di rumah. Mereka terjun ke laut dan berebut botolbotol itu. Dalam waktu singkat, semua botol yang mengambang di laut sekarang sudah tergeletak di geladak.

Sesampainya di geladak, nelayan-nelayan itu mendapati bahwa botol-botol itu berisi cairan. Satu nelayan mencoba menenggaknya, dan itu membuat ratusan nelayan lain mengikutinya. Tanpa sadar, mereka menenggak tubuh perempuan yang datang dari laut dan laki-laki yang mengandung alkohol empat puluh persen sekaligus. Pada awalnya mereka merasa hangat. Seolah-olah matahari menjalar di urat nadi mereka. Lalu mereka semua roboh, rebah, dan mencair, dan mengalir kembali ke arah botol-botol itu.

Bulan sedang tinggi-tingginya dan malam sedang hitam-hitamnya. Sayupsayup, sebuah lagu terdengar mengalir di keheningan malam.

 

“... ke laut, ke laut, ke laut

hai, kau semua pemabuk

akan pulang dan hilang

 

ke laut, ke laut, ke laut

hai, kau semua pemabuk

akan hanyut dan larut...”

 

Angin utara kembali bertiup, membelai malam dengan lembut. Botol-botol itu kembali terjun ke laut, meninggalkan jukung-jukung tua yang sudah tidak berawak. Angin utara berhembus semakin keras, membawa botol-botol itu kepada gelombang pasang untuk dihempas ke batu karang dan pecah, atau membawanya jauh, sampai jauh, untuk terdampar di pantai-pantai yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

“Seharusnya mereka tidak minum, seharusnya mereka  tidak  mabuk,” sebuah suara menutup malam yang semakin hitam semakin dingin itu.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.

***

Comments

Populer