Saya Jadi Mati Hari Ini
Seharusnya tidak saya terima penyair kiriman teman saya itu. Atau
seharusnya saya bungkus saja penyair itu dalam kardus dan mengirimnya kembali
pada teman saya sehingga bantal-bantal saya tidak jatuh cinta pada puisi dan
saya bisa tidur dengan mereka.
Sekarang sudah terlambat untuk melakukan semua itu. Bahkan membelah kepala
penyair kiriman teman saya dengan kapak pun sudah tidak ada gunanya. Bantal-bantal
saya sudah terlanjur jatuh cinta pada puisi, pada seorang penyair yang dikirim teman
saya dari jauh.
Hari ini seharusnya hari yang biasa buat saya. Tapi penyair itu datang
lagi. Melompati pagar rumah saya bersama koran minggu yang dilempar loper koran
begitu saja. Berita-berita ringan dan teka-teki silang, mereka selalu membuat saya rindu pada mimpi-mimpi dan bantal-bantal
saya.
Penyair kiriman teman saya yang datang lagi bersama koran minggu mulai membaca
puisi. Kali ini sandal saya yang ingin lari. Setelah mencuri mimpi-mimpi saya,
penyair itu mau membawa pergi langkah-langkah kaki saya. Tanpa bantal dan kaki saya,
saya akan mati. Tidak bisa tidur juga berdiri.
Koran minggu terlalu cepat datang karena hari ini adalah hari Sabtu.
Seharusnya saya masih membaca tempat-tempat tujuan wisata untuk saya kunjungi pada
hari Minggu dan membuat rencana-rencana sambil menyeduh kopi susu. Tapi saya melewatkan
hari Sabtu dan saya belum punya rencana apa-apa.
Koran minggu yang terlalu cepat datang ternyata membuat semua orang
muram. Setiap kali saya membaca koran itu, orang-orang akan menjadi buram.
Seperti lukisan. Semua orang ternyata melewatkan hari Sabtu dan mereka belum punya
rencana apa-apa, sama seperti saya.
Tanpa rencana, saya berjalan-jalan sekitar rumah saya. Seekor anjing
mengikuti saya ke mana pun saya pergi. Setiap kali saya berhenti, anjing itu
akan menggali lubang. Jalan-jalan di sekitar rumah saya mulai dipenuhi lubang.
Saya tidak boleh berhenti atau lubang di jalan sekitar rumah saya akan
bertambah banyak.
Leher anjing itu dihiasi kalung bertuliskan: aku adalah kamu. Saya tidak
melihat orang lain di sekitar saya dan anjing yang mengikuti saya ke mana pun
saya pergi itu. Tidak ada orang lain yang bisa dijadikan kamu seperti tulisan
di kalung anjing itu, maka saya menggantinya dengan nama saya.
Nama saya di kalung anjing itu saya pikir akan menimbulkan kehebohan
kalau saya mati. Orang-orang tidak akan percaya kalau saya mati. Mereka akan
berpikir kalau saya berubah menjadi anjing. Orang mati tidak pernah berubah
jadi anjing. Pasti menghebohkan kalau saya benar-benar mati.
Di salah satu halaman koran minggu yang membawa penyair kiriman teman saya kembali, saya menemukan sebuah obituari. Obituari itu tidak biasa
karena bentuknya puisi. Lebih tidak biasa karena nama saya ada di situ, sebagai
yang mati. Orang yang berkabung: penyair kiriman teman saya.
Anjing yang mengikuti saya ke mana pun saya pergi mulai menggali lubang lagi.
Anjing ini tidak menggali sembarang lubang. Anjing ini sedang menggali kuburan
buat saya. Penyair yang dikirim teman saya dari jauh masih membaca puisi di koran
minggu. Puisi obituari buat saya.
Dengan koran minggu yang terlalu cepat datang di tangan saya, saya
mengetahui banyak hal lebih dulu dari orang lain. Saya bisa memasang taruhan
untuk semua pertandingan olahraga yang akan dimainkan nanti malam,
tapi obituari itu mengganggu saya. Juga penyair yang dikirim teman saya dan
anjing yang mengikuti saya ke mana pun saya pergi.
Saya pulang ke rumah dengan berlari. Anjing itu juga berlari. Penyair yang
dikirim teman saya berusaha mencuri langkah-langkah kaki saya, tapi saya terus
berlari. Saya harus pulang untuk membuat rencana-rencana. Kalau memang saya mati
hari ini, saya tidak mau mati tanpa rencana.
Saya mulai berpikir untuk mengambil kapak dan membelah kepala penyair yang
dikirim teman saya dari jauh, tapi saya tidak mau mati tanpa obituari. Kalau
saya memang mati hari ini, setidaknya saya dimuat di koran minggu dalam sebuah obituari
yang ditulis seorang penyair.
Penyair itu mengganggu saya, tapi saya butuh obituari yang ditulis
olehnya. Saya tidak mau mati tanpa obituari. Anjing itu juga mengganggu saya,
tapi saya juga butuh dia untuk menggali kuburan saya. Saya juga tidak mau mati
tanpa kuburan. Hei, saya tidak mau mati, tidak hari ini. Saya belum punya
rencana apa-apa.
Kardus, kardus, saya harus mengirim penyair itu kembali pada teman saya. Kardus,
kardus, saya juga harus membungkus anjing itu supaya tidak terus menggali
setiap kali saya berhenti. Kardus, kardus, saya butuh kardus supaya tidak jadi mati.
Saya tidak punya rencana untuk mati hari ini.
Kardus-kardus di rumah saya lenyap entah ke mana. Sepertinya mereka juga sudah
jatuh cinta pada puisi dan pergi bersama bantal-bantal saya. Seingat saya, bantal-bantal
saya tidak datang bersama kardus-kardus. Sekarang mereka pergi dengan kardus-kardus
saya. Ini menjengkelkan saya.
Kapak, hanya ada kapak. Saya bisa membelah kepala penyair yang dikirim teman
saya dan anjing yang mengikuti saya ke mana pun saya pergi dengan kapak. Saya
tidak mau obituari dan kuburan dari mereka, walau pun kalau saya benar mati
hari ini, saya membutuhkannya.
Teman saya seperti koran minggu yang datang terlalu cepat. Teman saya datang
dari jauh sebelum saya menemukan kardus-kardus saya. Dia datang sebelum saya
sempat mengirim penyair itu kembali padanya. Dia datang sebelum saya bisa membelah
kepala penyair dan anjing yang mengganggu saya.
Teman saya seperti hari Sabtu yang saya lewatkan, membuat saya tidak
punya rencana apa-apa tentangnya. Dia bertanya apakah saya suka penyair kirimannya.
Bahkan dia juga yang mengirim anjing yang mengikuti saya ke mana pun saya
pergi. Teman saya tahu, saya akan mengganti kamu di kalung anjing itu dengan
nama saya.
Saya masih memegang kapak yang tidak sempat saya pakai untuk membelah kepala
penyair dan anjing yang ternyata kiriman teman saya. Saya mulai berpikir untuk
membelah kepala teman saya. Saya tidak mau mati hari ini dan saya tidak butuh teman
yang menyuruh saya mati hari ini.
Sebelum saya sempat membelah kepala teman saya, teman saya itu mengambil
sesuatu di luar rumah saya. Kardus-kardus. Saya batalkan niat saya untuk membelah
kepalanya. Teman saya itu ternyata tahu kesulitan saya dengan
kiriman-kirimannya dan sekarang dia membawakan saya kardus-kardus.
“Teman, sudah kukirim semua untuk menyambut matimu hari ini, tapi aku lupa membeli peti. Peti matimu pakai kardus saja ya ...”
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment