Anakku, Orang Yang Ingin Kugambar Rumahnya, Dan Ayahku Yang Membawa Pistol

Anakku, Orang Yang Ingin Kugambar Rumahnya, Dan Ayahku Yang Membawa Pistol

Anakku ingin menggambar. 

Kubelikan untuknya pensil dan crayon. pensil untuk menggambar matahari. Crayon untuk mewarnai pelangi. Tapi anakku tidak sedang ingin menggambar benda-benda langit. Matahari atau pelangi. Anakku ingin menggambar suara. Bagaimana harus kujelaskan padanya bahwa suara tidak punya rupa, tidak bisa digambar? Suara yang ingin digambarnya adalah suara ibunya. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala.

Sudah lama aku tidak menggambar. Aku harus menggambar. Tapi seseorang ingin aku menggambar rumahnya. Dia ingin menampung dunia di dalam rumahnya. Kuberikan dunia di tanahnya yang seratus meter persegi. Masih ada sedikit sisa untuk ruang keluarga. Tapi di mana harus kutaruh pengemis dan gelandangan? Di jalan katanya. Maka kugambar jalanan di depan rumahnya penuh dengan pengemis dan gelandangan.

Anakku masih ingin menggambar suara ibunya. Aku tidak bisa mengajarinya. Ratusan gambar pernah kubuat, tak satu pun gambar suara. Kubiarkan anakku menggambar di tembok rumahku. Tarikan garisnya pasti. Sedikit warna merah di sudut kanan bawah. Beberapa lingkaran lagi sebelum akhirnya satu demi satu crayon dicoretkannya di tembok rumahku. Tembok rumahku tidak karu-karuan jadinya.

Orang yang ingin kugambar rumahnya tidak mau ada pengemis dan gelandangan di depan rumahnya. Tapi dia juga tidak tahu harus ditaruh di mana pengemis dan gelandangan itu. Dia ingin menaruh mereka di halaman belakang. Tapi halaman belakang sudah penuh dengan jemuran. Satu-satunya jalan, mobilnya harus diparkir di luar rumah. Dia tidak mau. Kuajak dia ke hutan untuk membuang semua pengemis dan gelandangan yang sudah terlanjur kugambar tadi. Lebih baik daripada kepalaku pecah.

Anakku mengajak melihat gambarnya di tembok rumahku. Aku tidak tahu harus melihat atau mendengar. Kulihat tidak ada apa-apa di sana, kecuali tembok rumah yang sudah tidak jelas warnanya. Kutajamkan telinga berusaha mendengar suara-suara. Hanya suara anakku yang bisa kudengar. Tapi anakku dengan lancar menceritakan gambarnya. Ibunya yang menangis di sudut kanan bawah atau tertawa dalam lingkaran biru muda.

Pengemis dan gelandangan sudah bukan masalah lagi di gambarku. Kali ini beberapa pedagang kaki lima mulai memenuhi kepalaku. Minta digambar juga di tanah yang seratus meter persegi. Pedagang kaki lima itu bukan masalah. Bisa kuselipkan di sana sini. Tapi di belakangnya berbaris preman-preman, polisi lalu lintas, petugas tramtib, dan buldoser dinas  tata kota. Urutannya persis  seperti itu.

Anakku kelihatannya sudah puas dengan gambarnya. Sudahlah. Kuterima saja tembok rumahku yang berantakan. Sekarang anakku ingin mendengar wangi tubuh ibunya. Bahkan Gianni Versace tidak pernah membuat parfum yang bisa didengar. Kecuali suara mendesis di ujung kepala parfumnya. Atau suara tercekatku di label harganya. Tapi anakku tidak ingin mendengar suara Gianni Versace. Anakku ingin mendengar wangi tubuh ibunya.

Sudah kuduga sebelumnya. Orang yang ingin kugambar rumahnya juga tidak mau ada pedagang kaki lima di rumahnya. Dia tidak mau selokannya bau pesing. Dia tidak mau malam-malam di rumahnya bau alkohol dan keringat preman. Dia mau dunia tapi dia tidak mau isinya. Bagaimana harus kuusir pedagang-pedagang kaki lima itu kembali ke desanya? Mereka kubuatkan gambar pasar di tengah kota lengkap dengan selokan untuk dikencingi. Tapi orang yang ingin rumahnya kugambar tidak mau tidur di pasar.

Di jalan kutemukan hujan. Kubawa pulang untuk anakku, lengkap dengan petir-petirnya. Kuharap anakku mau bermain dengan hujan dan melupakan semua keinginan anehnya. Ternyata anakku suka dengan hujan yang kubawa. Petirnya, anakku tidak mau. Ditimang-timangnya hujan seperti boneka. Dibawanya ke mana-mana. Takut juga aku. Tapi sudahlah, hanya hujan. Apa yang bisa dilakukan hujan pada anakku? Kubiarkan saja.

Orang yang ingin kugambar rumahnya semakin lama semakin aneh. Tidak mau pengemis dan gelandangan, tidak mau pedagang kaki lima, preman, polisi lalu lintas, petugas tramtib, dan buldoser dinas tata kota, sekarang juga tidak mau tidur di pasar. Kupasang petir yang tidak dimaui anakku di televisinya. Setiap dia menonton televisi, akan ada gemuruh petir. Lalu hujan akan jatuh di setiap ruangan dalam rumahnya.

Ayahku tiba-tiba datang dari kampungnya yang jauh. Di tangannya tidak ada pensil, crayon, parfum, hujan, petir, pengemis, gelandangan, pedagang kaki lima, preman, polisi lalu lintas, petugas tramtib, buldoser dinas tata kota, atau televisi. Ayahku memang tidak pernah membawa apa-apa setiap berkunjung. Tapi ayahku sekarang membawa sesuatu, ayahku membawa pistol. Untuk apa ayahku datang dari jauh membawa pistol?

Orang yang ingin kugambar rumahnya tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin terlalu sibuk dengan hujan yang selalu turun setiap dia menonton televisi. Mungkin juga dia sedang bermain dengan hujan seperti anakku. Menimang-nimang hujan seperti boneka. Seingatku gambar yang dimintanya dariku belum pernah dibayarnya. Sudahlah, gambarku itu pun belum pernah benar-benar selesai.

Ayahku membawa pistolnya ke belakang. Dimasukkannya pistolnya ke dalam kulkas. Setelah itu dia duduk-duduk menonton televisi di rumahku. Selama berhari-hari ayahku tinggal di rumahku dan hanya menonton televisi. Selama berhari-hari pula ayahku tidak bicara. Tidak ada cerita untuk anakku. Tidak ada juga kabar tentang ibuku yang sekarang pasti sedang sendirian di rumah di kampungnya yang jauh. Pistol ayahku mungkin dicurinya dari ibuku.

Anakku selalu bermain dengan hujan yang kuberikan padanya, orang yang ingin kugambar rumahnya tidak pernah lagi menghubungiku, dan ayahku hanya duduk-duduk menonton televisi saja. Keinginanku menggambar akhirnya bisa kulakukan. Tapi aku sekarang tidak tahu mau menggambar apa. Ratusan kali sudah aku menggambar, baru kali ini aku tidak tahu mau menggambar apa.

Tiba-tiba aku ingin menggambar suara ibuku. Tiba-tiba aku ingin mendengar wangi tubuh ibuku. Aku mulai menggambar. Beberapa kali aku menggambar, hanya gambar pengemis, gelandangan, pedagang kaki lima, preman, polisi lalu lintas, petugas tramrib, dan buldoser dinas tata kota yang terus menerus kugambar. Kali ini kucoba diam dan menajamkan telinga untuk mendengar, hanya suara hujan, petir, dan televisi yang bisa kudengar. Wangi tubuh ibuku tidak bisa kudengar.

Akhirnya kuputuskan untuk bicara dengan ayahku. Kutanya kabar ibuku di kampungnya yang jauh. Ayahku tetap tidak mau bicara. Ayahku ke belakang dan mengambil pistolnya dari kulkas. Di depan anakku, ayahku menembakku tepat di antara kedua mataku. Lalu hujan jatuh di setiap ruangan dalam rumahku. Gambar anakku di tembok rumah, gambar suara ibunya, pelan-pelan meleleh bersama hujan. Ayahku kembali duduk-duduk dan menonton televisi.

Aku tidak mengerti pada kejadian-kejadian ini. Anakku, orang yang ingin kugambar rumahnya, ayahku, dan diriku sendiri yang akhirnya mati. Kupikir ini pasti mimpi. Aku berharap ini hanya mimpi. Sampai akhirnya dua makhluk yang tidak bisa kugambarkan suara dan wangi tubuhnya datang dan membawaku ke hutan, membuangku ke tempat aku dulu membuang pengemis dan gelandangan dari gambar rumah orang yang ingin kugambar rumahnya.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.

***

Comments

Populer