Malaikat Levine (Angel Levine ~ Bernard Malamud)
Selama pengadilan, Manischewitz
tetap tabah, hampir tidak percaya bahwa semua ini terjadi terhadapnya, seandainya
ini semua terjadi, katakanlah, kepada seorang kenalan, atau kerabat jauh; ini
adalah sejumlah kemalangan yang tidak bisa dimengerti. Ini juga konyol, tidak
adil, dan karena dia selalu menjadi orang yang religius —merupakan penghinaan
terhadap Tuhan. Hal ini, Manischewitz percayai dengan fanatik di tengah semua
penderitaannya. Tapi, ketika bebannya menjadi sangat berat untuk ditanggung
sendiri, dia duduk di kursi dan dengan mata tertutup berdoa: "Ya Tuhan,
jiwaku, sayang, apakah aku pantas menerima hal ini terjadi padaku?" Tapi
menyadari bahwa pemikiran ini tidak ada gunanya, dia memaksa dirinya untuk
mengesampingkan keluhan dan berdoa dengan rendah hati memohon pertolongan:
"Berikan kesehatan kepada Leah kembali, dan berikan kepadaku, untuk diriku
sendiri, supaya aku tidak merasakan sakit di setiap langkah yang kubuat. Tolong
sekarang, atau besok kami akan mati. Ini aku tidak perlu mengatakannya kepadaMu."
Dan Manischewitz, sakit di sekujur tubuh dan dilanda kesedihan, menangis.
Apartemen Manischewitz, tempat
dia pindah setelah bencana kebakaran, adalah apartemen yang sangat kecil,
dilengkapi dengan beberapa kursi, sebuah meja, dan tempat tidur, di salah satu
bagian kota yang lebih miskin. Ada tiga ruangan: ruang tamu, kecil, berdinding wallpaper
buruk; dapur yang menyedihkan, dengan sebuah lemari es kayu; dan kamar tidur
yang relatif besar tempat Leah berbaring di tempat tidur bekas, terengah-engah.
Kamar tidur adalah ruangan terhangat di rumah ini dan di sinilah, setelah omelannya
kepada Tuhan, Manischewitz, dengan cahaya dua lampu kecil di atas kepala, duduk
membaca surat kabar Yahudinya. Dia tidak benar-benar membaca, karena pikirannya
ada di mana-mana kecuali di korannya. Tapi koran itu menawarkan tempat
peristirahatan yang nyaman bagi matanya; dan satu atau dua kata, ketika dia
membiarkan dirinya untuk memahaminya, memang memiliki efek membantunya untuk sejenak
melupakan masalahnya. Setelah beberapa saat dia menemukan, yang mengejutkan,
bahwa dia secara aktif menelisik berita, mencari item yang sangat menarik
baginya. Tepatnya apa isinya dia tidak bisa mengatakannya —sampai dia menyadari
dengan heran bahwa dia berharap menemukan sesuatu tentang dirinya sendiri. Pada
saat itu dia menatap dengan perasaan berbeda bahwa seseorang sudah memasuki apartemen,
meskipun dia tidak bisa mengingat pernah mendengar suara pintu. Manischewitz
melihat sekeliling: ruangan itu sunyi, Leah tidur nyenyak. Setengah ketakutan,
dia mengamatinya sampai dia yakin istrinya belum mati; kemudian, masih terusik
oleh pikiran tentang seorang tamu yang masuk diam-diam, dia terpaku di ruang
tamu, dan di sanalah dia mendapat keterkejutan dalam hidupnya, karena di meja
itu duduk seorang Negro kekar sedang membaca koran yang dilipatnya agar muat di
satu tangan.
"Apa yang kau lakukan di
sini?" Manischewitz berteriak ketakutan.
Orang Negro itu meletakkan koran
dan mendongak sambil tersenyum lembut. "Selamat malam." Dia
sepertinya tidak yakin pada dirinya sendiri, seolah-olah dia masuk ke rumah
yang salah. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh besar, berperawakan kekar,
dengan kepala berat yang tertutup topi derby1 yang keras,
yang tidak berusaha dia lepaskan. Matanya tampak sedih, tapi bibirnya, yang di
atasnya dia beri sedikit kumis, hampir tertawa; selebihnya dia tidak menarik. Manset
lengan bajunya, Manischewitz mencatat, robek sampai ke pelapisnya, dan setelan
gelap itu tidak pas. Dia memiliki kaki yang sangat besar. Pulih dari rasa
takutnya, Manischewitz menduga dia dikunjungi oleh petugas dari Departemen Sosial
—beberapa datang pada malam hari— karena dia baru saja mengajukan permohonan
bantuan. Oleh karena itu dia merendahkan dirinya di kursi yang berhadapan
dengan orang Negro itu, berbalik, sebaik dia bisa, laki-laki itu agak gelisah
meskipun senyumnya menyenangkan. Mantan penjahit itu duduk dengan kaku tapi
sabar di meja, menunggu petugas itu mengeluarkan buku catatan dan pensilnya
dan mulai mengajukan pertanyaan; tapi tak lama kemudian dia menjadi yakin bahwa
laki-laki itu tidak bermaksud melakukan hal semacam itu.
"Anda siapa?' Manischewitz bertanya dengan gelisah.
"Kalau saya boleh, seperti orang-orang biasanya, memperkenalkan diri saya, saya mempunyai nama Alexander Levine."
Memaksa dirinya sendiri,
sedikit senyum muncul di bibir pahit Manischewitz.
"Anda bilang Levine?"
dia bertanya dengan sopan.
Orang Negro itu mengangguk.
"Benar sekali."
Membawa lelucon sedikit lebih
jauh, Manischewitz bertanya, "Apakah Anda orang Yahudi?"
"Seumur hidupku dulu, dengan
sangat senang."
Manischewitz ragu-ragu. Dia
pernah mendengar tentang orang Yahudi berkulit hitam, tapi belum pernah bertemu
satu pun. Ini memberikan sensasi yang tidak biasa.
Menyadari ada sesuatu yang aneh
di penekanan pernyataan Levine, dia berkata dengan ragu, "Anda bukan orang
Yahudi lagi?"
Levine, pada titik ini, melepas
topinya, tapi segera menggantinya. Dia berkata dengan tenang, "Saya
baru-baru ini menjelma menjadi malaikat. Karena itu saya menawarkan bantuan sederhana
saya, menawarkan sesuatu yang berada dalam kewenangan dan kemampuan saya —dalam
arti yang terbaik." Dia menunduk meminta maaf. "Yang membutuhkan
penjelasan tambahan: saya adalah apa yang ditugaskan kepada saya, dan saat ini
penyelesaiannya akan diberikan di masa depan."
"Malaikat macam apa itu?"
Manischewitz bertanya dengan muram.
"Malaikat Tuhan yang bonafide,
dalam batasan tertentu," jawab Levine, "jangan mencampuradukkannya
dengan anggota sekte, ordo, atau organisasi mana pun di dunia ini yang bekerja
dengan nama yang sama."
Manischewitz sangat terganggu.
Dia mengharapkan sesuatu tapi bukan seperti ini. Olok-olok apalagi ini? Menerima
Levine sebagai seorang malaikat —dari seorang hamba setia yang sejak masa
kanak-kanak tinggal di sinagoga dan rumah studi2, memikirkan
firmanNya?
Untuk menguji Levine dia
bertanya, "Lalu di mana sayapmu?"
Orang Negro itu tersipu sebaik
yang dia bisa. Manischewitz memahami ini dari ekspresinya. "Dalam keadaan
tertentu kita kehilangan hak istimewa dan hak prerogatif saat kembali ke bumi
tidak peduli untuk tujuan apa, atau berusaha untuk membantu siapa."
"Jadi katakan
padaku," kata Manischewitz penuh kemenangan, "bagaimana kau bisa
sampai di sini?"
"Saya dikirim."
Masih curiga, penjahit itu berkata,
"Kalau kau seorang Yahudi, bacakanlah doa makan."
Levine membacanya dalam bahasa
Ibrani yang nyaring.
Meski tersentuh oleh kata-kata
yang sudah dikenalnya, Manischewitz masih tidak percaya dia berurusan dengan
seorang malaikat.
Dengan agak marah dia memaksa,
"Kalau kau adalah malaikat, tunjukkan buktinya."
Levine membasahi bibirnya.
"Terus terang, saya tidak bisa melakukan keajaiban atau yang mirip-mirip keajaiban,
karena kenyataannya saya masih dalam masa percobaan. Berapa lama itu akan
bertahan atau bahkan terjadi, saya akui, tergantung pada hasilnya."
Manischewitz memeras otak untuk menemukan beberapa cara agar Levine secara jelas mengungkapkan identitas aslinya, ketika orang Negro itu berbicara lagi, "Saya mengerti bahwa Anda dan istri membutuhkan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan?"
Penjahit itu tidak bisa
melepaskan diri dari perasaan bahwa dia adalah sasaran sebuah lelucon. Inikah
rupa malaikat Yahudi? pikirnya. Aku tidak yakin.
Tapi dia menanyakan satu
pertanyaan terakhir. "Jadi kalau Tuhan mengirimkan kepadaku seorang
malaikat, kenapa yang hitam? Kenapa tidak yang putih yang jumlahnya begitu
banyak?"
"Ini giliran saya,"
Levine menjelaskan.
Manischewitz tidak bisa
diyakinkan. "Kupikir kau cuma seorang penipu."
Levine perlahan bangkit...
Matanya menunjukkan kekecewaan dan kekhawatiran. "Tuan Manischewitz,"
katanya datar, "kalau Anda menginginkan saya untuk membantu Anda kapan
saja dalam waktu dekat, atau mungkin sebelum itu, saya bisa ditemukan"
—dia melirik sekilas ke kukunya— "di Harlem."
Dia lalu pergi.
Keesokan harinya Manischewitz
merasakan sakit punggungnya sedikit mereda dan mampu bekerja empat jam untuk menyetrika.
Sehari setelahnya, dia melakukannya enam jam; dan pada hari ketiga empat jam lagi.
Leah sedikit duduk dan meminta halvah3 untuk dihisap. Tapi
pada hari keempat rasa sakit yang menusuk dan menghancurkan kembali ke
punggungnya, dan Leah sekali lagi berbaring telentang, bernapas dengan susah
payah dengan bibir biru.
Manischewitz sangat kecewa
dengan kembalinya rasa sakit dan penderitaannya. Dia mengharapkan masa
kesembuhan yang lebih lama, cukup lama untuk memikirkan hal lain selain tentang
dirinya sendiri dan masalahnya. Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit,
dia hidup dalam kesakitan, dengan rasa sakit sebagai satu-satunya ingatannya,
dan mempertanyakan tentang itu semua, menentang, dan kadang-kadang meskipun
dengan kasih sayang, melawan Tuhan. Kenapa begitu sakit, Gottenyu4?
Kalau Dia ingin memberi hambaNya pelajaran karena suatu alasan, beberapa alasan
–sesuai sifatNya-- untuk mengajarinya, katakanlah, karena alasan kelemahannya,
pengabaiannya kepada Tuhan selama tahun-tahun kemakmurannya --beri dia sedikit
pelajaran, kenapa kemudian, satu saja tragedi yang terjadi padanya, satu saja
cukup untuk menghukumnya. Tapi semuanya berbarengan --hilangnya mata
pencahariannya, kedua anaknya, kesehatan Leah dan dirinya sendiri-- terlalu
berat untuk ditanggung oleh seorang laki-laki bertubuh lemah. Lagi pula, siapa
Manischewitz sehingga dia harus diberi begitu banyak penderitaan? Seorang tukang
jahit. Jelas bukan orang yang penting. Hanya untuk dia penderitaan itu sebagian
besar disia-siakan. Semua itu tidak ke mana-mana, menjadi ketiadaan: menjadi
lebih banyak rasa sakit. Rasa sakitnya tidak memberinya roti, juga tidak
mengisi retakan di dinding, atau mengangkat, di tengah malam, meja dapur; hanya
berbaring di atasnya, tidak tidur, sangat menindas sehingga dia bisa
berkali-kali menjerit tapi tidak mendengar dirinya sendiri melalui semua
kesengsaraan itu.
Dengan suasana hati seperti itu
dia tidak memikirkan Tuan Alexander Levine, tapi pada saat-saat ketika rasa
sakit itu mereda, untuk sesaat sedikit berkurang, dia kadang-kadang
bertanya-tanya apakah dia keliru sudah mengusirnya. Seorang Yahudi berkulit
hitam dan malaikat untuk diusir —sulit dipercaya, tapi bagaimana kalau dia
dikirim untuk menyelamatkan dirinya, dan dia, Manischewitz, dalam kebutaannya
terlalu buta untuk memahaminya? Pikiran inilah yang membuatnya berada di ujung
pisau kesakitan.
Oleh karena itu, sang penjahit,
setelah banyak mempertanyakan dan meragukan dirinya sendiri, memutuskan bahwa dia
akan mencari orang yang mengaku sebagai malaikat itu di Harlem. Tentu saja dia
mengalami kesulitan besar, karena dia tidak menanyakan alamat yang jelas, dan
semua gerakan membosankan baginya. Kereta bawah tanah membawanya ke Jalan 116th,
dan dari sana dia menejelajahi dunia yang gelap. Itu sangat luas dan lampunya
tidak menyala sedikit pun. Di mana-mana ada bayangan, sering kali bergerak-gerak.
Manischewitz tertatih-tatih dengan kesakitan, dengan bantuan tongkat; dan tidak
tahu ke mana harus mencari di bangunan rumah petak yang menghitam, melihat ke
jendela toko tanpa hasil. Di toko-toko dia melihat orang-orang dan semua orang
berkulit hitam. Sungguh hal yang menakjubkan untuk diperhatikan. Ketika dia
terlalu lelah, terlalu susah untuk melangkah lebih jauh, Manischewitz berhenti
di depan sebuah kios jahit. Terbiasa dengan tampilan kios seperti itu, dengan
sedikit patah hati, dia masuk. Penjahit itu, seorang Negro tua kurus dengan
rambut kelabu seperti wol, sedang duduk bersila di meja kerjanya, menjahit
celana panjang yang robek tersayat di sepanjang bagian pantatnya.
"Maafkan saya, Tuan,"
kata Manischewitz, mengagumi jari cekatan si penjahit yang tangkas, "tapi mungkin
Anda tahu seseorang bernama Alexander Levine?"
Penjahit yang, pikir
Manischewitz, tampak agak antagonis baginya, menggaruk-garuk kulit kepalanya.
"Kayaknya aku pernah dengar
nama itu."
"Alex-ander Lev-ine,"
kata Manischewitz perlahan.
"Kayaknya aku pernah
dengar."
Putus asa, Manischewitz hendak
pergi ketika dia ingat untuk mengatakan: "Dia adalah seorang malaikat,
mungkin."
"Oh, dia," kata
penjahit itu sambil berdecak. "Dia nongkrong di bar di ujung sana."
Dia menunjuk dengan jari kurusnya dan kembali ke celana yang robek.
Manischewitz menyeberang jalan
di depan lampu merah dan hampir tertabrak taksi. Di blok itu; setelah toko
berikutnya, toko keempat dari sudut adalah kabaret5, dan nama di
lampu yang berkilauan adalah Bella. Malu untuk masuk, Manischewitz menatap
melalui jendela yang diterangi lampu neon, dan ketika pasangan-pasangan penari
berpisah dan menjauh, dia melihat, di meja di belakang, Levine.
Dia duduk sendiri, puntung
rokok menjuntai dari sudut mulutnya, bermain solitaire dengan sekantong kartu
yang kotor, dan Manischewitz merasa kasihan padanya, karena penampilan Levine begitu
buruk. Topi derby-nya penyok dan ada noda putih di atasnya. Setelannya
yang tidak pas semakin lusuh, seolah-olah dia tidur sambil tetap memakai
pakaiannya. Sepatu dan bagian bawah celananya berlumur lumpur, dan wajahnya
ditutupi oleh janggut lebat berwarna coklat tua kayu manis. Manischewitz,
meskipun sangat kecewa, tetap akan masuk, ketika seorang perempuan Negro
berdada gemuk dengan gaun malam ungu muncul di depan meja Levine, dan dengan derai
tawa dari deretan gigi putihnya, berubah menjadi goyangan yang meliuk-liuk.
Levine menatap lurus ke arah Manischewitz dengan ekspresi seram, tapi penjahit
itu terlalu lumpuh untuk bergerak atau membalasnya. Saat goyangan Bella
berlanjut, Levine bangkit, matanya bersinar karena gembira. Dia memeluknya
dengan penuh semangat, kedua tangannya melingkari pantat besarnya yang tidak
berhenti bergerak, dan mereka menari bersama di lantai, disambut tepuk tangan
meriah oleh pelanggan lainnya. Perempuan itu sepertinya sudah mengangkat Levine
dan sepatu besarnya tergantung tak berdaya saat mereka menari. Mereka meluncur
melewati jendela tempat Manischewitz, berwajah pucat, berdiri menatap ke dalam.
Levine mengedipkan mata licik dan sang penjahit itu berlari pulang.
Leah terbaring di depan pintu
kematian. Melalui bibir yang mengkerut dia bergumam tentang masa remajanya,
kesedihan di ranjang pernikahan, kehilangan bayinya, dan menangis memohon
kehidupan. Manischewitz mencoba untuk tidak mendengarkan, tapi bahkan tanpa
telinga dia akan mendengar pikiran istrinya. Itu bukanlah anugerah. Dokter
terengah-engah menaiki tangga, seorang laki-laki bertubuh besar tapi lemah
gemulai, tidak bercukur (saat itu hari Minggu) dan menggelengkan kepalanya.
Satu atau dua hari paling lama. Dia segera pergi, bukannya tanpa rasa kasihan,
untuk menyelamatkan dirinya dari keputusasaan Manischewitz yang berlipat ganda;
laki-laki yang tidak pernah berhenti menyakiti. Dia suatu hari akan membawanya
ke perumahan umum6.
Manischewitz mengunjungi
sinagoga dan di sana berbicara kepada Tuhan, tapi anehnya Tuhan tidak ada.
Penjahit itu memeriksa hatinya dan tidak menemukan harapan. Ketika istrinya mati
dia akan hidup seperti orang mati. Dia mempertimbangkan untuk bunuh diri
meskipun dia tahu dia tidak akan pernah melakukannya. Tapi itu adalah sesuatu
yang perlu dipertimbangkan. Mengingat, kau berada di dalam ampas. Dia mencerca
Tuhan —meneriakkan namanya tanpa cinta. Bisakah kau mencintai batu, sapu,
kekosongan? Membuka dadanya, dia memukul tulang-tulang yang menonjol, mengutuk
dirinya sendiri karena menjadi orang beriman.
Sore itu, tertidur di kursi,
dia bermimpi tentang Levine. Dia berdiri di depan cermin pudar, sedikit bersolek,
merusak sayap warna-warni opal. "Artinya," gumam Manischewitz, saat
dia mulai terbangun dari tidurnya, "mungkin dia bisa jadi seorang malaikat."
Memohon kepada seorang perempuan tetangga untuk menjaga Leah, untuk sesekali
membasahi bibir istrinya dengan setetes air, dia mengenakan mantel tipisnya,
mencengkeram tongkatnya, menukar beberapa sen untuk token kereta bawah tanah,
dan pergi ke Harlem. Dia menganggap tindakan ini sebagai penderitaan dari
kesedihan yang terakhir: pergi tanpa keyakinan, mencari penyihir hitam untuk menyembuhkan
istrinya dari kelumpuhan. Tapi kalau tidak ada pilihan, setidaknya dia
melakukan apa yang sudah dipilihnya.
Dia tertatih-tatih ke Bar Bella
tapi tempat itu sudah berpindah tangan. Sekarang, saat dia menghela napas, itu
adalah sinagoga di dalam sebuah toko. Di depan, di hadapannya, ada beberapa
baris bangku kayu kosong. Di belakangnya berdiri Tabut, pintu masuknya terbuat
dari kayu kasar yang dilapisi dengan banyak payet berwarna; di bawahnya ada
meja panjang tempat gulungan suci yang belum dibuka, diterangi oleh cahaya
redup bohlam di rantai di atasnya. Di sekeliling meja, seolah terpaku di meja
dan gulungan itu, yang mereka sentuh dengan jari mereka, duduk empat orang
Negro mengenakan kopiah hitam. Sekarang saat mereka membaca Kitab Suci,
Manischewitz bisa, melalui kaca jendela kaca, mendengar nyanyian dari suara
mereka. Salah satunya sudah tua, dengan janggut abu-abu. Satu lagi bermata
gelembung. Satunya lagi bungkuk. Yang keempat masih bocah, berumur tidak lebih
dari tiga belas tahun. Kepala mereka bergerak berayun berirama. Tersentuh oleh
pemandangan dari masa kecil dan masa mudanya, Manischewitz masuk dan berdiri
diam di belakang.
"Neshoma,"
kata si mata gelembung, menunjuk ke sebuah kata dengan jari gemuknya. "Apaan
artinya?"
"Artinya jiwa," kata si
anak laki-laki. Dia memakai kacamata.
"Lanjutin dengan keterangannya,"
kata si orang tua.
"Nggak perlu,"
kata si bungkuk. "Jiwa adalah substansi non-materi. Itu saja. Jiwa
diturunkan dengan cara itu. Keabadian berasal dari substansi, dan keduanya,
secara kebetulan dan sebaliknya, berasal dari jiwa. Tidak ada yang lebih
tinggi."
"Itu yang tertinggi."
"Di atas yang paling
tinggi."
"Bentar, bentar."
"Tunggu bentar,"
kata si mata gelembung. "Aku gak ngerti apa itu substansi
non-materi. Kenapa bisa satu kekait dengan yang lain? Ngomong, Bung."
Dia berbicara kepada si bungkuk.
"Tanyakan padaku sesuatu
yang sulit. Karena ini adalah keabadian yang tidak berwujud. Tidak mungkin bisa
berdekatan, seperti organ tubuh di bawah satu kulit."
"Dengarkan sekarang," kata si orang
tua.
"Yang kalian lakukan cuma mengganti
kata-katanya."
"Ini adalah primum mobile7, substansi tanpa substansi yang darinya semua hal yang sudah
ditanamkan dalam gagasan itu berasal —kalian, aku, dan segala sesuatu serta semua
orang."
"Sekarang gimana
itu bisa terjadi? Bikinlah kedengaran sederhana."
"Di dalam roh," kata si
orang tua. "Di muka air bergerak roh. Dan itu bagus. Di Kitab bilangnya
begitu. Dari roh muncul manusia."
"Tapi sekarang dengarkan. Bagaimana
itu bisa menjadi substansi, kalau itu selama ini adalah roh?"
"Tuhan ndiri yang
melakukan itu."
"Kudus! Kudus! Terpujilah
namaNya."
"Tapi apa roh punya
kayak bayangan atau warna?" tanya si mata gelembung, datar.
"Astaga, tentu saja nggak.
Tidak berwarna."
"Terus kenapa kita berwarna?"
katanya, dengan tatapan penuh kemenangan.
"Kita nggak bisa ngapa-ngapain
soal itu."
"Aku masih penasaran."
"Tuhan menempatkan roh
dalam segala hal," jawab si anak laki-laki. "Dia menaruhnya di hijau
dedaunan dan merah bunga-bunga. Dia menaruhnya di ikan emas kecil di air dan di
langit biru yang besar. Begitulah yang terjadi pada kita."
"Amin."
"Terpujilah Tuhan dan
ucapkan dengan keras namaNya yang tidak boleh dikatakan."
"Tiuplah sangkakala untuk
menggetarkan langit."
Mereka terdiam, memikirkan kata-kata
berikutnya. Manischewitz mendekat.
"Maafkan saya,"
katanya. "Saya mencari Alexander Levine. Anda mungkin mengenalnya?"
"Itu si malaikat,"
kata si anak laki-laki.
"Oh, dia," sembur si mata
gelembung.
"Anda bisa menemukannya di
Bar Bella. Tempatnya tepat di seberang jalan," kata si bungkuk.
Manischewitz berkata bahwa dia
tidak bisa tinggal, berterima kasih pada mereka semua, dan tertatih-tatih menyeberangi
jalan. Ini sudah malam. Kota itu gelap dan dia hampir tidak bisa melihat
jalannya.
Tapi Bar Bella riuh dengan
musik blues. Melalui jendela Manischewitz mengenali kerumunan para penari dan
di antara mereka mencari Levine. Dia sedang duduk diam di meja samping Bar Bella.
Mereka menenggak wiski kelima yang hampir kosong. Levine sudah menanggalkan
pakaian lamanya, mengenakan setelan kotak-kotak baru yang mengilap, topi derby
abu-abu mutiara, cerutu, dan sepatu kancing besar dua warna. Yang membuat cemas
si penjahit, tatapan mabuk terlihat di wajah Levine yang sebelumnya begitu
terhormat. Dia mencondongkan tubuh ke arah Bella, menggelitik cuping telinga
perempuan itu dengan kelingkingnya, dan membisikkan kata-kata yang membuatnya
tertawa terbahak-bahak. Perempuan itu membelai lututnya. Manischewitz, menguatkan
dirinya, membuka pintu dan tidak diterima dengan baik.
"Tempat ini sudah
dipesan."
"Enyahlah, kucing
pucat."
"Keluarlah, Yankel8,
sampah Semit."
Dia tersentak, tapi maju ke
arah meja tempat Levine duduk, kerumunan terbelah di depannya saat dia
tertatih-tatih maju ke depan.
"Tuan Levine," dia
bicara dengan suara gemetar. "Di sini Manischewitz."
Levine melotot dengan pandangan
mata suram.
"Ngomong aja,
Nak."
Manischewitz menggigil.
Punggungnya mengganggunya. Getaran dingin menyiksa kakinya yang bengkok.
"Maafkan saya. Saya ingin
berbicara dengan Anda di tempat pribadi." Dia melihat sekeliling, tapi
orang-orang ada di mana-mana dan semuanya mendengarkan.
"Ngomong aja, semua
ini adalah orang sendiri."
Bella tertawa tajam.
"Hentikan, Nak, kau membunuhku."
Manischewitz, terusik,
mempertimbangkan untuk pergi, tapi Levine memanggilnya:
"Apa sebenarnya tujuan omonganmu,
tujuanmu yang sebenarnya?"
Sang penjahit membasahi
bibirnya yang pecah-pecah. "Anda seorang Yahudi. Saya yakin."
Levine bangkit, lubang
hidungnya mengembang.
"Ada lagi yang ingin kau omongin?"
Lidah Manischewitz tersiksa.
"Ngomong sekarang,
atau jangan pernah ngomong lagi."
Air mata membutakan mata si penjahit.
Pernahkah manusia begitu teruji? Haruskah dia mengatakan bahwa dia percaya
seorang Negro yang setengah mabuk adalah seorang malaikat?
Keheningan membatu.
Manischewitz sedang mengingat
kembali adegan-adegan masa mudanya, saat sebuah roda di benaknya berputar:
percaya, tidak, ya, tidak, ya, tidak. Jarum penunjuk menunjuk ke ya, ke antara
ya dan tidak, ke tidak, tidak, dan akhirnya ya. Dia mendesah. Orang harus
membuat pilihan.
"Saya percaya Anda juga
seorang malaikat —utusan Tuhan." Dia mengatakannya dengan sederhana tapi
dengan suara serak. Tapi dia berpikir, kalau kau harus mengatakannya maka
katakanlah. Kalau kau percaya maka kau harus mengatakannya. Kalau kau percaya, maka
kau percaya.
Keheningan pecah. Semua orang
berbicara tapi musik dimulai dan mereka melanjutkan menari. Bella, merasa
bosan, mengambil kartu-kartu dan membagi untuk dirinya sendiri.
Levine menangis.
"Betapa Anda sudah
mempermalukan saya."
Manischewitz dengan tulus
meminta maaf.
"Tunggu, saya akan
menyegarkan diri." Levine pergi ke toilet laki-laki dan kembali dengan
pakaian lamanya.
Tidak ada yang mengucapkan
selamat tinggal saat mereka pergi.
Mereka pergi ke apartemen
dengan kereta bawah tanah. Saat mereka menaiki tangga, Manischewitz menunjuk
dengan tongkatnya ke pintu.
"Itu semua sudah
diurus," kata Levine. "Sebaiknya Anda masuk sekarang."
Kecewa karena semuanya sudah
berakhir, tapi masih diliputi oleh rasa penasaran, Manischewitz mengikuti
malaikat itu menaiki empat anak tangga menuju atap. Ketika dia sampai di sana,
pintunya digembok.
Untungnya dia bisa melihat
melalui jendela kecil yang pecah. Dia mendengar suara aneh, seperti getaran
sayap, dan ketika dia berusaha untuk mendapat pandangan yang lebih luas, dia
bersumpah dia melihat sosok hitam yang melayang tinggi dengan sayap hitam yang
kokoh dan indah. Sehelai bulu melayang jatuh ke bawah. Manischewitz tersentak
saat bulu itu berubah menjadi putih, tapi itu hanya salju yang turun. Dia
bergegas turun ke bawah. Di apartemen itu, Leah membersihkan debu di bawah
tempat tidur dan sarang laba-laba di dinding.
"Sungguh suatu hal yang luar biasa, Leyka," kata Manischewitz. "Orang Yahudi ada di mana-mana."
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Topi derby: dikenal
juga sebagai topi bowler, juga dikenal sebagai topi coke, billycock,
topi bob, bombĂn (Spanyol), adalah topi keras dengan bentuk
bundar, awalnya dibuat oleh pembuat topi London Thomas dan William Bowler pada
tahun 1849.
2 Rumah studi: beth
midrash, juga disebut beis medrash atau beit midrash, adalah
tempat yang dibuat untuk mempelajari Taurat, sering diterjemahkan sebagai
"rumah studi". Ini berbeda dengan sinagoga (beth knesseth),
meskipun keduanya sering kali berdekatan. Dalam bahasa Yiddish, beth midrash
disebut sebagai zal, yaitu "aula".
3 Halvah: juga disebut
halva, halwa, halua, adalah sejenis penganan yang tersebar luas di Timur Tengah
dan Afrika Utara, Balkan, dan Asia Selatan. Nama ini digunakan untuk berbagai
macam resep, umumnya berupa pasta kental yang terbuat dari tepung, mentega,
minyak cair, kunyit, air mawar, susu, bubuk kunyit, dan dimaniskan dengan gula.
4 Gottenyu: ungkapan
slang bahasa Yiddish Yahudi yang berarti "Ya Tuhan!".
5 Kabaret: bentuk
hiburan teater yang menampilkan musik, lagu, tari, pembacaan naskah, atau
drama. Tempat pertunjukannya bisa berupa pub, kasino, hotel, restoran, atau
klub malam dengan panggung untuk pertunjukan.
6 Perumahan umum: juga
dikenal sebagai perumahan sosial, merujuk pada perumahan terjangkau yang
disediakan di gedung-gedung yang biasanya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah, pemerintah pusat, organisasi nirlaba, atau gabungannya.
7 Primum mobile: dalam
astronomi klasik, abad pertengahan, dan Renaisans, Primum Mobile (bahasa
Latin: "yang pertama dapat digerakkan") adalah bola bergerak terluar
dalam model geosentris alam semesta. Konsep ini diperkenalkan oleh Ptolemeus
untuk menjelaskan gerakan harian langit di sekitar Bumi, yang menghasilkan
terbit dan terbenamnya matahari dan bintang dari timur ke barat, dan mencapai
Eropa Barat melalui Ibnu Sina.
8 Yankel, Yankele,
Yankl, Jankiel, Jankel adalah nama umum orang Yahudi. Ini
adalah bentuk bahasa Yiddish dari Yakub.

Comments
Post a Comment