Tukang Kayu Cendana (The Worker in Sandalwood ~ Marjorie L. C. Pickthall)
“Apakah begitu, temanku?” kata Sang Nyonya, menunjuk ke lemari. Lalu pendeta tua itu menundukkan kepalanya.
“Mungkin begitu. Tuhan sangat baik,” katanya lembut. Tapi dia tidak terlalu yakin dengan apa yang dia percayai.
Di musim dingin yang seperti itu, dulu, Hyacinthe pernah yakin akan satu hal, dan itu
adalah bahwa bengkelnya sangat dingin. Tidak ada api di dalam, hanya satu lampu kecil ketika kegelapan
turun. Peralatan kerjanya begitu dingin sampai berjelaga di tangannya, dan kakinya begitu dingin sampai dia menari canggung di tumpukan serutan kayu untuk menghangatkannya. Dia adalah seorang bocah
laki-laki kikuk berumur empat belas, berwajah gelap, bermata sendu, dan
tidak terawat. Dia kikuk karena tidak mungkin menjadi manis ketika kau tumbuh sangat cepat dan tidak punya cukup makanan. Matanya sendu karena semua mata memandangnya tanpa simpati. Dia tidak dipedulikan karena tidak ada yang menyadari keindahan jiwanya. Tapi tangan mudanya yang kuat bisa mengukir banyak hal seperti burung dan bunga dengan sempurna. Di malam musim dingin ini dia hanya ingin tahu apakah dia bisa menepikan peralatan kerjanya, dan merayap pulang ke loteng dingin tempat dia tidur, ketika dia mendengar suara Pierre
L'Oreillard berteriak di luar.
“Cepat, cepat, buka pintu, imbécile1. Ini aku, tuanmu.”
“Oui, mon mâitre2,” kata Hyacinthe, lalu menyeret
kakinya ke pintu dan membukanya.
“Cacing pemalas!” seru Pierre, lalu memukul Hyacinthe begitu anak itu lewat.
Hyacinthe mengusap kepalanya dan tidak berkata apa-apa. Dia sering dipukul. Dia bertanya-tanya kenapa tuannya berada di bengkel bukannya minum brendi di Cinq Chateaux.
Pierre L'Oreillard membawa bungkusan kecil yang berat di bawah lengannya, dibungkus sak semen, lalu dilapisi karung goni, lalu kain yang halus. Dia menaruhnya di atas tumpukan serutan kayu, dan membukanya dengan hati-hati; dan sebuah aroma manis samar memenuhi gudang gelap itu dan menggantung berat di tipis cahaya matahari musim dingin.
“Ini adalah sepotong kayu,” kata Hyacinthe heran. Dia tahu bahwa kayu itu belum pernah ada di Terminaison.
Pierre L'Oreillard mengusap kayu itu dengan hormat dengan jarinya yang bertonjolan.
“Ini kayu cendana,” katanya kepada Hyacinthe, bangga dengan
pengetahuannya membuatnya sedikit ramah, “kayu paling mahal yang tumbuh di negeri-negeri yang hangat, Goblin. Cium baunya, idiot. Ini lebih manis dari kayu cedar. Ini untuk membuat lemari untuk Nyonya tua di rumah
besar itu.”
“Oui, mon mâitre,” kata Hyacinthe datar.
“Tanganmu yang besar akan membentuk dan menghaluskannya, niguad3, dan aku akan membuatnya menjadi indah,” kata Pierre, membusungkan dadanya.
“Baik, tuan,” jawab Hyacinthe rendah hati, “dan kapan ini harus selesai untuk Nyonya?”
“Nyonya menginginkannya
buat minggu depan, karena saat itu Natal. Ini harus selesai dan sudah siap untuk festival suci, pemalas. Kau dengar?” lalu dia memukul telinga Hyacinthe lagi.
Hyacinthe tahu bahwa pembuatan lemari itu akan jatuh
kepadanya, seperti sebagian besar pekerjaan lainnya. Ketika Pierre L'Oreillard pergi dia menyentuh kayu aneh yang manis itu dan akhirnya menaruh pipinya di atasnya, sembari menghirup aromanya. “Sangat indah!” kata Hyacinthe, dan untuk sesaat
matanya bersinar, dan dia bahagia. Lalu cahaya redup, dan dengan kepala tertunduk dia beringsut kembali ke bangkunya melalui tumpukan serutan kayu putih yang hampir setinggi lututnya.
“Nyonya menginginkan lemari buat Natal,” ulang Hyacinthe kepada dirinya sendiri, lalu bekerja lebih keras dari sebelumnya, walaupun saat itu sangat dingin di dalam gudang sehingga nafasnya terlihat menggantung di udara seperti awan kecil keperakan. Ada sebuah jendela kecil di sebelah kanannya, yang dari situ, ketika udara dingin agak jernih, orang bisa melihat Terminaison; dan kota itu ceria, dan membuatnya bersiul-siul. Tapi di kiri, melalui celah pintu yang tidak pas, tidak ada yang
bisa dilihat kecuali hutan, dan jalanan yang sekarat jauh di dalamnya, dan pohon-pohon yang berayun-ayun dengan
berat di bawah salju.
Brendi sangat bagus di Cinq Chateaux dan Pierre L'Oreillard memberi Hyacinthe banyak perintah, tapi tidak ada bantuan lagi
dengan lemari itu.
“Ini harus selesai untuk Nyonya saat festival, pemalas,” katanya setiap hari, memukul kepala
Hyacinthe, “selesai, dan dengan sudut-sudut yang indah, kau dengar, ourson4?”
“Baik, Tuan,” kata Hyacinthe dengan cara bicaranya yang lambat; “Saya akan coba untuk
menyelesaikannya. Tapi kalau saya terburu-buru saya malah akan merusaknya.”
Mata kecil Pierre berkedip-kedip. “Kulihat ini sudah dikerjakan, dan dikerjakan dengan benar. Aku tidak enak badan dan kakiku agak sakit belakangan ini, sehingga aku tidak bisa memegang alat dengan benar. Aku harus meninggalkan pekerjaan
ini kepadamu, gâcheur5. Berdiri dan pegang topimu kalau aku bicara kepadamu, cacing pemalas.”
“Baik, Tuan,” kata Hyacinthe lelah.
Sangat sulit untuk
melakukan semua pekerjaan dan dipukuli sebagai upahnya. Dan umur empat belas tahun belum cukup besar. Hyacinthe mengerjakan lemari itu dengan keterampilan yang lambat tapi indah. Tapi pada malam Natal dia masih di tempat kerja, dan lemari itu belum selesai.
“Tuan akan memukuliku,” pikir Hyacinthe, dan dia sedikit gemetar, karena pukulan Pierre
sangat kejam. “Tapi kalau aku terburu-buru, aku akan
merusak kayunya, dan kayu ini terlalu indah untuk disia-siakan.”
Tapi dia gemetar lagi ketika Pierre datang ke bengkel, lalu dia berdiri dan memegang topinya.
“Apakah lemarinya sudah jadi, imbécile?” tanya Pierre. Dan Hyacinthe menjawab dengan suara pelan, “Belum, belum selesai, Tuan.”
“Kalau begitu kerjakan malam
ini dan selesaikan besok pagi, atau tulang-tulangmu akan menyesali kemalasanmu,” kata Pierre, dengan tatapan jahat di matanya yang kecil. Lalu dia meninggalkan Hyacinthe di dalam gudang dengan lampu yang berasap, peralatan, dan lemari dari kayu
cendana.
Ini tidak biasa. Dia sudah sering ditinggal untuk menyelesaikan pekerjaan semalaman saat Pierre pergi minum brendi. Tapi ini malam Natal, dan dia sangat lelah. Bahkan aroma cendana tidak bisa membuatnya merasa hangat. Dunia terlihat seperti tempat yang suram, penuh penderitaan dan keputusasaan.
“Di dunia ini, aku tidak punya teman,” kata Hyacinthe, menatap cahaya lampu. “Di dunia ini, tidak ada seorang pun yang peduli
apakah aku hidup atau mati. Di
dunia ini, tidak ada tempat, tidak ada hati, tidak ada cinta. O Tuhan yang baik, apakah ada tempat, ada cinta buatku di dunia yang lain?”
Saya berharap Anda merasa iba kepada Hyacinthe, kesepian, dan kedinginan, dan kelaparan, ditinggalkan sendirian di bengkel di malam Natal. Dia hanya seorang anak yang tidak bahagia. Dan saya dengan Nyonya tua itu memikirkan
anak-anak yang tidak bahagia, di musim ini, yang sepertinya tidak akan mendapat
pertolongan dari Tuhan.
“Tidak ada orang yang peduli padaku,” kata Hyacinthe. Dan dia melihat garis di tangannya, berpikir bahwa dengan satu sentuhan dia bisa mengakhiri semuanya, dan menjadi damai, di suatu tempat yang tidak jauh dari Tuhan. Hanya saja hal itu dilarang. Lalu datanglah air mata, dan isak tangis yang mengguncang tubuhnya, sampai samar-samar dia
mendengar suara kait bergemeretak pelan.
Dia berlari ke pintu, membukanya di arah hutan yang diam dan bintang-bintang yang beku. Dan seorang bocah yang berdiri di luar di tengah salju berkata, “Aku melihatmu
bekerja sampai larut malam, kawan. Bolehkah aku masuk?"
Hyacinthe menggosok-gosokkan lengan bajunya yang compang-camping ke matanya dan mengangguk “Ya.” Desa-desa kecil yang berjajar di sepanjang sungai besar terlihat aneh kali ini. Dan Hyacinthe berkata kepada dirinya sendiri bahwa tempatnya juga sama saja. Mata orang asing itu berkedip, dia untuk sesaat kehilangan kesan pertamanya sebagai seorang bocah, sebaliknya justru berkesan seperti seseorang yang sangat tua dan sedih. Tapi mata pengembara itu begitu tenang, sangat tenang, seperti kolam kecil di hutan tempat binatang-bintang liar minum. Ketika dia berbalik di pintu, tersenyum pada Hyacinthe dan membersihkan salju
dari topinya, dia tidak terlihat seperti berumur enam belas atau lebih.
“Sangat dingin di luar,” katanya. “Ada pohon oak besar
di pinggir ladang yang tumbang di tengah salju dan
membuat takut semua tupai kecil yang tidur di sana. Tahun depan dia akan menjadi rumah yang lebih baik buat tupai-tupai itu. Dan lihat apa yang kutemukan di sana!” Dia membuka jari-jarinya dan menunjukkan kepada Hyacinthe burung pipit kecil yang sedang terbaring
tenang di telapak tangannya.
“Pauvrette6!” kata Hyacinthe datar. “Pauvrette! Apakah mereka sudah mati?" Dia menyentuhnya dengan telunjuknya lembut.
“Tidak,” jawab anak aneh itu, “ini belum mati. Kita akan menaruhnya di sini antara serutan kayu, tidak jauh dari lampu, dan dia akan sehat lagi besok pagi.”
Dia tersenyum kepada Hyacinthe lagi, dan bocah yang menyeret kakinya itu terhuyung-huyung seolah-olah aroma kayu cendana itu lebih manis, dan cahaya lampu lebih terang. Tapi mata orang asing itu begitu tenang, sangat tenang.
“Apakah kau datang dari jauh?” tanya Hyacinthe. “Ini adalah musim yang buruk untuk bepergian, apalagi serigala berada di luar.”
“Sangat jauh,” kata bocah itu. “Sebuah perjalanan yang sangat, sangat jauh. Aku mendengar tangisan seorang anak--”
“Tidak ada anak-anak di sini,” sergah Hyacinthe. “Tuan L'Oreillard bilang bahwa anak-anak memakan biaya yang terlalu besar. Tapi kalau kau datang dari jauh, kau pasti membutuhkan makanan dan api, yang aku tidak punya. Di Cinq Chateaux kau bisa menemukan keduanya.”
Orang asing itu menatapnya lagi dengan mata tenang, dan Hyacinthe merasa wajahnya begitu akrab. “Aku akan tinggal di sini,”
katanya; “pekerjaanmu terlambat, dan kau tidak bahagia.”
“Begitulah,” jawab Hyacinthe, menggosok pipinya merasa malu dengan air matanya, “sebagian besar dari kita merasa sedih pada satu waktu, Tuhan yang baik tahu. Tinggallah di sini dan selamat datang kalau itu membuatmu senang; dan kau bisa tidur di tempat
tidurku, walaupun itu tidak lebih dari tumpukan dahan
balsam dan selimut tua di loteng. Tapi aku harus mengerjakan lemari ini, karena lacinya harus
selesai dan pegangannya harus dipasang dan sudut-sudutnya harus diukir, semua sebelum pagi yang suci; atau upahku akan dibayar dengan tongkat.”
“Kau punya tuan yang keras,” potong bocah itu,
“apakah dia akan membayarmu dengan pukulan di festival Sang Noel7.”
“Dia cukup keras,” kata Hyacinthe, “tapi satu kali dia memberiku makan malam sosis dan anggur putih; dan sekali, di musim panas, melon. Kalau mataku tetap terbuka, aku bisa menyelesaikan ini nanti pagi. Tinggallah denganku satu jam atau lebih, kawan,
dan ceritakan kepadaku tentang perjalananmu, supaya waktu berlalu lebih cepat.”
“Aku akan menceritakan kepadamu
tentang negeri tempatku tinggal waktu aku kecil,” jawab orang asing itu.
Dan sementara Hyacinthe bekerja, dia bercerita, --tentang sinar matahari dan debu, tentang bayangan daun anggur di dinding putih sebuah rumah; tentang merpati kemerahan di atap; tentang bunga-bunga yang mekar di musim semi, anemon merah dan biru, dan cyclamen putih di balik bayangan batu-batu; tentang zaitun, murad, dan badam; sampai jari-jari Hyacinthe berhenti
bekerja, dan matanya yang mengantuk berkedip takjub.
“Lihat apa yang saudah kau lakukan, kawan,” katanya akhirnya, “kau menceritakan kepadaku hal-hal yang begitu indah sehingga aku cuma
mengerjakan sedikit hal padahal sudah bekerja selama satu jam. Dan sekarang lemari ini tidak akan
pernah selesai, dan aku akan dipukuli.”
“Biarkan aku membantumu,” tersenyum bocah itu, “aku juga dibesarkan sebagai seorang tukang kayu.”
Awalnya Hyacinthe tidak mengijinkannya, takut mempercayakan kayu
indah itu selain kepada tangannya sendiri. Tapi akhirnya dia membiarkan orang asing itu untuk memasukkan salah satu laci kecil. Dan begitu bagus itu dikerjakan sampai Hyacinthe meninju bangku karena kagum. “Kau punya bakat yang cukup hebat,” serunya. “Sepertinya tidak ada yang kau lakukan kecuali memegang laci itu sebentar, dan
hey! ho! laci itu melompat ke tempatnya.”
“Biarkan aku memasang laci kecil lainnya sementara kau beristirahat sebentar,” kata orang asing itu. Jadi
Hyacinthe meringkuk di antara serutan kayu, dan anak laki-laki yang lain mengerjakan lemari kayu dari
kayu cendana itu.
Hyacinthe sangat lelah. Dia berbaring diam di antara serutan kayu, dan
memikirkan semua yang anak laki-laki lain itu ceritakan kepadaya, tentang bukit
yang berbunga, dedaunan yang tertawa, mekar keemasan adas manis, dan cahaya
keemasan matahari di jalan sampai dia cukup hangat. Dan sepanjang waktu anak
laki-laki dengan mata tenang itu mengerjakan lemarinya, menghaluskan, mem-finish, dan memoles.
“Kau melakukan pekerjaan lebih baik daripada aku,” kata Hyacinthe satu
kali, dan orang asing itu menjawab, “Aku pernah diajari dengan penuh cinta.”
Dan Hyacinthe berkata lagi, “Sebentar lagi pagi. Sebentar lagi aku akan bangun
dan membantumu.”
“Tidurlah dan beristirahatlah,” kata anak itu. Dan Hyacinthe berbaring
diam. Pikirannya mulai meluncur ke alam mimpi, dan dia terbangun dengan sedikit
kaget, karena sepertinya ada musik di dalam gudang; walaupun dia tidak tahu
apakah itu datang dari bibir anak aneh itu, atau dari alat-alat lusuh karena
dia sedang menggunakannya, atau dari bintang-bintang.
“Bintang-bintang sudah lebih pucat,” pikir Hyacinthe. “Sebentar lagi
pagi, dan sudut-sudut lemari belum diukir. Aku harus bangun dan membantu anak
baik itu sebentar lagi. Hanya saja musik dan keindahannya sepertinya membuaiku,
sampai aku tidak bisa bergerak.”
Lalu dari balik hutan bersinar seberkas cahaya pucat sang fajar, dan di
Terminaison lonceng gereja mulai berdentang. “Pagi akan segera berada datang,”
pikir Hyacinthe, “dan bersama pagi akan datang Tuan L'Oreillard dan tongkatnya.
Aku harus bangun dan membantu, karena sudut-sudutnya belum diukir.”
Tapi orang asing itu menatapnya, tersenyum seolah-olah dia mencintainya,
dan meletakkan jari cokelatnya ringan pada keempat sudut kosong lemari itu. Dan
Hyacinthe melihat kotak kayu kemerahan itu bergoyang dan berayun dan pecah,
seperti awan kecil ketika angin mendorongnya ke langit. Dan dari dalamnya
keluar burung-burung kecil, dan setelah itu bunga lili, sekali saja; tapi
begitu Hyacinthe melihatnya, semuanya kembali menjadi kayu coklat kemerahan
manis. Lalu orang asing itu tersenyum lagi, meletakkan semua peralatannya
sesuai tempatnya lagi, lalu, membuka pintu, pergi ke dalam hutan.
Hyacinthe merayap pelan ke pintu. Matahari musim dingin, setengah
bangkit, mengisi semua udara dingin dengan cahaya keemasan yang indah. Di jalan
di kejauhan satu sosok tampak bergerak di tengah kemuliaan, tapi cahayanya
membutakan Hyacinthe. Nafasnya tersengal ketika cahaya itu jatuh di gudang
kumuh itu, di tumpukan serutan kayu lama, di lemari dengan burung-burung kecil
dan bunga lili yang diukir di sudut-sudutnya.
Hatinya terlalu murni untuk merasa takut. Tapi, “Terpujilah Tuhan,” gumam Hyacinthe, menggenggam tangan lambatnya, “karena Dia sudah datang dan menebus umat-Nya. Tapi siapa yang akan percaya?”
Lalu matahari hari Kristus terbit dengan segala kemegahannya, dan seekor
burung pipit kecil keluar dari sarangnya di dalam serutan kayu dan
mengepak-ngepakkan sayapnya ke arah cahaya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Imbicile: imbisil, idiot (Prancis).
2 Oui, mon mâitre: ya, Tuanku (Prancis).
3 Niguad: bodoh (Prancis).
4 Ourson: anak beruang (Prancis).
5 Gacheur: orang yang sering
salah dalam pekerjaan, perusak (Prancis).
6 Pauvrette: makhluk yang
malang (Prancis).
7 Noel: Pere Noel; sebutan untuk Sinterklas di negeri-negeri berbahasa
Perancis.

Comments
Post a Comment