Di Jalanan (On the Road ~ Langston Hughes)
Sang Pastor
Tuan Dorset, sebaliknya, melihat salju ketika dia menyalakan lampu teras,
membuka pintu depan rumah pastor, dan menemukan di hadapannya seorang laki-laki
kulit hitam besar dengan salju di wajahnya, seorang laki-laki di sebuah
kepingan malam dengan salju di wajahnya --jelas menganggur.
Kata Pastor
Tuan Dorset sebelum Sargeant menyadari bahwa dia membuka mulutnya: "Maaf.
Tidak! Pergilah ke kanan di jalan ini empat blok dan belok ke kiri, tujuh rumah
dan Anda akan menemukan Tempat Penampungan. Maafkan aku. Tidak!" Dia
menutup pintu. Sargeant ingin memberi tahu orang suci itu bahwa dia sudah
pernah ke Tempat Penampungan, pernah ke ratusan tempat penampungan selama
tahun-tahun depresi, tempat tidur selalu sudah tidak ada dan makan malam sudah
selesai, tempat itu penuh, dan mereka membedakan warna kulit juga. Tapi pastor
itu berkata, "Tidak," dan menutup pintu. Jelas dia tidak mau
mendengarnya. Dan dia punya pintu untuk ditutup.
Laki-laki
kulit hitam besar itu berbalik. Dan tanpa melihat salju, dia berjalan langsung
ke dalamnya. Mungkin dia merasakannya, dingin, basah, menempel di rahangnya,
basah di tangan hitamnya, membanjiri sepatunya. Dia berhenti dan berdiri di
trotoar membungkuk karena lapar, mengantuk, kedinginan --memandang ke atas dan
ke bawah. Kemudian dia melihat tepat di tempatnya --di depan sebuah gereja!
Tentu saja! Sebuah gereja! Tentu, tepat di samping rumah pastor, tentu saja
sebuah gereja.
Gereja itu
memiliki dua pintu.
Tangga putih
lebar di malam hari semuanya seputih salju. Dua pintu melengkung tinggi dengan
pilar batu ramping di kedua sisinya. Dan jauh ke atas, jendela bundar berenda
dengan salib batu di tengah dan Kristus di salib di batu. Semua itu tampak
pucat di lampu jalan, padat dan sepucat batu di tengah salju. Sargeant
berkedip. Ketika dia mendongak, salju jatuh ke matanya. Untuk pertama kalinya
malam itu dia melihat salju. Dia menggelengkan kepalanya. Dia mengibaskan salju
dari lengan mantelnya, merasa lapar, merasa tersesat, merasa tidak tersesat,
merasa kedinginan. Dia menaiki tangga gereja. Dia mengetuk pintu. Tidak ada
jawaban. Dia mencoba pegangannya. Terkunci. Dia meletakkan bahunya di pintu dan
tubuhnya yang hitam panjang miring seperti ramrud2. Dia
mendorong. Dengan erangan ritmis yang keras, seperti erangan dalam lagu gang rantai3, dia mendorong pintu.
"Aku
lelah ... Huh! ... Lhaphar ... Uh! ... Aku mengantuk ... Huh! Aku
kedinginan ... Aku harus tidur entah di mana," kata Sargeant. "Ini
adalah gereja, bukan? Ya, kan!"
Dia mendorong
pintu.
Tiba-tiba,
dengan suara retakan dan cakaran yang tidak semestinya, pintu itu mulai membuka
jalan bagi orang Negro hitam tinggi yang mendorongnya dengan ganas.
Sekarang dua
atau tiga orang kulit putih berhenti di jalan, dan Sargeant samar-samar
menyadari beberapa dari mereka meneriakinya soal pintu itu. Tiga atau empat
orang lagi berlari, berteriak padanya.
"Hei!"
mereka berkata. "Hei!"
"Uh-huh,"
jawab orang Negro besar dan tinggi itu, "Aku tahu ini gereja orang kulit
putih, tapi aku harus tidur di suatu tempat." Dia menerjang pintu itu
lagi. "Huh!" Dan pintunya terbuka.
Tapi tepat
ketika pintu terbuka, dua polisi kulit putih datang dengan mobil, berlari
menaiki tangga dengan pentungan mereka, dan meraih Sargeant. Tapi Sargeant
untuk kali ini tidak berniat untuk ditarik atau didorong dari pintu.
Sargeant
meraih, tapi tidak untuk sesuatu yang lemah seperti pintu yang sudah rusak. Dia
meraih salah satu pilar batu tinggi di samping pintu, meraihnya dan
menangkapnya. Dan menahannya. Polisi menarik Sargeant. Orang-orang di jalan
berada di belakang polisi dan membantu mereka menarik.
"Seorang
Negro hitam besar pengangguran memegangi gereja kita!" pikir orang-orang.
"Mimpi!"
Polisi mulai
memukul kepala Sargeant, dan tidak ada yang memprotes. Tapi dia bertahan.
Lalu gereja
itu roboh.
Perlahan-lahan,
batu besar bagian depan gereja roboh, tembok dan kaso, salib dan Kristus.
Kemudian semuanya jatuh, menutupi polisi dan orang-orang dengan batu bata,
batu, dan puing-puing. Seluruh gereja jatuh di atas salju.
Sargeant
keluar dari bawah gereja dan terus berjalan dengan pilar batu di bahunya. Dia
mendapat kesan bahwa dia sudah mengubur rumah pastor dan Pastor Tuan Dorset
yang berkata, "Tidak!" Jadi dia tertawa, dan melemparkan pilar enam
blok ke jalan dan melanjutkan.
Sargeant
mengira dia sendirian, tapi mendengar suara langkah kaki yang keras, semakin
keras, dan semakin keras di salju, juga mendengar langkah-langkah kaki lain,
dia mempercepat langkah kakinya sendiri. Dia melihat sekeliling, dan ada
Kristus yang berjalan di sampingnya, Kristus yang sama yang sudah di salib di
gereja –patung batu dengan permukaan yang kasar, berjalan di sampingnya seperti
patah dari salib ketika gereja itu runtuh.
"Yah, aku
akan tabah," kata Sargeant. "Ini pertama kalinya aku menurunkanmu
dari salib."
"Ya," kata Kristus, membenamkan kakinya di salju.
"Kau harus meruntuhkan gereja untuk melepaskan aku dari salib."
"Kau
senang?" kata Sargeant.
"Pastinya,"
kata Kristus.
Mereka berdua
tertawa.
"Aku
orang yang luar biasa, bukan?" kata Sargeant. "Meruntuhkan
gereja!"
"Kau
melakukan pekerjaan dengan baik," kata Kristus. "Mereka sudah memaku
aku di kayu salib selama hampir dua ribu tahun."
"Whee-ee-e!"
kata Sargeant. "Aku tahu kau senang bisa turun."
"Tentu
saja," kata Kristus.
Mereka terus
berjalan di atas salju. Sargeant memandang laki-laki batu itu. "Dan kau
sudah berada di sana selama dua ribu tahun?"
"Aku
yakin," kata Kristus.
"Yah,
kalau aku punya sedikit uang," kata Sargeant, "aku akan mengajakmu
berkeliling."
"Aku
sudah pernah berkeliling," kata Kristus.
"Ya, tapi
itu sudah lama sekali."
"Semuanya
masih sama." kata Kristus, "Aku sudah pernah."
Mereka terus
berjalan di atas salju sampai mereka tiba di halaman rel kereta api. Sargeant
lelah, berkeringat dan lelah.
"Kemana
kau mau pergi?" Sargeant berkata, berhenti di rel. Dia memandang Kristus.
Sargeant
berkata, "Aku cuma seorang gelandangan di jalan. Bagaimana denganmu?
Kemana kau akan pergi?"
"Hanya
Tuhan yang tahu," kata Kristus, "tapi aku akan pergi dari sini."
Mereka melihat
lampu merah dan hijau halaman kereta api yang setengah tertutup oleh salju yang
turun malam itu. Jauh di jalan setapak mereka melihat api di belantara
gelandangan.
"Aku bisa
pergi ke sana dan tidur," kata Sargeant.
"Kau
bisa?"
"Tentu,"
kata Sargeant. "Tempat itu tidak punya pintu."
Di luar kota,
di sepanjang rel, ada pepohonan dan semak-semak di bawah tanggul, berwarna
abu-abu salju dalam gelap. Dan di antara pepohonan dan semak-semak itu ada
rumah-rumah darurat yang terbuat dari kotak-kotak dan timah serta
potongan-potongan kayu tua dan kanvas. Anda tidak dapat melihat mereka dalam
kegelapan, tapi Anda tahu mereka ada di sana kalau Anda pernah berada di jalan,
kalau Anda pernah hidup dengan tunawisma dan kelaparan dalam depresi.
"Aku akan
mengalihkan perhatian," kata Sargeant. "Aku lelah."
"Aku akan
sampai ke Kansas," kata Kristus.
"Oke,"
kata Sargeant. "Sampai jumpa!"
Dia pergi ke
kumpulan gelandangan dan menemukan tempat untuk tidur. Dia tidak pernah melihat
Kristus lagi. Sekitar pukul enam pagi, sebuah kereta kargo datang. Sargeant
bergegas keluar dari hutan dengan selusin gelandangan dan berlari di sepanjang
rel, meraih kereta itu. Saat itu fajar, dini hari, dingin dan kelabu.
"Aku
bertanya-tanya di mana Kristus sekarang?" pikir Sargeant. "Dia pasti
pergi jauh di jalan. Dia tidak tidur di belantara ini."
Sargeant
meraih kereta dan mulai menarik dirinya ke dalam gerbong batu bara yang sedang
bergerak, melewati tepi gerbong batu bara yang sedang berjalan. Tapi anehnya,
gerbong itu penuh dengan polisi. Polisi terdekat memukul Sargeant dengan keras
di buku-buku jarinya dengan tongkat tidurnya. Bam! Memukul-mukul tangan hitam
besarnya karena menempel di bagian atas gerbang. Bam! Tapi Sargeant tidak
mengendur. Dia berpegangan dan mencoba menarik dirinya ke dalam gerbong. Dia
berteriak sekeras-kerasnya, "Sial, biarkan aku masuk gerbong ini!"
"Diam,"
bentak polisi itu. "Dasar gila!" Dia memukul Sargeant di buku-buku
jari dan meninju perutnya. "Kau bukan berada di hutan sekarang. Ini bukan
kereta. Kau di penjara."
Bam!
Jari-jarinya yang hitam telanjang menempel pada jeruji selnya. Bam! Di sela
jeruji baja rendah di tulang keringnya.
Tiba-tiba
Sargeant sadar bahwa dia benar-benar berada di penjara. Dia tidak berada di
kereta. Darah dari malam sebelumnya sudah mengering di wajahnya, kepalanya
sangat sakit, dan seorang polisi di luar koridor memukulnya di buku-buku jari
karena memegang pintu, berteriak-teriak dan mengguncang pintu sel.
"Mereka
pasti membawaku ke penjara karena mendobrak pintu tadi malam," pikir
Sargeant, "pintu gereja itu."
Sargeant pergi
dan duduk di bangku kayu di dekat dinding batu yang dingin. Dia lebih hampa
dari sebelumnya. Pakaiannya basah, basah kuyup, dan sepatunya kotor karena air
salju. Saat itu baru akan dini hari. Di sanalah dia, dikurung di balik pintu
sel, merawat jari-jarinya yang memar.
Jari-jari yang
memar itu miliknya, bukan pintunya. Bukan pentungannya tapi jari-jarinya.
"Tunggu,"
gumam Sargeant, hitam bersandar di dinding penjara. "Aku akan mendobrak
pintu ini juga."
"Diam
—atau aku akan menghajarmu," kata polisi itu.
“Aku akan
mendobrak pintu ini,” teriak Sargeant saat dia berdiri di selnya. Kemudian dia
pasti bicara dengan dirinya sendiri karena dia berkata, “Aku bertanya-tanya ke
mana Kristus pergi? Aku ingin tahu... apakah dia pergi ke Kansas?”
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Depresi Besar: kemerosotan ekonomi global yang parah yang
terjadi dari tahun 1929 sampai 1939. Periode tersebut ditandai dengan tingginya
angka pengangguran dan kemiskinan; penurunan drastis dalam likuiditas, produksi
industri, dan perdagangan; serta kegagalan bank dan bisnis yang meluas di
seluruh dunia.
2 Ramrud: pelantak; sebatang kayu atau besi khusus untuk mengisi
peluru dari moncong senjata api seperti senapan lontak atau meriam dengan
"memukul kuat-kuat", "menghentak" atau "melantak"
peluru tersebut supaya "keras atau padat" bersama mesiu dalam laras
senjata.
3 Lagu gang rantai: nyanyian berirama sedih yang dinyanyikan oleh
sekelompok tahanan Afrika Amerika yang dipaksa bekerja ketika terikat pada satu
rantai panjang, sering kali menggambarkan kesulitan, keputusasaan, dan
kenyataan brutal situasi mereka di bawah sistem segregasi rasial yang menindas
di Amerika Selatan.

Comments
Post a Comment