Rongsokan (Salvage ~ Orson Scott Card)
Si mekanik mengerutkan kening padanya saat dia masuk ke dermaga
bongkar-muat. "Kau memaksa koplingnya, Nak?"
Deaver turun dari kabin. "Kopling? Apa itu kopling?"
Mekanik itu tidak tersenyum. "Apa kau tidak mendengar transmisinya
gemeretak?"
"Aku sudah meminta mekanik dari seluruh Nevada untuk memperbaikinya,
tapi aku bilang aku membiarkannya untukmu."
Mekanik itu menatapnya seperti orang gila. "Tidak ada mekanik di
Nevada."
Kalau kau tidak tolol seperti jempolmu, pikir Deaver, kau pasti tahu aku
cuma bercanda. Orang-orang Mormon tua sangat jujur sehingga mereka tidak bisa
diam, beberapa dari mereka. Tapi Deaver tidak mengatakan apa pun. Hanya
tersenyum.
"Truk ini harus tinggal di sini beberapa hari," kata mekanik
itu.
Baiklah, pikir Deaver. Aku punya rencana. "Menurutmu berapa
hari?"
"Sementara ini anggap saja tiga hari, aku akan mencatatnya."
"Namaku Deaver Teague."
"Katakan pada pengawas, dia akan menuliskannya." Mekanik itu
mengangkat kap mesin untuk memulai pemeriksaan rutin sementara para pekerja
dermaga menurunkan mesin cuci dan lemari es tua serta barang-barang lain yang
diambil Deaver sepanjang perjalanannya. Deaver membawa hasil pembacaan jarak
tempuhnya ke jendela dan sang pengawas membayarnya.
Tujuh dolar untuk lima hari mengemudi dan memuat, tidur di dalam kabin
dan makan apa pun yang diberikan oleh para petani. Itu lebih baik daripada yang
dijalani banyak orang, tapi tidak ada masa depan di dalamnya. Usaha barang
bekas tidak akan berlangsung selamanya. Suatu hari nanti dia akan mengambil
mesin pencuci piring rusak terakhir yang tersisa dari masa lalu, kemudian dia
akan kehilangan pekerjaannya.
Yah, Deaver Teague tidak akan menunggu itu. Dia tahu tempat emas itu
berada, dia sudah merencanakan cara mendapatkannya selama berminggu-minggu, dan
kalau Lehi mendapatkan peralatan selam seperti yang dijanjikannya maka besok
pagi mereka akan melakukan sedikit pekerjaan mengambil barang bekas freelance.
Kalau mereka beruntung, mereka akan pulang dalam keadaan kaya.
Kaki Deaver kaku tapi dia mengendurkannya dengan cukup cepat dan berlari
dengan mudah dan kencang di sepanjang koridor Pusat Barang Bekas. Dia menaiki
dua atau tiga anak tangga sekaligus, berlari menuruni lorong, dan ketika dia
mencapai tanda yang bertuliskan KOMPUTER KECIL RONGSOKAN, dia mendorong kusen
pintu dan melompat ke dalam ruangan. "Hai Lehi!" katanya. "Hai,
ini waktunya istirahat!"
Lehi McKay tidak mempedulikannya. Dia duduk di depan layar TV, menggerak-gerakkan
kotak hitam yang dipegangnya di pangkuannya.
"Kalau kau terus melakukan itu, lama-lama kau akan buta," kata
Deaver.
"Diam, kau, tukang ngeluh." Lehi tidak mengalihkan
pandangannya dari layar. Dia menekan tombol pada kotak hitam itu dan memutar
tongkat yang mencuat darinya. Gumpalan berwarna di layar meledak dan terbagi
menjadi empat gumpalan yang lebih kecil.
"Aku dapat libur tiga hari sementara mereka memperbaiki transmisi
truk," kata Deaver. "Jadi besok adalah ekspedisi bait suci."
Lehi menyingkirkan gumpalan terakhir dari layar. Lebih banyak gumpalan
muncul.
"Itu sangat menyenangkan," kata Deaver, "seperti menyapu
jalan kemudian mereka membawa kawanan kuda yang lain."
"Ini Atari. Dari tahun enam puluhan atau tujuh puluhan atau sekitar
itu. Tahun delapan puluhan. Tua. Tidak banyak yang bisa dilakukan dengan ini,
ini cuma gim delapan bit. Bertahun-tahun di loteng seseorang di Logan,
dan benda ini masih menyala."
"Orang tua itu mungkin bahkan tidak tahu mereka memilikinya."
"Mungkin."
Deaver menonton permainan itu. Hal yang sama berulang-ulang. "Berapa
harga benda seperti itu dulu?"
"Mahal. Mungkin lima belas, dua puluh dolar."
"Bikin muntah. Ini dia Lehi McKay, mengaduk-aduk mi seperti orangtua jaman dulu. Lalu yang mereka dapatkan hanyalah mi yang kusut1,
Lehi. Dan sampah di otak."
"Biar saja. Aku lagi konsentrasi."
Permainan itu akhirnya selesai. Lehi menaruh kotak hitam itu di meja
kerja, mematikan mesinnya, dan berdiri.
"Kau sudah menyiapkan segalanya untuk menyelam besok?" tanya
Deaver.
"Itu permainan yang bagus. Bersenang-senang pasti menyita banyak
waktu mereka di masa lalu. Ibu bilang anak-anak dulu bahkan tidak boleh bekerja
sampai mereka berumur enam belas. Itu peraturannya."
"Jangan harap," kata Deaver.
"Itu benar."
"Kau tidak bisa membedakan omonganmu dengan kentut, Lehi. Kau tidak
bisa membedakan hatimu dengan tai."
"Kau mau kita berdua dipecat dari sini, bicara seperti itu?"
"Aku tidak harus mengikuti peraturan sekolah sekarang, aku lulus
kelas enam, aku berumur sembilan belas, aku sudah berdiri sendiri selama lima
tahun." Dia mengeluarkan tujuh dolar dari sakunya, melambaikannya sekali,
memasukkannya kembali dengan asal. "Aku baik-baik saja, dan aku mengatakan
yang aku mau katakan. Apa kau pikir aku takut sama uskup?"
"Uskup tidak bikin aku takut. Aku bahkan pergi ke gereja cuma untuk
membuat Ibu bahagia. Itu semua omong kosong."
Lehi tertawa, tapi Deaver bisa melihat bahwa dia sedikit takut untuk
berbicara seperti itu. Berumur enam belas, pikir Deaver, dia besar dan pintar
tapi dia seperti anak kecil. Dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang laki-laki.
"Hujan akan turun."
"Hujan akan selalu turun. Menurutmu apa yang memenuhi danau?"
Lehi nyengir saat dia mencabut semua kabel di meja kerja.
"Maksudku Lorraine Wilson."
"Aku tahu apa maksudmu. Dia punya perahu?"
"Dan dia punya sepatbor yang bagus." Deaver menangkupkan
tangannya. "Cuma perlu sedikit dipoles."
"Kenapa kau selalu ngomong kotor? Sejak kau bekerja di usaha
rongsokan, Deaver, mulutmu jadi jorok. Lagipula, badannya seperti karung goni."
"Umurnya hampir lima puluh, apa yang kau harapkan?" Deaver
tersadar bahwa Lehi tampaknya mengulur waktu. Yang mungkin berarti dia akan
bikin kacau lagi seperti biasa. "Bisakah kau mengambil peralatan
menyelam?"
"Aku sudah mengambilnya. Kau pikir aku akan bikin kacau." Lehi nyengir
lagi.
"Kau? Bikin kacau? Kau bisa dipercaya untuk melakukan apa
saja." Deaver melangkah ke pintu. Dia bisa mendengar Lehi di belakangnya,
masih mematikan beberapa peralatan. Mereka harus menggunakan banyak listrik di
sini. Tentu saja mereka harus melakukannya, karena mereka membutuhkan komputer
sepanjang waktu, dan barang bekas adalah satu-satunya cara untuk
mendapatkannya. Tapi ketika Deaver melihat semua listrik itu digunakan
sekaligus, baginya itu tampak seperti masa depannya sendiri. Semua mesin yang
dia inginkan, yang baru, dan semua daya yang mereka butuhkan. Pakaian yang
tidak pernah dipakai orang lain, kuda dan keretanya sendiri atau bahkan mobil.
Mungkin dialah orang yang mulai membuat mobil lagi. Dia tidak butuh permainan
menghancurkan gumpalan yang bodoh dari masa lalu. "Sudah mati semua itu, dower,
sudah mati semua."
"Apa kau bilang?" tanya Lehi.
"Sudah mati semua. Komputer dan barang-barangmu yang lain."
Itu cukup untuk membuat Lehi marah, seperti biasanya. Deaver nyengir dan
merasa jahat dan kuat saat Lehi ngomel-ngomel di belakangnya. Tentang
bagaimana kita seharusnya menggunakan komputer lebih dari yang pernah mereka
lakukan di masa lalu, komputer membuat semuanya terus berjalan, terus dan
terus, itu lucu, Deaver menyukainya, anak laki-laki itu sangat bersemangat. Seolah-olah
semuanya adalah akhir dunia. Deaver lebih tahu. Dunia sudah mati, sudah
berakhir, jadi tidak ada yang penting, kau bisa menenggelamkan semua barang itu
di danau.
Mereka keluar dari Center dan berjalan di sepanjang dinding
penahan. Jauh di bawah mereka ada pelabuhan, lingkaran kecil air di dasar
mangkuk, dengan Kota Bingham bertengger di tepinya. Mereka dulu punya tambang
tembaga terbuka di sini, tapi ketika air naik, mereka memotong saluran ke sana
dan sekarang mereka punya pelabuhan yang bagus di Pulau Oquirrh di tengah Laut
Mormon, tempat pabrik-pabrik bisa menyebarkan bau di seluruh langit dan tidak
ada tetangga yang pernah mengeluh tentang hal itu.
***
Banyak orang bergabung dengan mereka di jalan curam yang mengarah ke
pelabuhan. Tidak ada yang benar-benar tinggal di Kota Bingham, karena itu hanya
tempat kerja, siang dan malam. Datang dan pergi. Lehi adalah bocah pekerja sif,
tinggal bersama keluarganya di seberang Selat Jordan di Point-of-the-Mountain,
yang merupakan tempat tinggal terburuk yang pernah ada, naik feri setiap hari
pukul lima pagi dan naik feri kembali setiap sore pukul empat. Dia seharusnya
pergi ke sekolah setelah itu selama beberapa jam tapi Deaver menganggap itu
bodoh, dia sudah mengatakan kepada Lehi soal itu berkali-kali, dan mengatakannya
lagi sekarang. Sekolah terlalu banyak menghabiskan waktu dan terlalu sedikit
untuk mendapatkan apapun, buang-buang waktu.
"Aku harus sekolah," kata Lehi.
"Beri tahu aku dua tambah dua, kau belum bisa dua tambah dua?"
"Kau sudah selesai, kan?"
"Tidak ada yang butuh sekolah setelah kelas empat." Dia
mendorong Lehi sedikit. Biasanya Lehi membalas, tapi kali ini tidak.
"Coba saja cari pekerjaan betulan tanpa ijazah kelas enam, oke? Dan
aku sudah hampir mendapatkannya sekarang." Mereka sudah di kapal feri.
Lehi mengeluarkan kartu pasnya.
"Besok kau ikut atau tidak?"
Lehi mengernyit. "Entahlah, Deaver. Kau bisa ditangkap karena
berkeliaran di sana. Itu hal yang bodoh. Mereka bilang ada hal-hal aneh di
gedung pencakar langit tua itu."
"Kita tidak akan masuk ke gedung pencakar langit."
"Lebih buruk lagi di sana, Deaver. Aku tidak mau masuk ke
sana."
"Ya, Malaikat Moroni2 mungkin menunggu untuk melompat keluar dan berkata booga-booga-booga."
"Jangan bilang begitu, Deaver." Deaver menggelitiknya; Lehi
tertawa dan mencoba menghindar. "Hentikan, otak tengu. Ayolah. Lagipula,
patung Moroni dipindahkan ke Monumen Salt Lake di atas gunung. Dan ada penjaga
di sana sepanjang waktu."
"Patung itu cuma berlapis emas. Aku kasih tahu ya, orang-orang
Mormon tua itu menyembunyikan banyak barang di Bait Suci, cuma menunggu
seseorang yang tidak takut pada hantu Bigamy Young3 untuk--"
"Diam, sedotan ingus, oke? Orang-orang bisa mendengar! Lihat
sekelilingmu, kita tidak sendirian!"
Itu pasti, tentu saja. Beberapa orang melotot ke arah mereka. Tapi,
Deaver kemudian menyadari bahwa orang-orang tua suka melotot ke arah yang lebih
muda. Itu membuat orang-orang tua itu merasa lebih baik. Itu seperti seolah-olah
mereka berkata, oke, aku sudah hampir mati, tapi setidaknya kau bodoh. Jadi
Deaver menatap tepat ke arah seorang perempuan yang sedang menatapnya dan
bergumam, "Baiklah, aku memang bodoh, tapi setidaknya aku belum mau
mati."
"Deaver, apakah kau harus selalu mengatakan hal itu di tempat yang
bisa mereka dengar?"
"Tentu saja."
"Pertama-tama, Deaver, mereka belum akan mati. Dan kedua, kau
benar-benar bodoh. Dan ketiga, ferinya sudah datang." Lehi meninju perut
Deaver dengan ringan.
Deaver membungkuk pura-pura kesakitan. "Wah, bocah tidak tahu terima
kasih. Aku memberinya roti terakhirku dan ini adalah ucapan terima kasih yang
kudapat."
"Tidak ada yang punya aksen seperti itu, Deaver!" teriak Lehi. Kapal
itu mulai menjauh.
"Besok jam lima lewat tiga puluh!" teriak Deaver.
"Kau tidak pernah bangun jam empat lewat tiga puluh, jangan jam
segitu, kau tidak akan bangun..." Tapi, feri dan kebisingan pabrik, mesin,
dan truk menelan semua ejekan itu. Deaver tahu semuanya. Lehi mungkin baru berumur
enam belas, tapi dia baik-baik saja. Suatu hari nanti Deaver akan menikah, tapi
istrinya juga akan menyukai Lehi. Dan Lehi juga akan menikah, dan istrinya akan
menyukai Deaver. Sebaiknya istri-istri mereka begitu, atau mereka harus pulang berenang.
Dia membawa troli pulang ke Fort Douglas dan berjalan ke bangunan barak
kuno tempat Rain mengizinkannya tinggal. Itu seharusnya gudang, tapi perempuan
itu menyimpan pel dan perlengkapan sabun di tempatnya sehingga ada ruang untuk
dipan. Tidak banyak, tapi itulah kamar di Pulau Oquirrh yang tidak harus merasakan
bau, asap, dan kebisingan. Dia bisa tidur dan itu sudah cukup, karena sebagian
besar waktunya dihabiskan di truk.
Sebenarnya, kamarnya bukanlah rumahnya. Rumah itu lebih seperti rumah
Rain, sebuah ruangan berangin di ujung barak dengan seorang perempuan gemuk dan
lusuh yang menyajikan makanan enak dan berlimpah. Ke sanalah dia pergi
sekarang, masuk dan mengejutkan perempuan itu di dapur. Perempuan itu berteriak
padanya karena sudah mengejutkannya, berteriak padanya karena kumal dan mengotori
lantai, dan membiarkannya mengambil sepotong apel sebelum perempuan itu
berteriak padanya karena ngemil sebelum makan malam.
Dia berkeliling dan mengganti bohlam lampu di lima kamar sebelum makan
malam. Keluarga-keluarga di sana semuanya berdesakan masing-masing dalam dua
kamar, dan kebanyakan dari mereka harus berbagi dapur dan makan secara bergantian.
Beberapa kamar adalah tempat yang buruk, perang keluarga hanya berlangsung
selama dia mengganti lampu, dan terkadang gencatan senjata tidak dipatuhi. Yang
lain baik-baik saja, tempatnya kecil tapi mereka saling menyukai. Deaver cukup
yakin keluarganya pasti salah satu yang baik, karena kalau ada yang berteriak,
dia pasti ingat.
Rain dan Deaver makan lalu mematikan semua lampu sementara Rain memainkan
piringan hitam lama yang direbut Deaver dari Lehi. Mereka sebenarnya tidak
seharusnya memilikinya, tapi mereka pikir selama mereka tidak menyalakan lampu,
itu tidak akan boros listrik, dan mereka akan menyalakan lampu segera setelah
ada yang memintanya.
Sementara itu, Rain memiliki beberapa piringan hitam lama dari masa
kecilnya. Lagu-lagunya berirama kuat, dan malam ini, seperti yang kadang-kadang
dilakukannya, Rain bangkit dan bergerak mengikuti alunan musik, tarian kecil
aneh yang tidak dipahami Deaver kecuali kalau dia membayangkannya sebagai
seorang gadis muda, membayangkan tubuhnya seperti apa adanya saat itu. Tidak
sulit untuk membayangkannya, itu ada di matanya dan senyumnya sepanjang waktu,
dan gerakan-gerakannya mengungkap rahasia yang ditutupi oleh bertahun-tahun
makan makanan bertepung dan kurang olahraga.
Kemudian, seperti biasa, pikirannya beralih ke beberapa gadis yang
dilihatnya dari jendela truknya, mengemudi melewati ladang-ladang tempat mereka
membungkuk, bekerja keras, sampai mereka mendengar suara truk kemudian mereka
berdiri dan melambaikan tangan. Semua orang melambaikan tangan ke truk barang
bekas itu, terkadang truk itu adalah satu-satunya benda bermesin yang pernah
lewat, satu-satunya kontak mereka dengan mesin-mesin tua. Semua traktor, semua
listrik disediakan untuk New Soil Lands; tempat-tempat lama sedang sekarat. Dan
mereka berbalik dan melambaikan tangan pada kenangan terakhir. Itu membuat Deaver
sedih dan dia benci bersedih, semua orang itu berpegang teguh pada masa lalu
yang tidak pernah ada.
"Itu tidak pernah ada," katanya keras.
"Ya, itu ada," bisik Rain. "Gadis-gadis cuma ingin
bersenang-senang," gumamnya mengikuti rekaman itu. "Aku benci lagu
ini saat aku masih kecil. Atau mungkin ibuku yang membencinya."
"Kau tinggal di sini waktu itu?"
"Indiana," katanya. "Salah satu negara bagian, jauh di
timur."
"Kau juga pengungsi?"
"Tidak. Kami pindah ke sini saat aku berumur enam belas, tujuh
belas, lupa. Setiap kali keadaan menjadi menakutkan di dunia, banyak orang
Mormon pindah rumah. Ini selalu menjadi rumah, apa pun yang terjadi."
Rekaman itu berakhir. Perempuan itu mematikannya, menyalakan lampu.
"Sudah mengisi penuh bensin perahunya?" tanya Deaver.
"Kau tidak ingin pergi ke sana," katanya.
"Kalau ada emas di sana, aku menginginkannya."
"Kalau ada emas di sana, Deaver, mereka pasti sudah mengambilnya
sebelum air menutupinya. Lagipula, tidak ada yang mendapat peringatan, kau tahu.
Laut Mormon bukanlah banjir bandang."
"Kalau tidak ada di sana, apa yang dirahasiakan? Kenapa Patroli
Danau melarang orang pergi ke sana?"
"Entahlah, Deaver. Mungkin karena banyak orang merasa tempat itu
suci."
Deaver sudah terbiasa dengan ini. Rain tidak pernah pergi ke gereja, tapi
dia masih berbicara seperti orang Mormon. Tapi, kebanyakan orang melakukannya,
kalau kau menggaruknya di tempat yang salah. Deaver tidak suka kalau mereka
menjadi religius. "Malaikat butuh perlindungan polisi ya?"
"Dulu itu sangat penting bagi orang Mormon, Deaver." Dia duduk
di lantai, bersandar di dinding di bawah jendela.
"Yah, sekarang tidak ada apa-apa. Mereka punya kuil lain, bukan? Dan
mereka sedang membangun kuil baru di Zarahemla, kan?"
"Aku tidak tahu, Deaver. Yang di sini, selalu yang asli. Di Center."
Dia membungkuk ke samping, bersandar pada tangannya, menatap lantai. "Akan
selalu begitu."
Deaver melihat dia menjadi sangat muram sekarang, sangat sedih. Itu
terjadi pada banyak orang yang mengingat masa lalu. Seperti penyakit yang tidak
pernah sembuh. Tapi Deaver tahu obatnya. Setidaknya untuk Rain. "Benarkah
mereka dulu membunuh orang di sana?"
Berhasil. Perempuan itu melotot padanya dan kelesuan meninggalkan
tubuhnya. "Itukah yang kalian para sopir truk bicarakan sepanjang
hari?"
Deaver menyeringai. "Ada cerita. Membunuh orang kalau mereka memberi
tahu tempat emas itu disembunyikan."
"Kau tahu Mormon ada di mana-mana, sekarang, Deaver, apakah kau
benar-benar berpikir kami akan membunuh orang karena membocorkan rahasia?"
"Aku tidak tahu. Tergantung pada rahasianya, bukan?" Dia duduk
dengan kedua tangannya, sedikit bergoyang di sofa.
Dia bisa melihat bahwa perempuan itu benar-benar marah, tapi tidak ingin
marah. Jadi perempuan itu berpura-pura marah untuk bercanda. Perempuan itu
duduk, meraih bantal untuk dilemparkan kepadanya.
"Tidak! Tidak!" teriaknya. "Jangan bunuh aku! Jangan lemparkan
aku pada ikan!"
Bantal itu mengenainya dan dia berpura-pura mati.
"Jangan bercanda tentang hal-hal seperti itu," katanya.
"Hal-hal seperti apa? Kau tidak percaya pada hal-hal lama lagi.
Tidak ada yang percaya."
"Mungkin tidak."
"Yesus seharusnya datang lagi, kan? Ada bom atom yang dijatuhkan di
sana-sini, dan dia seharusnya datang."
"Sang Nabi berkata kita terlalu jahat. Dia tidak akan datang karena
kita terlalu mencintai hal-hal duniawi."
"Ayolah, kalau dia memang mau datang, dia pasti sudah datang,
kan?"
"Mungkin saja," katanya.
"Tidak ada yang percaya itu," kata Deaver. "Orang Mormon cuma
pemerintah, itu saja. Uskup dipilih menjadi hakim di setiap kota, kan? Kepala
penatua selalu menjadi walikota, itu cuma pemerintah, cuma politik, tidak ada
yang percaya sekarang. Zarahemla adalah ibu kota, bukan kota suci."
Dia tidak bisa melihat perempuan itu karena dia berbaring telentang di
sofa. Ketika perempuan itu tidak menjawab, dia bangkit dan mencarinya. Perempuan
itu berada di dekat wastafel, bersandar di meja. Dia menyelinap di belakangnya
untuk menggelitiknya, tapi sesuatu dalam posturnya mengubah pikirannya. Ketika
dia mendekat, dia melihat air mata di pipinya. Gila. Semua orang dari masa lalu
sering menjadi gila.
"Aku cuma bercanda," katanya.
Perempuan itu mengangguk.
"Itu cuma bagian dari masa lalu. Kau tahu bagaimana aku soal itu.
Mungkin kalau aku mengingatnya, itu akan berbeda. Terkadang aku berharap aku
mengingatnya." Tapi itu bohong. Dia tidak pernah berharap dia
mengingatnya. Dia tidak suka mengingat. Sebagian besar hal tidak bisa dia ingat
bahkan kalau dia menginginkannya. Hal pertama yang bisa dia ingat adalah
menunggang kuda, di belakang seorang laki-laki yang bercucuran keringat, hanya
menunggang dan menunggang dan menunggang kuda. Kemudian semua hal-hal baru,
pergi ke sekolah, berkeliling di rumah orang, akhirnya menjadi sibuk selama
satu tahun dan menyelesaikan sekolah dan mendapatkan pekerjaan. Dia tidak
berkaca-kaca memikirkan semua itu, semua tempat itu. Hanya lewat, itu saja yang
pernah dia lakukan, tidak pernah merasa cocok di mana pun sampai mungkin
sekarang. Dia merasa cocok di sini. "Maaf," katanya.
"Tidak apa-apa," kata perempuan itu.
"Kau masih akan membawaku ke sana?"
"Aku bilang akan melakukannya, bukan?"
Perempuan itu terdengar cukup kesal hingga dia tahu sudah tidak apa-apa
untuk menggodanya lagi. "Kau tidak berpikir mereka akan mengalami
Kedatangan Kristus yang Kedua4 saat kita di sana, kan? Kalau kau
berpikir begitu, aku akan memakai dasiku."
Dia tersenyum, lalu berbalik menghadap Deaver dan mendorongnya menjauh.
"Deaver, tidurlah."
"Aku akan bangun jam empat tiga puluh, Rain, dan setelah itu
kau akan menjadi gadis yang akan bersenang-senang."
"Kurasa lagu itu bukan tentang perjalanan kapal pagi-pagi
sekali."
Perempuan itu mencuci piring ketika Deaver pergi ke kamarnya yang kecil.
***
Lehi menunggu pada pukul lima tiga puluh, tepat waktu. "Aku tidak
percaya," katanya. "Kupikir kau akan terlambat."
"Untung kau datang tepat waktu," kata Deaver, "karena
kalau kau tidak ikut dengan kami, kau tidak akan dapat bagian."
"Kita tidak akan menemukan emas, Deaver Teague."
"Lalu kenapa kau ikut denganku? Jangan bicara seperti itu padaku,
Lehi, kau tahu masa depan ada di tangan Deaver Teague, dan kau tidak ingin ketinggalan.
Di mana peralatan menyelamnya?"
"Aku tidak membawanya pulang, Deaver. Kau tidak berpikir ibuku akan
bertanya?"
"Dia selalu bertanya," kata Deaver.
"Itu tugasnya," kata Rain.
"Aku tidak mau ada yang bertanya tentang semua yang kulakukan,"
kata Deaver.
"Tidak seorang pun harus bertanya," kata Rain. "Kau selalu
memberi tahu kami tidak peduli kami mau mendengar atau tidak."
"Kalau kau tidak mau dengar, kau tidak perlu melakukannya,"
kata Deaver.
"Jangan tersinggung," kata Rain.
"Kalian berdua tiba-tiba mabuk kepayang kepadaku. Apakah kuil itu membuat
kalian gila, begitukah cara kerjanya?"
"Aku tidak keberatan ibuku bertanya banyak hal. Tidak apa-apa."
Kapal feri itu berlayar dari Point ke Bingham siang dan malam, jadi
mereka harus pergi ke utara sebelum berbelok ke barat menuju Pulau Oquirrh.
Pabrik peleburan dan pengecoran logam mengeluarkan asap berwarna jingga ke
langit malam, dan tongkang-tongkang batu bara dibongkar seperti di siang hari.
Awan debu batu bara yang sangat kotor dan hitam di siang hari tampak seperti
kabut putih di bawah lampu sorot.
"Ayahku meninggal di sana, di jam-jam seperti ini," kata Lehi.
"Dia sedang memuat batu bara?"
"Ya. Dia dulunya seorang penjual mobil. Pekerjaannya tiba-tiba lenyap
begitu saja."
"Kau tidak ada di sana, kan?"
"Aku mendengar suara tabrakan. Aku sedang tidur, tapi itu
membangunkanku. Lalu, banyak teriakan dan orang-orang berlarian. Kami tinggal
di pulau itu saat itu, selalu mendengar suara dari pelabuhan. Dia terkubur di
bawah satu ton batu bara yang jatuh dari ketinggian lima puluh kaki."
Deaver tidak tahu harus berkata apa tentang itu.
"Kau tidak pernah bicara tentang keluargamu," kata Lehi.
"Aku selalu mengingat ayahku, tapi kau tidak pernah bicara tentang
keluargamu."
Deaver mengangkat bahu.
"Dia tidak mengingat mereka," kata Rain pelan. "Mereka
menemukannya di dataran di suatu tempat. Para perusuh menangkap keluarganya,
berapa pun jumlahnya, ayahnya pasti bersembunyi atau semacamnya, cuma itu yang
bisa mereka pikirkan."
"Nah, apa begitu?" tanya Lehi. "Apa kau bersembunyi?"
Deaver tidak merasa nyaman membicarakannya, karena dia tidak ingat apa
pun kecuali apa yang diceritakan orang kepadanya. Dia tahu bahwa orang lain
mengingat masa kecil mereka, dan dia tidak suka bagaimana mereka selalu
bersikap begitu terkejut ketika dia tidak mengingatnya. Tapi Lehi bertanya, dan
Deaver tahu bahwa kau tidak menyembunyikan sesuatu dari teman. "Kurasa
begitu. Atau mungkin aku terlihat terlalu bodoh untuk dibunuh atau
semacamnya." Dia tertawa. "Aku pasti anak kecil yang sangat bodoh,
aku bahkan tidak ingat namaku sendiri. Mereka mengira aku berumur lima atau
enam tahun, kebanyakan anak tahu nama mereka, tapi aku tidak. Jadi dua orang
yang menemukanku, nama mereka adalah Teague dan Deaver."
"Kau pasti ingat sesuatu."
"Lehi, aku bahkan tidak tahu cara berjalan. Mereka bilang aku bahkan
tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai aku berumur sembilan tahun. Kita ngomongin
soal anak yang lambat di sini."
"Wow." Lehi terdiam beberapa saat. "Kenapa kau tidak
mengatakan apa pun?"
"Tidak masalah," kata Rain. "Dia menebusnya sekarang,
Deaver si tukang ngomong. Juara ngomong."
Mereka menyusuri pulau itu hingga melewati Magna. Lehi menuntun mereka ke
gudang yang didirikan Rongsokan Bawah Air di ujung utara Pulau Oquirrh. Gudang
itu tidak terkunci dan penuh dengan peralatan selam. Teman-teman Lehi sudah
mengisi beberapa tangki dengan udara. Mereka mendapat dua pakaian selam dan
senter bawah air. Rain tidak masuk ke dalam air, jadi dia tidak membutuhkan apa
pun.
Mereka menjauh dari pulau itu, keluar ke jalur pelayaran biasa dari
Wendover. Di arah itu, setidaknya, orang-orang cukup waras untuk tidak
bepergian di malam hari, jadi tidak banyak kendaraan. Setelah beberapa saat
mereka keluar ke perairan terbuka. Saat itulah Rain menghentikan mesin tempel
kecil yang sudah dicuri Deaver untuknya dan sudah diperbaiki Lehi.
"Saatnya berkeringat dan bekerja keras," kata Rain.
Deaver duduk di bangku tengah, memasang dayung ke kunci, dan mulai
mendayung.
"Jangan terlalu cepat," kata Rain. "Tanganmu akan
melepuh."
Sebuah perahu yang mungkin adalah Patroli Danau lewat satu kali, tapi
selain itu tidak ada yang mendekati mereka saat mereka menyeberangi hamparan
terbuka itu. Kemudian gedung-gedung pencakar langit berdiri dan menghalangi
sebagian besar malam berbintang.
"Mereka bilang ada orang-orang yang tidak pernah diselamatkan yang
masih tinggal di sana," bisik Lehi.
Rain bersikap mengejek. "Menurutmu masih ada sesuatu yang tersisa di
sana untuk membuat seseorang tetap hidup? Dan airnya terlalu asin untuk diminum
untuk waktu yang lama."
"Siapa yang bilang mereka masih hidup?" bisik Deaver dengan
suaranya yang paling misterius. Beberapa tahun yang lalu, dia bisa saja
menakuti Lehi dan membuat matanya terbelalak. Sekarang Lehi hanya tampak jijik.
"Ayolah Deaver, aku bukan anak kecil."
Deaver sendirilah yang sedikit ketakutan. Lubang-lubang besar tempat
pecahan kaca dan plastik jatuh tampak seperti mulut, menunggu untuk
menghisapnya dan membawanya ke bawah air, ke kota orang-orang tenggelam. Dia
terkadang bermimpi tentang ribuan orang yang hidup di bawah air. Masih
mengendarai mobil mereka, melakukan kegiatan mereka, berbelanja di toko, pergi
ke bioskop. Dalam mimpinya mereka tidak pernah melakukan hal buruk, hanya
melakukan kegiatan harian mereka. Tapi dia selalu terbangun bersimbah keringat
dan ketakutan. Tidak ada alasan. Itu hanya membuatnya takut. "Menurutku
mereka harus meledakkan benda-benda ini sebelum runtuh dan melukai
seseorang," kata Deaver.
"Mungkin lebih baik membiarkannya tetap berdiri," kata Rain.
"Mungkin banyak orang yang ingin mengingat betapa tingginya kita dulu
berdiri."
"Apa yang perlu diingat? Mereka membangun gedung-gedung tinggi lalu
membiarkannya tenggelam, apa yang perlu dibanggakan?"
Deaver berusaha membuatnya tidak membicarakan masa lalu, tapi Lehi
tampaknya suka berkubang di dalamnya.
Rain mengangguk. "Melihat parade berjalan di sepanjang jalan ini.
Aku tidak ingat apakah itu Third South atau Fourth South. Third,
kurasa. Aku melihat dua puluh lima penunggan kuda bersama-sama. Aku ingat bahwa
aku pikir itu benar-benar wah. Kau tidak melihat banyak kuda pada masa
itu."
"Aku sendiri melihat terlalu banyak," kata Lehi.
"Yang tidak aku lihat itulah yang aku benci," kata Deaver.
"Mereka seharusnya memaksa mereka memakai popok."
Mereka mengitari sebuah gedung dan melihat ke atas lorong utara-selatan
di antara menara-menara. Rain duduk di buritan dan melihatnya lebih dulu.
"Itu dia. Kau bisa melihatnya. Sekarang cuma tinggal menara-menara
tingginya saja."
Deaver mendayung menyusuri lorong. Ada enam menara yang mencuat dari air,
tapi empat menara yang pendek berada sangat dalam sehingga hanya atap
runcingnya yang kering. Dua menara yang tinggi memiliki jendela di dalamnya,
sama sekali tidak tertutup. Deaver kecewa. Terbuka lebar seperti itu berarti
siapa pun mungkin pernah datang ke sana. Semuanya jauh lebih aman daripada yang
dia duga. Mungkin Rain benar, tidak ada apa pun di sana.
Mereka mengikat perahu di sisi utara dan menunggu siang datang.
"Kalau aku tahu akan semudah ini," kata Deaver, "aku bisa tidur
satu jam lagi."
"Tidurlah sekarang," kata Rain.
"Mungkin aku akan melakukannya," kata Deaver.
Dia merosot dari bangkunya dan berbaring di dasar perahu.
Tapi, dia tidak tidur. Jendela menara yang terbuka hanya beberapa meter
jauhnya, hitam pekat dikelilingi oleh abu-abu granit kuil yang bertabur
bintang. Jendela itu ada di bawah sana, menunggunya; masa depan, kesempatan
untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan kedua temannya.
Mungkin sebidang tanah di selatan yang lebih hangat dan salju tidak menumpuk
setinggi lima kaki setiap musim dingin, tempat tidak ada hujan di langit dan
danau ke mana pun kau melihat. Tempat dia bisa hidup untuk waktu yang sangat
lama dan melihat ke belakang serta mengingat masa-masa indah bersama
teman-temannya, yang semuanya menunggu di bawah air.
Tentu saja mereka tidak memberitahunya tentang emas itu. Itu ada di
jalan, sebuah tempat kecil di Parowan tempat para pengemudi truk tahu mereka
bisa berhenti karena tambang besi memiliki jadwal kerja yang sangat padat
sehingga restoran tidak pernah tutup. Mereka bahkan minum kopi di sana, panas
dan pahit, karena tidak banyak orang Mormon di sana dan para penambang tidak
membiarkan uskup mempermainkan mereka. Bahkan mereka memanggilnya Hakim di
sana, bukan Uskup. Pengemudi lain tentu saja tidak berbicara dengan Deaver,
mereka sedang berbicara satu sama lain ketika salah satu dari mereka bercerita
tentang bagaimana orang-orang Mormon pada masa demam emas menimbun semua emas
yang bisa mereka dapatkan dan menyembunyikannya di ruang atas kuil tempat tidak
seorang pun kecuali nabi dan kedua belas rasul bisa masuk. Awalnya Deaver tidak
percaya padanya, kecuali ketika Bill Horne mengangguk seolah dia tahu itu
benar, dan Cal Silber berkata --kau tidak akan pernah memergokinya bermain-main
dengan Kuil Mormon--, itu adalah cara yang bagus untuk mati. Cara mereka
bicara, takut-takut dan berbisik-bisik, memberi tahu Deaver bahwa mereka
mempercayainya, bahwa itu benar, dan dia juga tahu hal lain: kalau ada yang
akan mendapatkan emas, itu adalah dia.
Bahkan kalau mudah untuk sampai ke sana, itu tidak berarti apa-apa. Dia
tahu bagaimana orang-orang Mormon dengan kuil mereka. Dia bertanya-tanya
sedikit, tapi tidak ada yang membicarakannya. Dan tidak seorang pun pernah
pergi ke sana, dia bertanya kepada banyak orang apakah mereka pernah berlayar
dan memeriksanya, dan mereka semua terdiam dan menggelengkan kepala atau
mengalihkan pembicaraan. Lalu, kenapa Patroli Danau harus menjaganya, kalau
semua orang terlalu takut untuk pergi? Semua orang kecuali Deaver Teague dan
kedua temannya.
"Indah sekali," kata Rain.
Deaver terbangun. Matahari baru saja muncul di puncak gunung; pasti sudah
terang untuk beberapa lama. Dia melihat ke arah Rain memandang. Itu adalah
menara Moroni di puncak gunung di atas gedung pemerintahan lama, tempat mereka
meletakkan patung kuil beberapa tahun yang lalu. Patung itu cerah dan berkilau,
laki-laki tua dan terompetnya. Tapi ketika orang Mormon ingin terompet itu
dibunyikan, terompet itu hanya diam dan iman mereka tenggelam. Sekarang Deaver
tahu mereka hanya berpegang teguh pada patung itu demi masa lalu. Nah, Deaver
hidup untuk masa depan.
Lehi menunjukkan kepadanya cara menggunakan peralatan menyelam, dan
mereka berlatih melompat ke dalam air beberapa kali, sekali tanpa sabuk
pemberat dan sekali dengan sabuk pemberat. Tentu saja, Deaver dan Lehi berenang
seperti ikan --berenang adalah rekreasi utama yang bisa dilakukan semua orang
secara gratis. Tapi, berbeda dengan masker dan selang udara.
"Selang ini terasa seperti kaki kuda," kata Deaver di sela-sela
menyelam.
Lehi memastikan sabuk pemberat Deaver terpasang kencang. "Kau
satu-satunya orang di Pulau Oquirrh yang tahu." Kemudian dia jatuh
terguling ke depan dari perahu. Deaver jatuh terlalu lurus dan tabung udara
sedikit membentur bagian belakang kepalanya, tapi tidak terlalu sakit dan dia
juga tidak menjatuhkan senternya.
Dia berenang di sepanjang bagian luar kuil, menyinari batu-batu dengan
senternya. Banyak tanaman bawah air tumbuh di sisi kuil, tapi belum terlalu
tertutup. Ada plakat logam besar tepat di depan bangunan, sekitar sepertiga
dari kedalaman. Tulisannya RUMAH TUHAN. Deaver menunjukkannya kepada Lehi.
Ketika mereka kembali ke perahu, Deaver bertanya tentang plakat itu.
"Kelihatannya agak keemasan," katanya.
"Dulu ada tanda lain di sana," kata Rain. "Agak berbeda.
Yang itu mungkin emas. Yang ini plastik. Mereka membuatnya agar kuil masih punya
tanda, kurasa."
"Kau yakin tentang itu?"
"Aku ingat saat mereka melakukannya."
Akhirnya Deaver merasa cukup percaya diri untuk masuk ke kuil. Mereka
harus melepas sepatu katak mereka untuk memanjat jendela menara; Rain
melemparkan sepatu mereka ke atas setelahnya. Di bawah sinar matahari, tidak
ada yang menakutkan di jendela itu. Mereka duduk di ambang jendela, air
membasahi kaki mereka, dan mengenakan sepatu katak dan tangki udara mereka.
Saat berpakaian kembali, Lehi berhenti. Hanya duduk di sana.
"Aku tidak bisa melakukannya," katanya.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan," kata Deaver. "Ayolah,
tidak ada hantu atau apa pun di sana."
"Aku tidak bisa," kata Lehi.
"Bagus untukmu," seru Rain dari perahu.
Deaver menoleh untuk melihat perempuan itu. "Apa yang kau
bicarakan!"
"Kurasa kau tidak perlu melakukannya."
"Lalu kenapa kau membawaku ke sini?"
"Karena kau ingin melakukannya."
Tidak masuk akal.
"Ini tanah suci, Deaver," kata Rain. "Lehi juga
merasakannya. Itu sebabnya dia tidak mau turun."
Deaver menatap Lehi.
"Rasanya tidak enak," kata Lehi.
"Itu cuma batu," kata Deaver.
Lehi tidak berkata apa-apa. Deaver mengenakan kacamatanya, mengambil senter,
memasukkan alat bantu napas ke dalam mulutnya, dan melompat.
Ternyata lantainya hanya sedalam satu setengah kaki. Dia benar-benar
terkejut, jadi dia jatuh dan duduk di air sedalam delapan belas inci. Lehi sama
terkejutnya dengan Rain, tapi kemudian dia mulai tertawa, dan Deaver juga
tertawa. Deaver berdiri dan mulai mengepakkan tangannya, mencari tangga. Dia
hampir tidak bisa melangkah, sepatunya sangat memperlambatnya.
"Berjalan mundur," kata Lehi.
"Lalu bagaimana aku bisa melihat ke mana aku pergi?"
"Masukkan wajahmu ke dalam air dan lihat, otak tengu."
Deaver menenggelamkan wajahnya ke dalam air. Tanpa pantulan cahaya
matahari di permukaan, dia bisa melihat dengan jelas. Di sana ada tangga.
Dia bangkit, menatap Lehi. Lehi menggelengkan kepalanya. Dia tetap tidak
mau pergi.
"Terserah kau saja," kata Deaver. Dia mundur melewati air
menuju anak tangga teratas. Kemudian dia memasang selang pernapasan dan turun.
Tidak mudah untuk menuruni tangga. Tangga itu baik-baik saja saat kau
tidak mengapung, pikir Deaver, tapi akan merepotkan kalau tangkimu terus
menggesek langit-langit. Akhirnya dia menyadari bahwa dia bisa meraih pegangan
tangga dan menarik dirinya turun. Tangga itu berputar-putar. Saat tangga itu
berakhir, setumpuk sampah sudah memenuhi dasar tangga, sebagian menghalangi
pintu masuk. Dia berenang di atas tumpukan sampah, yang sepertinya besi tua dan
serpihan kayu, dan keluar ke sebuah ruangan besar.
Cahayanya tidak bersinar terlalu jauh melalui air yang keruh, jadi dia
berenang di dinding, berputar-putar, naik dan turun. Di bawah airnya dingin,
dan dia berenang lebih cepat agar tetap hangat. Ada deretan jendela melengkung
di kedua sisi, dengan deretan jendela melingkar di atasnya, tapi
jendela-jendela itu sudah ditutupi kayu di bagian luar; satu-satunya cahaya
berasal dari senter Deaver. Tapi, akhirnya, setelah beberapa kali mengitari
ruangan dan melintasi langit-langit, dia menyadari bahwa itu hanyalah satu
ruangan besar. Dan kecuali sampah di seluruh lantai, ruangan itu kosong.
Dia sudah merasakan sakit yang mendalam karena kekecewaan. Dia memaksakan
diri untuk mengabaikannya. Bagaimanapun, benda itu tidak akan berada di luar
sini, di ruangan besar seperti ini, bukan? Pasti ada tempat penyimpanan
rahasia.
Ada beberapa pintu. Yang kecil di tengah dinding di salah satu ujungnya
terbuka lebar. Dulu pasti ada tangga menuju ke sana. Deaver berenang ke sana
dan menyorotkan senternya ke dalam. Hanya ruangan lain, kali ini lebih kecil. Dia
menemukan beberapa ruangan lagi, tapi semuanya sudah dilucuti, sampai ke
batunya. Tidak ada apa-apa.
Dia mencoba memeriksa beberapa batu untuk mencari pintu rahasia, tapi dia
langsung menyerah --dia tidak bisa melihat dengan cukup jelas dari senter untuk
menemukan celah tipis meskipun itu ada. Sekarang kekecewaan itu nyata. Saat dia
berenang, dia mulai bertanya-tanya apakah mungkin para pengemudi truk tidak
tahu bahwa dia mendengarkan. Mungkin mereka mengarang semuanya hanya agar suatu
hari dia melakukan ini. Lelucon, yang mereka bahkan tidak melihatnya
mempermalukan dirinya sendiri.
Tapi tidak, tidak, itu tidak mungkin. Mereka mempercayainya, benar. Tapi
sekarang dia tahu apa yang tidak mereka ketahui. Apa pun yang dilakukan orang
Mormon di sini di masa lalu, tidak ada emas di ruang atas sekarang. Terlalu
banyak untuk masa depan. Tapi apa peduliku, katanya pada dirinya sendiri, aku
sudah sampai di sini, aku melihatnya, dan aku akan menemukan sesuatu yang lain.
Tidak ada alasan untuk tidak bergembira karenanya.
Dia tidak mau menipu dirinya sendiri, dan tidak ada orang lain di sini
yang bisa ditipu. Itu pahit. Dia sudah menghabiskan banyak waktu memikirkan
emas batangan atau kantong-kantong emas. Dia selalu membayangkannya tersembunyi
di balik tirai. Dia akan menarik tirai itu dan emas itu akan tersebar di air,
dan di sana akan ada kantong-kantong emas, dan dia akan mengeluarkannya dan
selesai. Tapi tidak ada tirai, tidak ada tempat persembunyian, tidak ada
apa-apa sama sekali, dan kalau dia punya masa depan, dia seharusnya
menemukannya di tempat lain.
Dia berenang kembali ke pintu yang mengarah ke tangga. Sekarang dia bisa
melihat tumpukan sampah itu dengan lebih jelas, dan dia bertanya-tanya
bagaimana sampah itu bisa ada di sana. Setiap ruangan lain benar-benar kosong.
Sampah itu tidak mungkin terbawa air, karena satu-satunya jendela yang terbuka
ada di menara, dan berada di atas permukaan air. Dia berenang mendekat dan
mengambil sepotong sampah. Itu adalah logam. Semuanya logam, kecuali beberapa
batu, dan dia berpikir bahwa mungkin selama ini sampah itulah harta itu. Kalau kau
menyembunyikan harta karun, kau tidak akan menaruhnya di dalam kantong atau
batangan logam, kau akan membiarkannya tersebar dan terlihat seperti sampah dan
orang-orang tidak akan menyentuhnya.
Dia mengumpulkan sebanyak mungkin potongan logam tipis yang bisa dia bawa
dengan satu tangan dan berenang dengan hati-hati menaiki tangga. Lehi harus
turun sekarang dan membantunya membawanya; mereka bisa membuat kantong dari
baju mereka untuk membawa banyak sampah sekaligus.
Dia melompat ke udara kemudian berjalan mundur menaiki beberapa anak
tangga terakhir dan menyeberangi lantai yang terendam. Lehi masih duduk di
ambang jendela, dan sekarang Rain ada di sampingnya, kaki telanjangnya
menjuntai di air. Ketika sampai di sana, dia berbalik dan mengulurkan logam di
tangannya. Dia tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas, karena bagian luar
masker wajah itu kabur karena air dan terus-menerus terkena sinar matahari.
"Lututmu tergores," kata Rain.
Deaver menyerahkan senternya dan sekarang setelah tangannya bebas, dia
bisa melepaskan maskernya dan melihat mereka. Mereka sangat serius. Dia
mengulurkan potongan logam itu ke arah mereka. "Lihat apa yang kutemukan
di sana."
Lehi mengambil beberapa potongan logam darinya. Rain tidak pernah
mengalihkan pandangannya dari wajah Deaver.
"Itu kaleng-kaleng tua, Deaver," kata Lehi pelan.
"Tidak, bukan," kata Deaver. Tapi, dia melihat di genggamannya
lembaran logam dan menyadari bahwa itu benar. Lembaran-lempengan itu dipotong
di bagian samping dan ditekan hingga rata, tapi itu benar-benar cuma kaleng.
"Ada tulisan di sana," kata Lehi. "Di situ tertulis, Ya
Tuhan sembuhkanlah gadisku Jenny, kumohon."
Deaver meletakkan segenggam tangannya di ambang jendela. Kemudian dia
mengambil satu, membaliknya, dan menemukan tulisannya. "Maafkan perzinahanku,
aku tidak akan berbuat dosa lagi."
Lehi membaca yang lain. "Selamatkan anakku dari padang gurun, ya
Tuhan Allah."
Setiap pesan digores dengan paku atau sepotong kaca, huruf-hurufnya
dibentuk dengan kasar.
"Dulu mereka berdoa sepanjang hari di kuil, dan orang-orang akan
membawa nama-nama dan mereka akan mengucapkan doa kuil untuk mereka," kata
Rain. "Tidak ada yang berdoa di sini sekarang, tapi mereka masih membawa
nama-nama itu. Di atas logam supaya bisa bertahan lama."
"Kita seharusnya tidak membaca ini," kata Lehi. "Kita
harus mengembalikannya."
Ada ratusan, mungkin ribuan logam doa di sana. Orang-orang pasti datang
ke sini sepanjang waktu, Deaver menyadari. Orang-orang Mormon pasti sering
datang ke sini dan meninggalkan barang-barang ini. Tapi tidak ada yang memberi
tahu aku.
"Apa kau tahu soal ini?"
Rain mengangguk.
"Kau yang membawa mereka ke sini, bukan?"
"Beberapa dari mereka. Selama bertahun-tahun."
"Kau tahu apa yang ada di sana."
Dia tidak menjawab.
"Dia menyuruhmu untuk tidak ke sini," kata Lehi.
"Kau juga tahu soal ini?"
"Aku tahu orang-orang ke sini, aku tidak tahu apa yang mereka
lakukan."
Dan tiba-tiba tekanan besar itu membuatnya tersadar. Lehi dan Rain
sama-sama tahu. Semua orang Mormon tahu. Mereka semua tahu, dan dia sudah
bertanya berulang kali, dan tidak seorang pun memberi tahu dia. Bahkan
teman-temannya pun tidak.
"Kenapa kau membiarkanku datang ke sini?"
"Mencoba menghentikanmu," kata Rain.
"Kenapa kau tidak memberitahuku soal ini?"
Perempuan itu menatap matanya. "Deaver, kau pasti mengira aku
mengerjaimu. Dan kau pasti akan menertawakannya, kalau aku memberitahumu.
Kupikir lebih baik kalau kau melihatnya sendiri. Dengan begitu mungkin kau
tidak akan memberi tahu orang-orang betapa bodohnya orang Mormon."
"Kau pikir aku akan melakukannya?" Dia mengangkat logam doa lainnya
dan membacanya dengan suara keras. "Datanglah segera, Tuhan Yesus, sebelum
aku mati." Dia melambaikannya padanya. "Kau pikir aku akan
menertawakan orang-orang ini?"
"Kau menertawakan segalanya, Deaver."
Deaver menatap Lehi. Ini adalah sesuatu yang belum pernah Lehi katakan.
Sebelumnya. Deaver tidak pernah menertawakan sesuatu yang benar-benar penting.
Dan ini benar-benar penting bagi mereka, bagi mereka berdua.
"Ini milikmu," kata Deaver. "Semua barang ini
milikmu."
"Aku tidak pernah meninggalkan doa di sini," kata Lehi.
Tapi ketika dia mengatakan milikmu maksudnya bukan hanya mereka,
hanya Lehi dan Rain. Yang dia maksud adalah mereka semua, semua orang di Laut
Mormon, semua orang yang sudah mengetahuinya tapi tidak pernah memberitahunya
meskipun dia bertanya berulang kali. Semua orang yang seharusnya ada di sini. "Aku
datang untuk menemukan sesuatu di sini untukku, dan kau tahu dari awal bahwa
itu cuma barang-barangmu yang ada di sana."
Lehi dan Rain saling pandang, lalu kembali menatap Deaver.
"Itu bukan punya kami," kata Rain.
"Aku belum pernah ke sini sebelumnya," kata Lehi.
"Itu barang-barangmu." Dia duduk di air dan mulai melepaskan
perlengkapan selamnya.
"Jangan marah," kata Lehi. "Aku tidak tahu."
“Kau tahu lebih banyak daripada yang kau katakan padaku. Selama ini aku
pikir kita berteman, tapi ternyata tidak. Kalian berdua memiliki tempat yang
sama dengan orang lain, tapi tidak denganku. Semua orang kecuali aku.”
Lehi dengan hati-hati membawa lembaran logam itu ke tangga dan
menjatuhkannya. Mereka langsung tenggelam, melayang turun dan mengambil tempat
di tumpukan permohonan.
Lehi mendayung melewati gedung pencakar langit di sebelah timur kota tua,
lalu Rain menyalakan mesin dan mereka meluncur di sepanjang permukaan danau.
Patroli Danau tidak melihat mereka, tapi Deaver sekarang tahu bahwa tidak
masalah kalau mereka melihatnya. Patroli Danau sebagian besar adalah orang
Mormon. Mereka pasti tahu tentang lalu lintas di sini, dan membiarkannya
terjadi selama itu tidak kentara. Mungkin satu-satunya orang yang mereka
hentikan adalah orang-orang yang tidak terlibat.
Sepanjang perjalanan kembali ke Magna untuk mengembalikan peralatan
selam, Deaver duduk di bagian depan perahu, tidak berbicara dengan yang lain.
Di tempat Deaver duduk, haluan perahu tampak melengkung di bawahnya. Semakin
cepat mereka melaju, semakin sedikit perahu itu menyentuh air. Hanya meluncur
di atas permukaan, tidak pernah benar-benar menyentuh dasar; membuat beberapa
gelombang, tapi air selalu tenang lagi.
Kedua orang di bagian belakang perahu itu, dia merasa agak kasihan pada
mereka. Mereka masih tinggal di kota yang tenggelam itu, mereka seharusnya
berada di sana, dan kenyataan bahwa mereka tidak bisa pergi ke sana membuat
hati mereka hancur. Tapi tidak dengan Deaver. Kotanya bahkan belum dibangun.
Kotanya adalah masa depan.
Dia sudah mengemudikan truk barang bekas dan tinggal di lemari cukup
lama. Mungkin dia akan pergi ke selatan ke New Soil Lands. Mungkin bisa
memiliki sebidang tanah. Memiliki sesuatu, menanam di tanah, mungkin dia akan
merasa cocok di sana. Mengenai tempat ini, yah, dia tidak pernah merasa cocok
di sini, sama seperti semua panti asuhan dan sekolah di sepanjang jalan, hanya
satu tempat persinggahan lagi selama satu atau dua atau tiga tahun, dia sudah
tahu itu sejak lama. Tidak pernah punya teman di sini, tapi memang begitulah
yang dia inginkan. Tidak ada gunanya berteman, karena dia akan terus maju dan
mengecewakan mereka. Tidak melihat ada gunanya melakukan itu kepada orang lain.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 “....toodling his noodle
like the old guys use to. All it ever got them was a sore noodle”:
seseorang sedang berpikir atau bermain-main dengan sebuah ide, pada dasarnya
"bermain-main" dengan kepala atau pikirannya; "noodle"
adalah bahasa gaul untuk "kepala" dan "toodle"
menyiratkan tindakan yang riang dan tanpa beban.
2 Malaikat Moroni: malaikat yang menurut Joseph Smith, pendiri
gerakan Orang Suci Zaman Akhir, mengunjunginya dalam beberapa kesempatan.
Menurut Smith, malaikat Moroni adalah penjaga lempengan-lempengan emas yang
dikubur di dekat rumahnya di New York bagian barat, yang diyakini oleh Orang
Suci Zaman Akhir sebagai sumber Kitab Mormon.
3 Bigamy Young: kemungkinan Brigham Young (1801–1877); presiden kedua Gereja Yesus Kristus
Orang-Orang Suci Zaman Akhir dari tahun 1847 hingga kematiannya pada tahun
1877. Dia juga menjabat sebagai gubernur pertama Wilayah Utah dari tahun 1851
hingga pengunduran dirinya pada tahun 1858.
4 Kedatangan Kristus yang Kedua: kepercayaan Kristen bahwa Yesus
Kristus akan kembali ke Bumi setelah naik ke Surga. Ini adalah konsep utama
dalam agama Kristen dan didasarkan pada nubuat-nubuat tentang mesias.

Comments
Post a Comment