Jalan Yang Paling Mulus Terkadang Penuh Batu (The Smoothest Way Is Full of Stones ~ Julie Orringer)
Esty berbalik padaku, menyeringai, dan menaikkan roknya. Kami
berjalan ke air sampai lutut kami tenggelam. Dasarnya kosong di
bawah jari-jari kaki kami, licin seperti tanah liat, dan ikan-ikan kecil berkedip di sekitar kaki kami seperti bunga api. Kami dilarang berenang karena tidak sopan untuk menunjukkan tubuh kami, tapi sejauh yang aku tahu tidak ada hukum yang melarang orang berendam dengan pakaian lengkap. Sepupuku membiarkan ujung roknya jatuh
ke air dan berjalan sampai air
mencapai pinggangnya, dan aku mengikutinya, senang bisa
merasakan air di kulitku. Inilah hal yang biasa kami lakukan waktu kami kecil --menyelinap diam-diam-- masuk ke hutan, merusak pakaian kami tanpa sengaja, hal-hal yang akan kami hadapi nanti. Waktu itu Esty masih dipanggil Erica, sebelum orangtuanya
bercerai, sebelum dia dan ibunya pindah ke Israel selama setahun dan menjadi penganut Ortodoks.
Sekarang ada paman baru, Paman Shimon, dan lima sepupu kecil. Bibiku Marla menjadi Bibi Malka, dan Erica menjadi Ester. Erica
biasa berbicara kembali kepada ibunya dan melemparkan secarik kertas ke belakang leher perempuan tua di sinagoga, tapi di
Israel dia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menundukkan kehidupan
lamanya dan menjalani hidup yang baru. Musim panas ini kami tidak melakukan
apapun kecuali berdoa, belajar Taurat, memasak, membersihkan pondok di danau, dan membantu Bibi Malka merawat anak-anak. Ketika kami berjalan ke danau, aku bertanya-tanya apakah Erica masih ada di
dalam sepupuku yang baru yang religius ini.
Aku mengikutinya lebih jauh ke dalam air, dan dasarnya terasa di bawah kami. Sangat sulit untuk berenang, berat dan lamban, dan kadang-kadang rasanya seperti tenggelam. Rok jin kami membuat kami tidak mungkin untuk mengayuh. Di depan adalah pelampung tua keluarga Perelman yang mengapung, sebuah rakit pecahan papan yang terikat pada drum plastik oranye, dan kami menarik
sampai ke rakit itu dan terus ke tangga.
"Kita akan dibunuh kalau ibumu melihat pakaian kita," kataku,
kehabisan napas.
"Tidak, tidak," kata Esty sambil mengusap rambut basah dari
wajahnya. "Kita akan membuat alasan, kita akan bilang kita jatuh."
"Yeah, benar," kataku. "Tidak sengaja."
Jauh di bawah, di dasar danau, batu-batu besar bergoyang-goyang dalam cahaya biru. Menyenangkan rasanya berpikir
bahwa kami bisa sampai sejauh ini dengan memakai rok.
Bayangan ikan yang bergerak lambat melewati kami, dan matahari begitu panas dan putih cemerlang. Kami naik ke rakit dan berbaring di atas papan dan membiarkan matahari mengeringkan pakaian kami. Rasanya menyenangkan berbaring di sana sambil menatap pondok dengan
jendela kosong yang menyedihkan, tidak ada orang di sana yang akan memberi tahu kami apa yang harus kami lakukan. Beberapa minggu lagi aku akan pulang ke Manhattan,
kembali ke kehidupan tempat hari-hariku dihitung sesuai kalender
Amerika dan doa adalah sesuatu yang kami lakukan setahun sekali, pada High Holiday2, ketika kami mengunjungi kakek-nenekku di Chicago.
Kembali ke dunia yang lain ini, tiga ratus mil dari sini,
ibuku terbaring di ranjang rumah sakit masih memulihkan diri dari melahirkan dan kematian adikku. Namanya Devon Michael. Bobot lahirnya satu pon, dua ons. Ibuku
punya masalah dengan tekanan darah
rendah, dan mereka harus mengantarnya tiga bulan lebih awal, melalui bagian C.
Sudah enam minggu sejak Devon Michael lahir lalu meninggal, tapi ibuku masih berada di rumah sakit melawan infeksi dan
depresi. Dengan ayahku yang bekerja penuh waktu dan aku yang keluar dari sekolah, orang tuaku memutuskan akan lebih baik bagiku untuk ikut dengan keluarga Adelsteins sampai ibuku keluar dari rumah sakit. Aku tidak setuju, tapi sepertinya itu waktu yang buruk untuk berdebat.
Sepupuku berkata bahwa kalau aku pulang ke rumah aku harus mendorong orang tuaku untuk tetap kosher3, bahwa kami harus selalu mengucapkan b'rachot4 sebelum dan setelah makan,
bahwa ibuku dan aku harus mengenakan rok panjang
dan kaos lengan panjang setiap hari. Dia berkata bahwa semua itu akan membantu ibuku pulih, cara ini membantu ibunya pulih dari
perceraian. Aku mencoba untuk mengatakan kepadanya bahwa sudah lama kami melakukan hal-hal yang biasa, seperti pergi ke bioskop atau makan makanan Cina
yang besar di restoran Cina. Tapi Esty hanya melihatku dengan
tatapan kosong dan mencerahkan di matanya dan berkata bahwa kami harus mencoba melakukan yang Tuhan inginkan. Aku sudah berada di sini sebulan, dan aku belum pernah menceritakan kepadanya hal-hal buruk yang sudah kulakukan tahun ini --mengambil rokok ibu temanku, mencuri kartu bergambar perempuan telanjang dari seorang pedagang kaki lima di
West 33rd, dan mencium anak laki-laki anggota tim renang di belakang ruang
bilas. Aku berencana untuk menceritakan semua ini padanya, mengira
dia akan terkesan, tapi tidak lama kemudian aku merasa bahwa dia tidak akan terkesan. Sekarang Esty duduk di sampingku di atas rakit
dan melihat ke arah pantai. Ketika dia menatap ke jalan di luar halaman keluarga Perelman, ketegangannya
kembali dan matanya memicing dengan konsentrasi. "Ada yang datang," katanya. "Lihat."
Aku duduk. Dari balik semak-semak di sepanjang jalan danau terlihat sekelebat bayangan putih, kemeja seseorang. Tanpa sepatah kata pun kami terjun ke air dan berenang di bawah rakit, di antara drum plastik
oranye. Dari tempat teduh di sana, kami melihat seorang remaja laki-laki dengan
rambut berwarna tembaga dan kukunya yang panjang melengkung berlari dari jalan
menuju semak-semak di samping rumah itu. Dia berlutut dan merangkak menembus
jalinan tanaman merambat, bergerak perlahan, melirik ke balik bahunya. Ketika
dia sampai di halaman belakang dia berdiri dan mengibaskan daun-daun mati dari
pakaiannya. Tubuhnya tinggi dan kurus, lengannya yang panjang mulus dan
cokelat. Sambil meringkuk di samping serambi, dia membuka ranselnya dan
mengeluarkan semacam bungkusan kotak, yang dia dorong jauh ke bawah undakan teras. Lalu dia bangkit dan berjalan menuju
jalan. Dari balik bayangan rakit, kami bisa melihat debu yang beterbangan, dan kemewahan kemeja putih laki-laki itu.
"Itu Dovid Frankel," kata Esty.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ibuku membelikannya ransel hijau itu di Toronto."
"Banyak yang punya ransel hijau," kataku.
"Aku tahu itu dia. Kau akan lihat. Keluarganya akan datang untuk Shabbos
malam ini."
Dia berenang ke pantai dan aku mengikutinya, rokku berat seperti kulit
binatang di kakiku. Ketika kami menyeret tubuh kami ke pantai, pakaian kami
melekat pada tubuh kami dan rambut kami bergantung seperti rumput liar.
"Kau terlihat seperti kapal karam," kataku pada sepupuku.
"Kau juga," katanya, lalu tertawa.
Kami melintasi halaman belakang keluarga Perelman menuju teras yang bertirai. Berlutut, kami mengintip bayang-bayang di bawah
undakan teras. Pesawat ringan yang terbang terlihat dari celah di antara papan, dan kami bisa melihat kantong kertas jauh di balik bayang-bayang itu. Esty meraih dan mengambil bungkusan itu, lalu menumpahkan isinya ke atas rumput. Yang jatuh dari sana adalah buku dengan softcover besar yang berjudul Essence of
Persimmon: Eastern Sexual Secrets for Western Lives.
Di sampulnya ada gambar seorang perempuan India yang terbalut sutra emas dan hijau, berbaring di atas bantal di dalam tenda. Satu
tangan menghilang ke dalam bayangan di antara kedua kakinya, dan tangan yang lain memegang satu botol kecil minyak. Payudaranya
besar dan bulat, matanya meruncing seperti dua ikan kecil. Bibirnya terbuka dengan ekspresi kenikmatan.
"Rahasia seks timur," kata Esty. "Ya, Tuhan."
Aku tidak bisa bicara Aku tidak
bisa berhenti menatap gambar perempuan di sampulnya.
Sepupuku membuka buku itu dan membalik-balik halamannya, beberapa penuh dengan teks, yang lain dicetak dengan ilustrasi.
Bergerak mendekatiku, dia mulai membaca dengan suara keras: "Orang bisa mulai dengan menekan tangan ke arah yoni yang terbuka, membiarkan panas dan energi masuk ke tubuh sang perempuan melalui ruang yang paling intim ini."
"Wow," kataku. "Yoni terbuka."
Esty menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam kantong kertas cokelat.
"Ini jelas dosa," katanya. "Kita tidak bisa
meninggalkannya di sini, Dovid akan kembali untuk mengambilnya."
"Lalu?"
"Kau seharusnya tidak membiarkan teman sesama Yahudimu melakukan dosa."
"Apakah itu benar-benar dosa?"
"Dosa besar," katanya. "Kita harus
menyembunyikannya di tempat tidak seorang pun bisa menemukannya."
"Di mana?"
"Di lemari kita di rumah. Rak paling atas. Tidak ada yang akan tahu."
"Tapi kita tahu," kataku sambil melihatnya dengan hati-hati.
Menyembunyikan buku seperti itu di atas lemari kami adalah sesuatu yang mungkin
disarankan Erica, dulu.
"Tentu saja, tapi kita tidak akan melihatnya lagi," kata Esty tegas, matanya yang cokelat bening dan garang. "Ini tiuv, menjijikkan, Tuhan melarang siapa pun untuk melihatnya lagi."
Sepupuku mengambil sepedanya dari gudang dan menyimpan
buku itu di antara sekantong selada dan sekotak yogurt.
Kelihatannya aman di sana, dan sehat, di dalam kantong kertas cokelatnya. Kami naik sepeda dan pulang, dan ketika kami sampai di rumah,
pakaian kami sudah hampir kering.
***
Esty membawa buku itu ke dalam rumah seakan bukan apa-apa, hanya sebuah tas cokelat di antara banyak tas. Itu adalah cara cerdik yang disempurnakannya di hari-hari
Erica-nya, dan bekerja sama baiknya sekarang. Di dalam, semua orang
terlalu sibuk mempersiapkan Shabbos untuk memperhatikan sesuatu yang tidak
biasa. Sepupu-sepupu tiri kecilku sedang menyiapkan meja,
mengatur lilin Shabbos, membereskan mainan, membersihkan rak buku. Bibi Malka sedang
memanggang challah5. Dia memukul adonan ketika
bicara dengan kami.
"Anak-anak harus mandi," katanya. "Meja harus diatur, keluarga Handelmans and Frankels datang pukul tujuh, dan aku terlambat menyiapkan makan malam, seperti yang kalian lihat. Aku tidak akan bertanya apa yang membuat kalian begitu lama." Dia mengangkat matanya ke arah kami, mata biru besar
yang tajam mirip dengan mata ibuku, dengan lipatan dalam di sudutnya dan bulu mata hitam pekat. Tidak seperti ibuku, dia bertubuh tinggi dan bertulang besar. Dulu dia adalah Marla Vincent, penata rias untuk Perkumpulan Opera Kanada di Toronto. Satu kali aku melihatnya bekerja,
menggantung tirai beludru ungu di jendela palazzo6 Italia.
"Maaf, kami terlalu lama," kata Esty. "Kami akan
membantu."
"Sebaiknya begitu," katanya. "Shabbos sudah datang."
Aku mengikuti sepupuku menyusuri lorong dan masuk ke kamar tidur kami. Di dinding bercat putih
ada foto Rabi Lubavitcher7, Menachem Schneerson8, dengan janggutnya yang panjang dan matanya yang seperti bintik-bintik di kaca hitam. Fotonya ada di dinding timur, dinding yang
dihadapi sepupuku kalau dia berdoa. Mata sang rabi seperti mengikutinya ketika dia menyeret kursi meja ke lemari
dan meletakkan Essence of Persimmon
di rak paling atas.
"Apa yang akan kita katakan kepada Dovid Frankel malam
ini?" aku bertanya padanya
"Tidak ada," katanya. "Kita akan mengabaikannya."
***
Aku menelepon ibuku untuk yang terakhir kalinya sebelum Shabbos. Selalu menakutkan untuk
menghubungi nomor kamar rumah sakit karena tidak ada yang tahu seperti apa
suara ibuku ketika dia menjawab. Terkadang dia terdengar seperti
dirinya sendiri, cepat dan lucu, dan aku hampir bisa mencium bau sabun
zaitunnya. Lain waktu, seperti hari ini, dia terdengar seperti ketika dia memberi tahuku bahwa Devon Michael sudah meninggal.
"Aku tidak bisa mendengar suaramu," katanya, suaranya sendiri kecil dan kabur, seperti dari tempat yang jauh dari telepon. Telepon terus mengeluarkan suara berderak.
"Kami pergi berenang hari ini," kataku padanya, mencoba untuk
berbicara dengan keras. "Panas sekali."
Jauh dari sini, terlalu pelan untuk terdengar, dia mendesah.
"Ini sudah hampir Shabbos,"
kataku. "Bibi Malka memanggang challah."
"Apa iya?" kata ibuku.
"Bagaimana perasaanmu?" aku bertanya padanya "Kapan
kau bisa pulang?"
"Segera, sayang."
Tiba-tiba aku merasa perlu menceritakan kepadanya tentang buku yang kami
temukan, untuk menanyakan kepadanya apa yang harus dilakukan dengan sesuatu
seperti itu, untuk mengetahui apakah dia menganggap hal itu dosa. Aku ingin memberitahunya tentang Dovid Frankel, bagaimana kami melihatnya menyelinap di tepi danau. Kadang-kadang aku menceritakan hal-hal seperti itu kepada ibuku, dan sepertinya dia
mengerti. Tapi sekarang dia mengirim
salam buat Bibi Malka dan Paman Shimon
dan Esty dan sepupu-sepupu tiriku, dan sebelum aku punya kesempatan untuk benar-benar
merasa seperti anak perempuannya lagi, kami sudah saling mengucapkan selamat tinggal.
***
Pukul enam tiga puluh, ibu-ibu
dan para gadis datang.
Mereka membawa baki yang mengepul berisi kugel9 kentang dan cobbler10 berry, berbotol-botol jus
anggur dan anggur manis. Orang-orang di shul11, menyambut Shabbos seperti seorang mempelai perempuan, dengan kata-kata bo'i kallah12. Di sini para perempuan tidak beribadah di sinagoga pada hari Jumat. Sebagai gantinya kami mengatur
piring-piring makanan dan mengeluarkan roti dari oven dan mengisi cangkir
dengan jus dan anggur. Kami masih bekerja ketika para bapak-bapak dan anak-anak laki-laki datang, berjalan melewati dapur dan mencium istri dan anak perempuan mereka sebagai ucapan selamat Shabbos. Sepupuku, tangannya penuh raspberry, mendorongku dan mengangguk ke arah seorang
anak laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut cokelat, dan aku mengenalinya sebagai Dovid Frankel, anak laki-laki di danau, pemilik Essence of
Persimmon. Aku mengawasinya ketika dia mencium ibunya, memeluk adiknya di pinggulnya. Tubuhnya tinggi dan kecokelatan,
dengan kacamata bundar kecil dan wajah oval ramping. Mulutnya seperti mulut perempuan, melengkung dan memerah, dan rambutnya
dipotong bertingkat, dengan pengecualian bahunya yang panjang, bidang, dan melengkung. Dia mengenakan baju biru tanpa kerah yang sepertinya buatan sendiri. Aku tidak sadar aku menatapnya begitu lama sampai Esty menyenggolku lagi.
Semua orang berkumpul di sekeliling meja makan, yang sudah kami siapkan di teras bertirai. Orang-orang mulai menyanyikan Shalom Aleichem13, bergoyang seiring naik-turunnya irama. Aku merasa aman, berkumpul, dengan lagu yang
menutupi kami seperti selendang doa dan lilin Shabbos berkedip-kedip di lemari. Aku berdoa untuk ibu dan ayahku. Dovid Frankel berdiri di depanku, menggoyang-goyang adik perempuannya sambil bernyanyi.
Paman Shimon, dengan kemeja putihnya yang longgar dan yarmulke14 dengan bordirannya, berdiri di ujung meja. Janggutnya berwarna keperakan, dan matanya terbakar dengan kilatan api biru. Ketika dia melihat ke sekeliling meja ke arah teman-temannya, anak-anaknya,
istri barunya, aku bisa mengatakan bahwa dia percaya bahwa dirinya adalah laki-laki yang beruntung. Aku memikirkan pamanku yang sebelumnya, Michael, yang pindah ke Hawaii untuk melakukan penelitian
astronomi dengan sebuah teleskop raksasa di sana. Satu kali dia membawa keluarganya untuk mengunjungi kami pada
hari Natal, dan untuk menghormatinya ibuku memasang sebuah pohon plastik kecil di
atas meja kopi kami. Malam itu kami dibolehkan makan permen dan menggantung kaus kaki di perapian, dan paginya ada gelang perak untuk Esty dan aku, dengan nama kami terukir di atasnya. Gelang Esty bertuliskan ERICA, tentu saja. Aku penasaran apakah dia masih menyimpannya. Aku
masih menyimpan punyaku, walaupun sudah
terlalu kecil untukku sekarang.
Di sampingku, Esty melihat ke piringnya dan menunjuk trim satin di pinggang rok Shabbos-nya. Aku juga memergokinya ketika melihat Dovid Frankel, yang sepertinya tidak menyadari kami berdua. Dari kamar tidur, Essence of Persimmon memberi daya tarik
magnetik yang bisa kurasakan di dadaku. Aku memperhatikan Esty ketika kami menyajikan sup dan ikan gefilte, ketika kami bersandar di bahu Dovid
Frankel untuk mengganti garpunya atau mengambil piringnya. Pipi sepupuku memerah dan matanya terus melihat ke arah Dovid,
meski sesekali matanya
dialihkannya kepada Nyonya
Handelman yang sedang hamil, perutnya besar di bawah gaun katun putihnya. Nyonya Handelman adalah adik perempuan tertua
Dovid Frankel. Suaminya yang masih muda, Lev, berjenggot pirang pendek dan suka tertawa dengan gugup. Selama ikan dihidangkan, dia menceritakan tentang serangkaian kontraksi
palsu yang memaksanya dan Nyonya Handelman berlari ke mobil. Nyonya Handelman, Esty berbisik padaku, berumur delapan belas. Tahun lalu
mereka masih satu sekolah.
Kami makan ayam dan kugel kami,
lalu kami menyajikan cobbler
raspberry sebagai hidangan penutup. Sepupu-sepupu tiri kecilku menjerit-jerit
di sekeliling meja dan merangkak di bawahnya. Ada sesuatu yang liar dan indah
dari semua kekacauan itu, perasaan yang sangat berbeda dengan irama sunyi meja
makan kami di rumah, dengan ibuku yang bertanya tentang hariku di sekolah dan
ayahku yang menawarkan lebih banyak susu atau kacang. Di sini, ketika semua
orang sudah selesai makan, kami menyanyikan Birkat HaMazon15. Sekarang aku mengerti semua kata dalam bahasa Ibrani.
Aneh rasanya kalau aku pulang ke rumah dan kami semua bangkit berdiri setelah
makan dan menaruh piring di bak cuci tanpa menyanyikan apapun, atau mengucapkan
terima kasih kepada siapa pun.
Ketika doa selesai, pamanku mulai menceritakan sebuah kisah tentang
keluarga Belkins, keluarga Yahudi yang tinggal sekitar tiga puluh mil ke arah
danau yang rumahnya terbakar pada bulan Juni. "Semuanya hancur,"
katanya. "Buku-buku, pakaian, mainan anak-anak, semuanya Tidak ada yang
terluka, terima kasih Tuhan. Mereka sedang mengunjungi saudara istrinya ketika
itu terjadi. Korsleting. Benar-benar kecelakaan. Jadi waktu mereka kembali
untuk melihat apakah ada yang bisa diselamatkan, satu-satunya benda yang tidak
sepenuhnya terbakar adalah mezuzah16.
Kusen pintunya? Habis terbakar. Tapi mezuzah-nya,
baik-baik saja. Agak gosong, tapi baik-baik saja. Jadi mereka mengirimnya ke
New York supaya kertasnya diperiksa, dan kalian tidak akan percaya apa yang
mereka temukan."
Semua laki-laki dan perempuan dan anak-anak melihat pamanku, dengan mulut
ternganga. Mereka berkedip pelan di teras seolah-olah dia akan melakukan
mukjizat.
"Ada yang salah di tulisannya," kata pamanku. "Di kata asher17, huruf aleph-shin tercoreng, tidak jelas."
Tuan Handelman muda tampak terkesima. "Aleph-shin," katanya. "Aish."
"Benar. Dan siapa yang tahu artinya?" Paman Shimon menatap
setiap anak, tapi anak-anak itu hanya duduk menatap, menunggunya memberi tahu
mereka.
"Aku tahu," kata Dovid Frankel. "Artinya api."
"Benar," kata Paman Shimon. "Api."
Di sekeliling meja terdengar gumaman takjub, tapi Dovid Frankel
menyilangkan lengannya di dadanya dan mengangkat alis ke pamanku. "Aish," katanya. "Itu yang
membuat rumah mereka terbakar, kan?"
Pamanku duduk kembali di kursinya sambil mengelus janggutnya.
"Seorang laki-laki harus memastikan mezuzah-nya
kosher," katanya. "Itu
tanggung jawabnya. Siapa yang tahu bagaimana huruf-hurufnya tercoreng? Apakah
itu karena penulisnya, yang sedang malas? Apakah itu karena pembantunya, yang
menyentuh tulisan itu waktu dia memindahkannya dari satu meja ke meja lain?
Mungkin setetes air jatuh dari secangkir teh istri penulisnya yang dibawa untuk
suaminya. Haruskah kita menyalahkannya?"
"Demi Tuhan, jangan salahkan istrinya," kata bibiku, dan semua
perempuan tertawa.
"Kita harus memeriksa mezuzot
kita dua kali setahun," kata pamanku. Dia bersandar di kursinya dan
menatap Dovid, menyilangkan jemarinya di atas perutnya. "'Kita sendiri
yang bertanggung jawab atas hubungan kita dengan Hashem18.' Rabi Zinzun mengatakannya di abad kelima
belas."
"Kita harus memeriksa mezuzah
kita," kata Tuan Handelman sambil meremas tangan istrinya. Dia terlihat
khawatir dengan perut istrinya yang semakin besar.
"Aku membuat mezuzah di
sekolah," kata salah satu sepupu kecilku, seorang anak laki-laki berambut
merah.
"Tidak," kata kakaknya. "Kau membuat bungkus mezuzah."
Esty dan aku bangkit untuk membersihkan piring makanan penutup dari
meja, dan Dovid Frankel mendorong kursinya menjauh dari meja dan berdiri. Ketika kami mengumpulkan piring, dia membuka pintu kasa dan keluar. Sepupuku melirikku dengan tajam, seolah-olah hal itu membuktikan bahwa pemuda itu berdosa kepada Hashem dan merasa bersalah. Aku
mengambil setumpuk piring makanan penutup ke dapur, mencoba melihat Dovid dari
jendela. Tapi di luar gelap, dan yang bisa kulihat hanya pantulan dapur, dengan
tumpukan piring yang harus kami cuci. Ketika suara para bapak-bapak terdengar lagi, aku pergi ke depan rumah dan melangkah
keluar. Malam mengepungku, dibasahi embun dan menguarkan aroma rerumputan dan pinus dan angin danau, dan udara bergetar bersama para katak. Rumput tinggi membasahi pergelangan kakiku ketika aku berjalan menuju halaman belakang. Dovid sedang menendang tiang jemuran, sepatu sneaker-nya
membuat dentang dari tiang logam berongga itu. Dia menatapku dan berkata,
"Halo, sepupu Esty," dan tetap menendang.
"Apa yang sedang kau lakukan?" aku bertanya kepadanya.
"Berpikir," katanya sambil menendang tiang.
"Memikirkan apa?"
"Apakah mezuzah yang tercoreng bisa membuat sebuah rumah terbakar habis?"
"Bagaimana menurutmu?"
Dia tidak menjawab. Alih-alih, dia memungut sebongkah batu putih dari tanah dan melemparkannya ke dalam kegelapan. Kami
mendengarnya jatuh di rerumputan, tidak terlihat.
"Apa kau tidak percaya pada Hashem?"
aku bertanya kepadanya.
Dia memicingkan matanya padaku. "Bagaimana denganmu?"
"Aku tidak tahu," kataku. Aku terdiam dalam kegelapan,
memikirkan ketika aku melihat adikku sebelum dia meninggal. Dia
terbaring dalam inkubator dengan selang yang keluar dari setiap bagian
tubuhnya, memonitor jejak napas dan detak jantungnya. Kulitnya transparan,
matanya terpejam, dan yang bisa kupikirkan hanyalah dia terlihat seperti seekor kodok kurus kecil. Digosok, disterilkan, dicuci,
aku diizinkan masuk dan menyentuh kulitnya yang panas. Aku merasa kasihan padanya. Sembuhlah, tumbuhlah, berlarilah, aku berkata kepadanya tanpa suara. Sulit untuk meninggalkannya, karena tahu aku mungkin tidak akan bertemu
dengannya lagi. Tapi di dalam taksi malam itu, dalam perjalanan pulang bersama
ayahku, aku membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia hidup. Para dokter sudah memberi tahu kami bahwa dia bisa sakit selamanya, bahwa dia memerlukan
perawatan terus-menerus. Aku sudah bisa membayangkan orangtuaku merawatnya
setiap hari, mengganti selang dan popoknya, memeriksa denyut nadinya yang mungil,
sama sekali melupakanku. Hanya sekali, hanya saat itu, aku berharap dia
mati. Kalau ada Tuhan yang bisa melihat ke dalam mezuzah, Tuhan yang
membakar rumah orang karena dua huruf yang tercoreng, maka Dia pasti
juga tahu rahasia itu. "Kadang-kadang aku berharap Tuhan itu tidak ada," kataku.
"Aku akan punya banyak masalah kalau Dia ada."
"Masalah apa?" kata Dovid
"Masalah buruk, aku tidak bisa membicarakannya."
"Beberapa orang di sekitar sini takut padamu," kata Dovid. "Beberapa ibu, mereka pikir kau akan menunjukkan kepada anak-anak mereka majalah mode atau memberi
mereka kue yang tidak enak atau memberi tahu mereka sesuatu yang seharusnya
tidak mereka dengar."
Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Aku hanya membayangkan pengaruh yang
mengalir dari mereka kepadaku, membuat aku lebih Yahudi, membuat aku mencoba
melakukan semua yang diajarkan Taurat. "Aku tidak membawa
majalah," kataku padanya. "Aku berusaha tetap kosher sepanjang musim panas ini. Aku memakai pakaian lengan panjang ini. Aku hampir
tidak bisa mengingat seperti apa diriku dalam kehidupan normalku."
"Sama dengan sepupumu," katanya. "Ketika dia dan bibimu
pertama kali datang ke sini, orang-orang tidak mempercayainya."
"Aku tidak percaya ada orang yang tidak mempercayai mereka,"
kataku. "Atau takut padaku."
"Aku tidak takut padamu," katanya, lalu mengulurkan tangan dan
menyentuh lenganku, tangannya terasa dingin dan kering di kulitku. Aku tahu dia
tidak seharusnya menyentuh perempuan mana pun yang bukan ibunya atau saudara
perempuannya. Aku bisa mencium aroma raspberry dan gula merah di nafasnya. Aku
tidak ingin pergi atau bicara atau melakukan apapun yang akan membuat dia
menarik tangannya dari lenganku, walaupun aku tahu bahwa itu salah kalau kami
bersentuhan dan walaupun aku tahu dia tidak akan menyentuhku kalau aku seorang
gadis Ortodoks. Dari rumah terdengar suara bapak-bapak tertawa. Dovid Frankel
melangkah lebih dekat, dan aku bisa merasakan kehangatan dadanya melalui
kemejanya. Sejenak kupikir dia akan menciumku. Lalu kami mendengar tirai pintu
terhempas, dan dia menjauh dariku lalu berjalan kembali ke rumah.
***
Malam itu, sepupuku tidak mau bicara denganku. Dia tahu aku berada di
luar dengan Dovid Frankel, dan itu membuatnya marah. Dalam diam kami mengenakan
baju tidur kami dan menyikat gigi dan naik ke tempat tidur, dan aku bisa
mendengar nafasnya, tidak tenang dan tajam. Aku berbaring di sana memikirkan
Dovid Frankel, caranya memegang lenganku, mengetahui bahwa dia menentang
aturan. Ini memberiku perasaan aneh dan menggelegak di perutku. Untuk pertama
kalinya aku bertanya-tanya apakah aku sudah mulai ingin menjadi gadis yang
bukan diriku, yang doanya ikut kuucapkan, yang aturan soal makanannya aku
amati. Satu atau dua kali, ketika Shabbos,
aku tahu aku merasakan seperti ada yang tumbuh di dadaku, sesuatu yang lebih
besar dari diriku sendiri. Aku bertanya-tanya apakah ini adalah bukti dari
sesuatu, bukti bahwa Tuhan sudah menandai aku.
Tengah malam, aku terbangun dan mendapati Esty tidak ada di tempat
tidurnya. Pintu lemari tertutup, dan dari bawah pintu muncul garis tipis
cahaya, cahaya yang kami tinggalkan sepanjang Shabbos. Dari dalam aku bisa mendengar suara gesekan lalu bunyi
berdebam yang lembut. Aku bangun dari tempat tidur dan pergi ke pintu lemari.
"Esty," bisikku. "Kau di sana?"
"Pergilah," sepupuku berbisik kembali.
"Buka pintunya," kataku.
"Tidak."
"Buka, atau aku akan membuat keributan."
Dia membuka pintu lemari sedikit. Aku menyelinap masuk. Buku itu ada di
tangannya, terbuka di halaman laki-laki dan perempuan Jepang yang sedang
berpelukan. Kepala si perempuan terkulai ke belakang, mulutnya terbuka
memperlihatkan sedikit lidahnya. Si laki-laki menggenggam tangan si perempuan
yang kecil seperti burung. Berdiri di antara kedua kakinya dan memasuki tubuh
si perempuan adalah segumpal daging berwarna plum.
"Jorok," kataku.
Sepupuku menutup buku itu
"Kupikir kau bilang kita tidak akan pernah melihatnya lagi,"
kataku.
"Kita juga akan mengabaikan Dovid Frankel."
"Lalu ini apa?"
Mata sepupuku berkaca-kaca, dan aku mengerti: dia jatuh cinta pada Dovid
Frankel. Segalanya mulai masuk akal: kami membawa pulang buku itu,
penampilannya yang luar biasa sepanjang malam, kemarahannya. "Esty,"
kataku. "Tidak apa-apa, tidak ada apapun yang terjadi. Kami cuma
bicara."
"Dia memandangimu waktu makan malam," teriaknya.
"Dia tidak menyukaiku," kataku. "Kami
membicarakanmu."
"Aku?" dia menyeka matanya dengan lengan baju tidurnya.
"Betul."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia ingin tahu apakah kau pernah menceritakan soal dia kepadaku," aku berbohong.
"Lalu?"
"Kukatakan kau bilang kau pergi ke sekolah dengan adiknya."
Sepupuku mendesah. "Baiklah," katanya. "Jawaban yang
aman."
"Baiklah," kataku. "Sekarang kau harus memberi tahuku apa yang kau lakukan, melihat buku
itu."
Sepupuku melirik ke bawah dan matanya melebar, seolah-olah dia terkejut
mendapati dia sudah memegang buku itu selama ini. "Aku tidak
tahu apa yang kulakukan," katanya. "Buku itu ada di sini, aku tidak
bisa tidur, akhirnya aku bangun dan mulai melihatnya."
"Itu dosa," kataku. "Itu katamu sebelumnya."
"Aku tahu."
"Jadi mari kita tidur, ayo?"
"Baiklah," katanya.
Kami berdiri di sana saling pandang. Tidak satu pun dari kami pergi ke tempat tidur.
"Mungkin kita bisa melihatnya sebentar," kataku.
"Beberapa menit tidak ada salahnya," kata sepupuku.
Jadi begitulah. Kami
duduk di papan kayu lantai lemari, dan sepupuku membuka bab pertama. Kita tahu bahwa kita sudah terlalu sibuk dengan
pekerjaan, pekerjaan rumah tangga, dan aktivitas sosial untuk mengingat bahwa kita seharusnya meluangkan waktu untuk menghormati dan menikmati
diri kita sendiri dan diri pasangan kita, untuk mengambil keuntungan yang berasal dari hubungan seksual
yang teratur, penuh kasih, dan
penuh. Buku ini tampaknya tidak
peduli apakah 'Timur' berarti Jepang, Cina, atau
India; gambar-gambarnya menunjukkan semua jenis orang
Timur dalam posisi seksual yang namanya terdengar seperti puisi: 'Sang Bangau', 'Kijang Berlutut', 'Plum Mengembang'. Dahi sepupuku berkerut karena konsentrasi
membaca, alisnya hampir bertemu.
"Apa itu orgasme?" tanya sepupuku.
"Mereka terus bicara soal orgasme."
"Aku tidak tahu," kataku. "Periksa indeksnya."
Dia membalik ke indeks, dan di bawah orgasme
ada daftar panjang nomor halaman. Kami memilih satu secara acak, halaman 83. Sepupuku membaca dengan pelan tentang bagaimana menyentuh diri sendiri untuk mencapai kata yang dimaksud. Kita belajar bahwa seseorang bisa menggunakan jarinya sendiri atau benda yang bentuk dan teksturnya
sesuai dengan keinginan, walaupun penggunaan perangkat bergetar elektronik tidak
disarankan. Itu bisa menyebabkan 'kurang sensitif', kata buku itu. Tapi perangkat Timur tertentu, seperti bola ben wa19 atau Rangkaian Mutiara, bisa meningkatkan kepuasan seorang perempuan.
"Sakit," kata sepupuku.
"Aku masih belum mengerti," kataku.
"Menurutmu apa yang mereka maksud dengan klitoris?"
Walaupun aku samar-samar merasa tahu, aku merasa kehilangan kata-kata. Sepupuku
mencarinya di indeks, dan ketika dia tahu artinya dia terheran-heran. "Kupikir itu adalah tempat kita kencing," dia menghela nafas. "Aneh sekali."
"Ya, aneh," kataku.
Lalu dia berkata, "Aku tidak percaya Dovid Frankel sudah membaca semua ini. Tangannya mungkin sudah menyentuh halaman ini."
Dia membiarkan buku itu jatuh di pangkuannya. Buku itu terbuka di halaman yang mengkilap yang
menggambarkan seorang perempuan
yang bergantung pada alat seperti ayunan di atap sebuah paviliun, di atas seorang laki-laki bersorban yang menatapnya dengan penuh nafsu dan cinta. Dua pelayan dengan jubah panjang memegangi kabel yang membuat
perempuan itu tergantung.
"Oh, Tuhan," kata sepupuku, dan menutup buku itu. Dia menatapku
dengan pandangan serius, mata ibunya, tapi agak cokelat tua,
dalam cahaya remang-remang lemari. "Kita harus bertobat besok,"
katanya. "Ketika kita mengucapkan shacharit20 di pagi hari. Ada tempat buat kita untuk mengatakan kepada Tuhan ketika kita melakukan kesalahan."
"Kita akan bertobat," kataku.
Kami menyimpan buku itu di rak yang tinggi dan meninggalkan lemari. Kamar
kami dingin, cahaya kebiruan masuk dari luar. Kami naik ke tempat tidur kami
dan mengucapkan Shema21, lalu v'ahavta22. V'ahavta adalah doa yang sama
yang tertulis di mezuzah, dan ketika
aku mengucapkan kata asher
sebuah ketakutakan hinggap
di diriku. Apakah Tuhan melihat apa yang
baru saja kami lakukan? Apakah kami bahkan sedang diadili sekarang, ketika kami berbaring di tempat tidur dalam kegelapan? Aku
sudah bangun cukup lama, melihat udara dingin menggerakkan tirai, mendengarkan deru rerumputan di luar, suara serangga malam. Setelah beberapa saat, aku mendengar ada perubahan ritme nafas dari tempat tidur sepupuku, dan gemeresik samar
di bawah selimut itu. Aku pura-pura tidur, mendengarkan suara logam beradu dari pegas tempat tidurnya. Sepertinya itu akan terjadi selama berjam-jam, terhubung dengan suara serangga di
luar, desah semak belukar, dan desir angin.
***
Keesokan paginya aku yang pertama bangun. Aku mengucapkan Shema dan mencuci tanganku di baskom
yang kami tinggalkan di meja di samping tempat tidur, membersihkan diriku begitu aku membuka mataku di pagi hari Shabbos
ini. Sepupuku di pinggir tempat tidur, kakinya yang panjang menggantung, selimutnya tertarik, dan baju tidur tersingkap di sekitar pahanya. Walaupun tubuhnya belum terkena sinar matahari sepanjang musim panas, kulitnya
berwarna zaitun gelap. Ada memar di lututnya seukuran telur, yang berubah ungu, yang aku tahu pasti dia dapatkan ketika kami menaiki tangga logam di rakit keluarga Perelman. Ketika tidur wajahnya lemas dan
memerah, bibirnya terbuka. Tidak pernah terpikir olehku bahwa sepupuku begitu cantik. Dengan rambut cokelatnya yang dipotong pendek dan pipinya yang penuh, dia selalu menatapku seperti
seorang anak yang tinggi dan kokoh. Tapi pagi
ini, ketika dia tidur, ada 'perempuan' di tubuhnya yang membuatku merasa begitu muda dan belum matang. Aku
berpakaian diam-diam supaya tidak membangunkannya, dan berjinjit ke dapur
untuk menemukan pamanku berdiri di teras yang bertirai, di
samping meja, melipat tallis23-nya ke dalam tas beludrunya supaya bisa masuk shul
untuk doa pagi hari. Sinar matahari masuk melalui tirai dan menutupinya dengan debu keemasan. Dia menghadap Yerusalem, kota
tempat dia dan Bibi Malka bertemu. Aku membuka pintu kasa dan melangkah ke
teras.
"Rebecca," katanya. "Selamat pagi, selamat Shabbos." Dia tersenyum, merapikan
janggutnya di antara kedua tangannya.
"Hai," kataku.
"Aku akan belajar Taurat sore ini. Setelah makan siang."
"Baik."
"Kau terlihat lelah," katanya. "Apakah kau tidur?"
"Aku tidur nyenyak."
Sejenak kami berdiri saling pandang, pamanku masih tersenyum. Sebelum aku
bisa menahan diriku, aku mengajukan pertanyaan yang tiba-tiba muncul di pikiranku. "Setelah seseorang mati," kataku, "apakah keluarganya harus memeriksa mezuzah-nya?"
Tangan pamanku jatuh dari janggutnya. Dia menatapku sedih, matanya terasa dalam
dan dipenuhi sinar matahari. "Ketika istri pertamaku, Bluma Sarah,
meninggal," katanya, "aku sudah memeriksa semuanya, mezuzah, tefillin24, dan ketubah25 kami. Sang rabi tidak menemukan apa-apa Akhirnya aku memintanya
untuk memeriksa jiwaku, mengira aku adalah pembawa ketidaksempurnaan. Apa kau tahu apa yang rabi katakan kepadaku?"
"Tidak," kataku sambil melihat kakiku, berharap aku tidak
bertanya.
"Dia berkata kepadaku, 'Kadang-kadang hal-hal buruk terjadi begitu
saja. Anda akan menemukan alasannya nanti. Atau Anda tidak akan menemukannya.
Apakah kita selalu tahu kenapa Hashem melakukan apa yang Dia lakukan? Nayn26.'"
"Oh."
"Kupikir Tuhan ingin aku bertemu dengan bibimu," kata Paman Shimon. "Mungkin Dia ingin aku bertemu denganmu juga." Dia melipat tasnya yang tinggi di
bawah lengannya dan melepas sepatunya. "Bluma Sarah selalu berkata: Der
gleichster veg iz ful mit sharder."
"Apa artinya?"
"Jalan yang paling mulus terkadang penuh dengan
batu," katanya.
***
Sepanjang hari aku mengikuti Shabbos. Itu berarti aku tidak menyalakan lampu atau merobek kertas atau menulis atau mandi atau memasak atau
menjahit atau melakukan seratus pekerjaan lain yang bisa dilakukan orang untuk membangun Kuil Suci. Sulit untuk mengingat
semua hal yang tidak boleh dilakukan; sambil duduk di rerumputan
tinggi, bermain duck-duck-goose27 dengan sepupu-sepupu kecilku, aku tergoda untuk mencabut ilalang dan membelahnya dari tulang seratnya, atau menenun rantai semanggi untuk salah satu anak-anak itu. Tapi ini Shabbos, di tempat yang sepi dan
suara para anggota keluarga di halaman mereka, dan aku mengingatnya sepanjang hari. Sepupuku menghabiskan sebagian
besar harinya sendirian. Kulihat dia sedang berdoa di
pekarangan yang diterangi cahaya matahari, bergoyang-goyang maju-mundur ketika membaca dari siddur28 kecilnya; lalu dia berbaring di rumput dan belajar Taurat. Ketika dia menghilang ke dalam rumah aku mengikutinya. Dia masuk ke dalam lemari lagi, pintu menempel ketat di tubuhnya. Aku
membayangkannya melakukan pertobatan pagi, mempelajari nama bagian-bagian tubuh baru, posisi-posisi baru. Ketika aku berbisik lewat pintu supaya dia keluar, dia menyuruhku pergi.
Sepanjang hari aku tidak diijinkan memakai telepon untuk menelepon ibuku.
Aku berjalan berkeliling dan mengelilingi halaman, menunggu matahari terbenam di cakrawala. Bibi Malka melihatku dari teras, tampak khawatir, lalu dia memanggilku.
"Kenapa kau mondar-mandir?" dia berkata.
"Aku mengikuti Shabbos," kataku.
"Kau bisa mengikutinya di
sini bersamaku," katanya, menepuk-nepuk undakan di sampingnya.
Aku duduk. Di depan kami anak-anak yang lebih tua mencoba untuk mengajari yang lebih muda cara mengendarai
mobil-mobilan. Mereka melaju dengan canggung melewati rerumputan yang tinggi.
"Ibumu terdengar
sudah lebih baik," katanya.
"Kau akan segera pulang."
"Mungkin," kataku.
"Ada perempuan yang kukenal yang tinggal di dekat rumahmu," katanya. "Aku akan memberikan nomor teleponnya. Dia dan beberapa perempuan lainnya mengadakan mikveh di dekat rumahmu, pada tanggal 22 dan 23."
"Apa itu mikveh?"
"Itu ritual pemandian," katanya. "Untuk membersihkan kita
secara rohani. Semua perempuan melakukannya. Laki-laki juga. Ibumu harus
melakukannya begitu dia keluar dari rumah sakit. Kau bisa pergi bersamanya, cuma
untuk menonton. Itu indah sekali. Kau akan melihatnya." Salah satu anak
kecil berlari dan melempar kerikil hitam halus ke pangkuan Bibi Malka, lalu
kabur, tertawa. "Kita diperintahkan untuk melakukannya setelah
melahirkan," katanya.
"Diperintah oleh siapa?"
"Oleh Hashem,"
katanya sambil memutar kerikil di jari-jarinya. Dari pusat batu itu membentang
semacam pita kuarsa tembus pandang.
"Bahkan kalau bayinya meninggal?" aku bertanya padanya.
"Apa kita harus mengikutinya kalau begitu?"
"Ya," katanya. "Terutama kalau seperti itu. Ini sangat
penting dan indah. Bak mandinya sangat bersih, dan dihiasi keramik merah muda.
Para perempuan akan membantu ibumu menanggalkan pakaiannya dan menyikat
rambutnya, supaya airnya bisa menyentuh setiap helainya. Lalu dia akan turun ke
bak mandi --ini sangat dalam, dan besar, seperti sebuah jacuzzi-- sampai dia benar-benar terbenam. Mereka akan
memberitahunya b'rachot apa yang
harus diucapkannya. Lalu dia akan bersih."
"Semua orang harus melakukan itu?" aku bertanya padanya.
"Kita diperintahkan untuk melakukannya," katanya. "Orang
dewasa, pokoknya. Buat perempuan, ini dilakukan setiap bulan kecuali kalau
sedang hamil. Waktu aku di sini aku melakukannya di danau. Ada seorang
perempuan yang punya gudang khusus yang dibangun di atas tanahnya, dan ke
sanalah kami masuk."
"Bagaimana kalau ibuku tidak mau melakukannya?" aku bertanya.
"Kalau kau mengatakan kepadanya betapa pentingnya hal itu, aku yakin
dia akan melakukannya," katanya, dan memberiku kerikil hitam itu. Aku
menggosoknya dengan jempolku, menelusuri kuarsanya.
Bibiku mengumpulkan sepupupu-sepupu kecilku untuk berjalan-jalan
menyusuri jalanan di danau, mengikat tali sepatu mereka dan merapikan rambut
mereka, memasang kippot29
mereka dengan klip logam. Aku membayangkan dia berjalan ke danau, rambut ikal
hitamnya terurai di belakangnya, dan kulitku berdetak dingin dalam panasnya.
Ketika dia mengajakku untuk ikut dalam perjalanan, kukatakan padanya bahwa aku
ingin tinggal di rumah. Aku berbaring di rumput dan melihatnya mulai menyusuri
jalan, sepupu-sepupu kecilku mengelilinginya seperti lebah madu.
Lebah betulan terbang di atas kepalaku dari rerumputan, tubuh mereka
begitu halus sehingga aku ingin menyentuh mereka. Untuk apa yang rasanya baru
pertama kalinya sepanjang musim panas, aku sendirian. Aku menggosok kerikil
dengan jempolku, membayangkannya menjadi batu ajaib yang akan membuatku semakin
kecil dan semakin kecil di rerumputan yang tinggi. Aku menyusut sampai sebesar
ular garter, sebesar sehelai daun, sebesar setitik debu, sampai aku hampir
tidak terlihat. Ada sesuatu yang berkumpul di sekelilingku, sebuah cahaya
warna-warni yang bisa kulihat dari bulu mataku yang kusut. Aku berbaring diam
di atas tanah, pingsan karena ketakutan, dan aku merasakan planet ini
berputar-putar di luar angkasa, momentumnya yang memusingkan kepala,
kecepatannya yang tidak terbendung. Tuhanlah yang membuat bayangan-bayangan itu
larut di sekitarku. Dia mempertajam aroma semanggi. Dia mendorong lebah
melewati telingaku, mengarahkan matahari ke punggungku sampai kulitku terbakar
di balik katun baju Shabbos-ku. Aku
ingin tahu apa yang Dia inginkan dan melakukan apa yang Dia inginkan, dan aku
membiarkan pikiranku kosong, menunggu untuk diberitahu.
***
Lalu tiga buah bintang muncul di langit, seluruh keluarga berkumpul untuk
melakukan Havdalah30. Kami
berdiri di sebuah lingkaran di rumput di luar, kami bersembilan, dan kami
menyalakan lilin yang berpilin dan bernyanyi untuk Tuhan, berterima kasih
kepada-Nya karena sudah menciptakan api, aish.
Sesuai tradisi, kami memeriksa kuku jari-jari kami dengan cahaya lilin itu,
untuk mengingatkan kami cara Tuhan membuat kami tumbuh. Lalu kami mencium
rempah-rempah dan minum anggur untuk minggu yang indah, dan akhirnya kami
menyanyikan lagu Eliyahu ha Navi31, sang nabi yang suatu saat nanti akan datang membawa sang Mesias. Aku
berdiri dengan satu tangan di dekat satu sepupu kecilku dan tangan yang lainnya
di dekat Esty. Ketika Havdalah
berakhir, dia berlari ke rumah, satu tangannya menyapu rerumputan yang tinggi.
Setelah Shabbos selesai, hal pertama yang kulakukan adalah menelepon ibuku. Berdiri di dapur, aku melihat bibi dan pamanku membawa
anak-anak pulang ketika aku memutar
nomor telepon. Untuk pertama kalinya,
terlintas dalam benakku bahwa sangat menyedihkan kalau ibuku selalu mendengar suara anak-anak di latar belakang setiap aku meneleponnya, dan aku ingin bertanya-tanya apakah
sebaiknya aku menunggu sampai mereka tidur. Tapi saat itu telepon berdering,
dan ayahku tetap menjawabnya.
"Hei, son32," katanya. Itu permainan kami: dia memanggilku son dan aku memanggilnya Pa, seperti jaman koboi. Ini adalah pertama kalinya kami melakukannya
sejak Devon Michael lahir, dan kedengarannya sungguh berbeda sekarang.
"Hai, Pa," kataku, memainkan permainannya juga, karena aku merindukannya.
"Masih di situ?"
"Masih."
"Bagaimana di sana?"
"Tidak buruk," kataku. "Bagaimana kabar
Ma?"
Dia mendesah. "Tidur."
"Sakit?" kataku
"Kupikir dia membutuhkanmu di rumah," katanya. "Dia tidak merasa sehat sekarang untuk
berbuat banyak, tapi aku berani bertaruh kalau dia melihat anaknya dia akan sembuh dengan cepat."
"Kapan aku bisa pulang?"
"Sepertinya beberapa minggu lagi," katanya. "Dia ada masalah sedikit. Tidak serius, tapi dokter berpikir dia mungkin memerlukan antibiotik IV sebentar lagi."
"Bibi Malka bilang dia harus ikut pemandian," kataku.
"Supaya bersih secara rohani."
Lalu ada keheningan di telepon ayahku, dan aku bertanya-tanya apakah aku mengatakan sesuatu yang salah.
Di latar belakang aku mendengar suara perempuan di interkom tapi aku tidak
mengerti apa yang dia katakan. "Kau masih di sana, Yah?" kataku.
"Aku ingin bicara dengan bibimu," katanya. "Kalau dia ada di situ."
Sesuatu di nada suaranya membuatku terdiam beberapa saat. Walaupun Bibi Malka hanya beberapa langkah dariku, bicara dengan tenang di teras
dengan Paman Shimon, kukatakan pada ayahku bahwa dia
sedang pergi keluar untuk mencari susu. Diam-diam aku berjanji pada diri
sendiri untuk bertobat karena kebohongan ini besok, waktu shacharit.
Aku bisa mendengar ayahku menggaruk kepalanya, tajam dan cepat, seperti
biasanya. "Kau katakan padanya untuk
meneleponku," katanya. "Bisa?"
"Baiklah," kataku. "Katakan pada ibu
aku mencintainya."
Dia bilang dia akan melakukannya.
Malam itu, sepupuku menghilang waktu makan malam. Kami semua makan
tomat dan keju cottage dan irisan
roti gandum dengan mentega kocok, makanan yang selalu kami makan setelah Shabbos, dan ketika mengambil roti lapis ketigaku aku melihat Esty
pergi.
"Ke mana sepupumu?" kata Bibi Malka. "Dia tidak menyentuh makanannya."
"Aku akan mencarinya," kataku. Aku pergi ke kamar dan membuka
pintu lemari, tapi lemari itu kosong. Buku itu hilang dari rak. Aku melirik ke
sekeliling ruangan, dan butuh beberapa saat untuk melihat sosok sepupuku di balik seprei.
"Esty," kataku. "Apa yang kau lakukan?"
Dia mengangkat kepalanya dan menatapku, pipinya memerah. Di tangannya dia memegang senter. "Membaca," bisiknya.
"Kau tidak bisa meninggalkan makan malam begitu saja," kataku.
"Aku ingin melihat sesuatu."
"Ibumu ingin tahu ada
masalah apa."
"Katakan padanya kalau aku sakit kepala," kata Esty. "Katakan
aku minum aspirin dan tidur."
"Kau mau aku berbohong?"
Dia mengangguk.
"Ini tidak sesuai dengan Sepuluh Perintah."
Esty memutar matanya. "Kayak kau tidak pernah berbohong,"
katanya.
"Mungkin tidak lagi."
"Malam ini kau harus," katanya, dan menarik seprai di atas
kepalanya, berguling ke dinding. Aku pergi ke meja makan dan duduk, mengisi irisan rye-ku dengan sepotong tomat.
"Nah," kata bibiku. "Ada apa?"
"Dia sedang membaca," kataku.
"Di tengah makan malam?"
"Tidak apa-apa," kata Paman Shimon. "Biarkan dia membaca. Kuharap yang ini juga mau membaca."
Dia meletakkan tangannya ke kepala anak-anaknya
sendiri.
"Aku membaca," kata salah satu gadis kecil itu. "Aku bisa
membaca semua aleph-bet33."
"Benar," kata ayahnya, dan memberinya sepotong roti lagi.
Aku menyelesaikan makan malamku, lalu semua bekas makan diserahkan kepadaku sementara Bibi Malka memandikan sepupu-sepupu tiriku dan menyiapkan mereka untuk tidur. Aku berdiri di sana sambil mencuci dan melihat ke halaman yang
gelap, tidak melihat apa-apa, marah kepada sepupuku dan mengkhawatirkannya. Aku
khawatir dengan ibuku juga yang
berbaring di rumah sakit dengan
antibiotik intravena yang menetes ke lengannya, yang najis secara rohani. Aku selalu
berasumsi bahwa kematian adik laki-lakiku dimaksudkan untuk menghukumku,
karena akulah yang pertama kali membayangkannya, tapi sekarang aku
bertanya-tanya apakah kami semua bersalah. Lagi pula, kami sudah berkeliling melakukan apa yang kami inginkan, berhari-hari, seolah-olah yang Tuhan inginkan sama sekali
tidak penting, seolah-olah Tuhan itu sekecil dan se-tidak-penting pernak-pernik di rak nenekku, angsa porselen dan pemerah susu yang kami temui ketika kami pergi ke rumahnya waktu High Holiday.
Sepenggal rasa takut bergerak menembus dadaku, dan untuk sesaat aku merasa gelap. Lalu, ketika aku melihat ke luar dari balik jendela, aku melihat sesosok putih bergerak melintasi halaman, hantu di kegelapan. Aku menatap melalui
tirai ketika sosok itu melayang ke arah jalan, dan ketika bertemu cahaya kuning lampu jalan, aku melihat bahwa itu adalah sepupuku.
Mengeringkan tanganku dengan handuk, aku berlari ke halaman. Esty jauh di kegelapan, tapi aku mengejarnya secepat mungkin melewati rumput basah. Ketika sampai di jalan, dia mendengarku datang dan
berbalik.
"Apa yang kau lakukan?" kataku sambil mencoba menarik
napas.
"Tidak ada," katanya, tapi dia menyembunyikan satu
tangannya di belakang punggungnya. Aku meraih tangan itu
tapi dia menariknya dariku. Kulihat dia memegang amplop putih.
"Apa itu?" kataku. "Kau mau pergi ke kantor pos di tengah malam?"
"Ini bukan tengah malam."
"Kau menyelinap keluar," kataku. "Kau tidak perlu menyelinap keluar cuma untuk mengirim surat."
"Masuklah ke dalam," kata Esty, sambil mendorongku ke arah
rumah.
"Tidak," kataku. "Aku tidak akan ke mana-mana, aku akan berteriak kepada ibumu kalau kau tidak memberi tahuku apa yang sedang kau lakukan."
"Kau pasti melakukannya," katanya, "iya kan?"
Aku membuka mulutku seolah ingin melakukannya.
"Ini catatan buta Dovid Frankel," katanya. "Kutulis di sini kalau dia mau bukunya kembali, dia harus menemuiku besok malam di rumah keluarga Perelman."
"Tapi kau tidak bisa," kataku. "Itu terlarang."
"Lalu?" kata sepupuku
"Dan kalau kau memberitahu siapa pun soal itu, kau akan kubunuh."
"Kau tidak bisa melakukan apapun kepadaku," kataku.
"Ya, aku bisa," katanya. "Aku bisa mengatakan kepada ibuku bahwa ini adalah bukumu, bahwa kau membawanya dari New York dan berusaha membuat
kami membacanya."
"Tapi dia akan tahu
kalau kau berbohong," kataku.
"Dovid akan memberitahu bahwa itu bohong."
"Tidak, dia tidak akan
berkata begitu."
Aku tahu dia benar, bahwa Dovid tidak akan pernah mengakui buku itu, bahwa pada akhirnya dia akan berpikir berapa kerugian buatnya, dibandingkan buatku. Jadi aku berdiri di sana di
jalan, tenggorokanku mengencang, merasa kembali begitu muda dan begitu bodoh. Esty meratakan surat itu di telapak tangannya dan menarik nafas dalam-dalam. "Sekarang
berbaliklah," katanya, "dan kembali ke rumah dan pura-pura tidur. Dan
ketika aku kembali, aku tidak mau melihatmu membaca bukuku."
"Bukumu?" kataku.
"Sekarang bukuku."
Aku berbalik dan berjalan kembali ke rumah, tapi ketika sampai di pintu kasa aku mengendap-endap.
Sepupu-sepupu kecilku sudah tidur. Ada garis terang di
bawah pintu kamar bibi dan pamanku, dan aku mendengar pamanku
membaca dalam bahasa Ibrani untuk Bibi Malka. Aku pergi ke kamar kami dan
mengganti baju tidurku dan duduk di ranjang dalam kegelapan, mencoba berdoa.
Mata Rabi Lubavitcher menatapku dari dinding, tua dan
galak, dan yang bisa kupikirkan hanyalah sepupuku yang berkata kau
pasti melakukannya, iya kan, dan matanya begitu galak. Aku menyikat gigiku dan naik ke tempat tidur, lalu mengucapkan Shema. Mengucapkannya sendirian untuk pertama kalinya, aku membayangkan diriku kembali ke rumah di
tempat tidurku sendiri, berbisik kepada Tuhan dalam kesunyian kamarku, dan
pikiran itu membuatku merasa sangat kesepian sehingga aku berguling dan
menangis. Tapi tidak lama kemudian aku mendengar Esty memanjat melalui jendela lalu bersiap-siap tidur, dan walaupun aku masih merasakan sengatan ancamannya, walaupun aku tahu dia sudah siap mengkhianatiku, kehadirannya adalah penghiburan
di dalam gelap.
***
Aku berusaha bangun keesokan paginya untuk
menemukan bahwa Esty sudah bangun dari tempat tidur. Dari dapur, aku bisa
mendengar suara denting sendok dari mangkuk sereal dan suara sepupu-sepupu tiriku yang ramai dan berisik. Suara Bibi Malka meningkahi suara mereka, mengumumkan bahwa hari ini kami semua akan memetik blueberry. Aku mendesah lega. Memetik blueberry adalah yang aku butuhkan. Aku mengucapkan Shema dan mencuci tanganku di baskom di samping tempat tidur.
Sepupuku sedang dalam suasana hati yang baik hari ini, poni pendeknya
ditarik masuk dengan dua jepitan biru, sebuah bandana merah di lehernya. Dia bernyanyi di mobil dalam perjalanan ke perkebunan blueberry, dan semua sepupu kecilku bernyanyi bersamanya. Bibiku memandang dengan hati senang. Awalnya aku hanya berpura-pura senang juga, tapi kemudian aku
merasa tidak lagi harus berpura-pura. Nyaman rasanya
mengayunkan ember plastik dan pelan-pelan turun
ke deretan semak blueberry,
merasakan berada di antara dedaunan buah berry yang disinari matahari. Sepupuku bertindak seolah-olah tidak ada apa-apa di antara kami tadi malam, seolah-olah kami tidak pernah bertengkar, seolah-olah dia tidak pernah pergi ke rumah
Dovid Frankel dalam kegelapan. Ketika embernya penuh dia membantuku mengisi emberku,
dan kami berdua memakan segenggam blueberry, mengotori kemeja, rok dan kulit kami.
Pulang ke rumah para sepupu mempelajari Taurat bersama Paman Shimon, sementara Bibi Malka dan Esty dan aku memanggang kue
blueberry. Esty terus melirik jam, seolah-olah dia siap berlari kapan saja untuk menemui Dovid. Ketika telepon berdering, dia tersentak, lalu melompat untuk mengangkatnya.
"Oh, Paman Alan," katanya. "Hai."
Paman Alan adalah ayahku. Aku berhenti mengaduk adonan dan berusaha mengambil telepon dari sepupuku, tapi dia sudah memberikannya kepada Bibi Malka.
"Halo, Alan," kata Bibi Malka. Aku melihat wajahnya menunggu kabar buruk, tapi sepertinya tidak ada yang datang. "Ya,"
katanya. "Ya, tentu saja. Sambil memegangi telepon di antara pipi dan
bahunya, dia berjalan keluar dari dapur dan masuk ke kamar tidur gadis kecil
itu, lalu menutup pintu di belakangnya.
"Apa yang terjadi?" kata Esty.
"Aku tidak tahu," kataku. Aku menuang adonan ke panci yang ditaburi tepung oleh Esty, lalu kami memasukkannya ke dalam
oven. Dari balik dinding aku bisa mendengar suara Bibi Malka naik-turun. "Kurasa itu ada hubungannya dengan mikveh," kataku. "Kukatakan pada ayahku kemarin bahwa
ibuku harus mengikutinya, dan reaksinya aneh."
"Dia memang harus ikut," kata sepupuku. "Kau harus ikut mikveh setelah melahirkan atau menstruasi.
Suamimu tidak boleh menyentuhmu sampai kau melakukannya."
"Ibumu sudah memberitahuku soal itu," kataku.
"Ada ratusan peraturan," katanya sambil mendesah. "Hal-hal
yang harus kita lakukan dan tidak seharusnya kita lakukan. Mungkin kau akan belajar soal itu kalau kau sudah lebih besar."
"Aturan apa?" kataku "Aku sudah cukup besar."
"Aku tidak bisa mengatakannya di dapur."
"Ya, kau bisa. Apa peraturannya? Apa yang harus kau lakukan?"
Sepupuku membungkuk ke dekat telingaku. "Kau tidak boleh melakukannya sambil duduk atau
berdiri," katanya. "Kau tidak boleh melakukannya di luar. Kau tidak boleh melakukannya sambil mabuk. Kau tidak boleh melakukannya di siang hari atau dengan lampu
menyala. Kau harus memikirkan ajaran Taurat ketika kau melakukannya. Hal-hal seperti itu, "katanya.
"Kau harus memikirkan ajaran Taurat?"
***
Esty mengangkat bahunya. "Itu kata mereka."
Dari balik dinding, kami mendengar suara
Bibi Malka mendekat, dan sepupuku menjauh dariku dan mulai membersihkan tepung dan gula dari meja dapur. Bibi Malka
keluar dari kamar, wajahnya memerah, alisnya mengernyit. Dia sudah menutup telepon.
"Bagaimana kabar ibuku?" aku bertanya kepadanya.
"Mulai sembuh," katanya, mengumpulkan cangkir dan mangkuk adonan.
"Apa aku dalam masalah?"
"Tidak." Dia membuang air panas ke wastafel dan menggosokkan sabun ke
dalam spons cuci piring, lalu mulai menggosok mangkuk. Dia terlihat seolah-olah dia yang baru dihukum, mulutnya ditarik ke garis cemberut. "Kau harus melakukan apa yang menurutmu benar, Rebecca," katanya, "bahkan ketika orang-orang di sekitarmu melakukan hal yang sebaliknya."
"Baik," kataku.
"Itu bukan masalah sekarang," katanya, "tapi kalau kau pulang, mungkin itu akan jadi masalah."
Aku melirik Esty. Dia menatap ibunya dengan seksama. "Kau benar-benar mengatakan itu?"
katanya. "Tentang melakukan apa yang menurutmu benar?"
"Tentu saja," kata ibunya. "Aku selalu
memberitahumu."
Esty mengangguk, dan Bibi Malka terus mencuci piring, tidak sadar apa
yang baru saja dikatakannya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Shabbos: hari Sabat, hari
libur Yahudi yang jatuh pada hari Sabtu.
2 High holiday: peringatan Rosh Hashanah (tahun baru Yahudi) dan Yom Kippur (hari penebusan dosa Yahudi).
3 Kosher: halal menurut orang
Yahudi, berdasarkan peraturan yang disebut kashrut.
4 B'rachot: doa Yahudi.
5 Challah: roti khas Yahudi
untuk perayaan-perayaan tertentu.
6 Palazzo: bangunan atau rumah
yang besar di Italia.
7 Lubavitcher: dikenal juga
sebagai Chabad, salah satu aliran
dari sekte Yahudi Ortodoks, Hasidik.
8 Menachem Schneerson: Menachem Mendel Schneerson (1902-1994); rabi
Yahudi Ortodoks asal Rusia kelahiran Amerika, salah satu tokoh Yahudi
berpengaruh di abad ke-20.
9 Kugel: semacam puding
panggang yang teruat dari mi telur atau kentang, seringkali disajikan pada hari
Sabat atau perayaan Yom Tov (hari-hari
libur Yahudi).
10 Cobbler: semacam pie dengan
isian buah-buahan lalu ditutupi mentega, biscuit, dan lain sebagainya sebelum
dipanggang.
11 Shul: sinagoga.
12 Bo'i kallah: datanglah mempelaiku (Yahudi); diucapkan untuk menyambut hari Sabat.
13 Shalom Aleichem: lagu
tradisional Yahudi yang dinyanyikan setipa Jumat malam setelah kembali dari
beribadah di sinagoga untuk menandai datangnya hari Sabat; secara harfiah
berarti 'semoga damai bersamamu.'
14 Yarmulke: topi khas Yahudi.
15 Birkat HaMazon: doa setelah
makan.
16 Mezuzah: tulisan ayat Ibrani
tertentu dari Taurat yang digantungkan di kusen pintu.
17 Asher: bahagia (Yahudi).
18 Hashem: Tuhan (Yahudi).
19 Bola ben wa: bola sebesar
kelereng yang digunakan untuk memberikan rangsangan seksual dengan cara
dimasukkan ke dalam vagina.
20 Shacharit: doa pagi Yahudi.
21 Shema: "Dengarlah, O
Israel"; dua kata pertama dari potongan Taurat.
22 V'ahavta: "Kau akan
mencintai Tuhan"; bait yang mengikuti shema.
23 Tallis: syal orang Yahudi
yang dipakai untuk beribadah.
24 Tefillin: sepasang kotak
kulit hitam berisi gulungan perkamen dengan tulisan ayat Taurat di dalamnya;
dipakai oleh laki-laki Yahudi ketika melakukan doa pagi.
25 Ketubah:surat perjanjian
pra-nikah Yahudi.
26 Nayn: tidak (Yahudi).
27 Duck-duck-goose: permainan
anak-anak dengan salah satu pemain berjalan mengelilingi lingkaran lalu memilih
pemain lain yang akan mengejarnya.
28 Siddur: buku doa Yahudi.
29 Kippot: topi khas Yahudi, yarmulke.
30 Havdalah: ritual yang
menandai berakhirnya hari Sabat atau perayaan Yahudi lainnya.
31 Eliyahu ha Navi: lagu
tradisional Yahudi tentang Nabi Elia.
32 Son: anak laki-laki (Inggris).
33 Aleph-bet: alfabet Yahudi.

Comments
Post a Comment