Sang Putri (The Princess ~ Anton Chekhov)

Sang Putri (The Princess ~ Anton Chekhov)

Sebuah kereta kuda dengan empat ekor kuda ramping dan gagah memasuki gerbang besar yang disebut Gerbang Merah Biara N. Sementara masih agak jauh, para pendeta dan biarawan yang berdiri berkelompok di sekitar bagian penginapan yang diperuntukkan bagi para bangsawan, mengenali dari kusir dan kuda-kudanya bahwa perempuan di dalam kereta itu adalah Putri Vera Gavrilovna, yang sangat mereka kenal.

Seorang laki-laki tua berseragam melompat dari kereta kuda dan membantu sang putri keluar dari kereta. Dia mengangkat kerudung gelapnya dan berjalan santai mendekati para pendeta untuk menerima berkat mereka; lalu dia mengangguk ramah kepada para biarawan lainnya dan masuk ke dalam asrama.

"Apakah kau merindukan tuan putrimu?" tanyanya kepada biarawan yang membawakan barang-barangnya. "Sudah sebulan penuh sejak terakhir kali aku mengunjungimu. Tapi di sinilah aku; lihatlah tuan putrimu. Dan di mana Pastor Kepala? Ya ampun, aku terbakar oleh rasa tidak sabar! Hebat, hebat sekali, pak tua! Kau pasti bangga memiliki seorang kepala seperti dia."

Ketika Pastor Kepala datang, sang putri menjerit kegirangan, menyilangkan tangannya di dada, dan maju untuk menerima berkatnya.

"Tidak, tidak, biarkan aku mencium tanganmu," katanya, meraihnya dan menciumnya tiga kali dengan penuh semangat. "Betapa senangnya aku akhirnya bertemu denganmu, Bapa Suci! Aku yakin kau sudah melupakan tuan putrimu, tapi pikiranku selalu tertuju pada biaramu yang terkasih. Betapa menyenangkannya berada di sini! Hidup bagi Tuhan, jauh dari dunia yang sibuk dan penuh keserakahan, memiliki pesona tersendiri, Bapa Suci, yang kurasakan dengan segenap jiwaku meskipun tidak bisa kuungkapkan!"

Pipi sang putri berseri-seri dan air mata menggenang di matanya. Dia berbicara tanpa henti, penuh semangat, sementara Pastor Kepala, seorang laki-laki tua berusia tujuh puluh yang muram, polos, dan pemalu, tetap bisu lalu tiba-tiba mengucapkan, seperti seorang prajurit yang sedang bertugas, frasa-frasa seperti, "Tentu saja, Yang Mulia. Benar sekali. Saya mengerti."

"Apakah Yang Mulia datang untuk tinggal lama?" tanyanya.

"Aku akan menginap di sini malam ini, dan besok aku akan pergi ke rumah Klavdia Nikolaevna —sudah lama aku tidak bertemu dengannya— lalu lusa aku akan kembali kepada Anda dan tinggal tiga atau empat hari. Aku ingin mengistirahatkan jiwaku di sini, di tengah-tengah Anda, Bapa Suci..."

Sang putri senang berada di biara di N. Selama dua tahun terakhir, biara itu menjadi tempat peristirahatan favoritnya; dia pergi ke sana hampir setiap bulan di musim panas dan tinggal dua atau tiga hari, bahkan terkadang seminggu. Para novis1 yang pemalu, keheningan, langit-langit yang rendah, aroma cemara, makanan yang sederhana, tirai murah di jendela —semua itu menyentuhnya, melembutkannya, dan membawanya pada perenungan dan pikiran-pikiran positif. Cukup baginya untuk tinggal setengah jam di wisma untuk merasa bahwa dia juga pemalu dan rendah hati, dan bahwa dia juga berbau kayu cemara. Masa lalu surut ke latar belakang, kehilangan maknanya, dan sang putri mulai membayangkan bahwa meskipun usianya dua puluh sembilan, dia sangat mirip dengan Pastor Kepala tua, dan bahwa, seperti sang pastor, dia diciptakan bukan untuk kekayaan, bukan untuk kemegahan dan cinta duniawi, melainkan untuk kehidupan damai yang terpencil dari dunia, kehidupan di senja hari seperti wisma.

Kadang-kadang seberkas cahaya bersinar di sel gelap sang biarawan yang khusyuk berdoa, atau seekor burung hinggap di jendela dan berkicau; sang biarawan yang keras hati akan tersenyum, dan sukacita yang lembut dan tanpa dosa akan menembus beban duka atas dosa-dosanya, bagai air yang mengalir dari bawah batu. Sang putri membayangkan dirinya membawa penghiburan dari dunia luar, persis seperti sinar cahaya atau burung itu. Senyumnya yang riang dan ramah, matanya yang lembut, suaranya, candaannya, bahkan seluruh kepribadiannya, sosok mungilnya yang anggun yang selalu berpakaian hitam sederhana, pasti membangkitkan perasaan kelembutan dan kegembiraan dalam diri orang-orang yang sederhana dan teguh. Setiap orang, yang memandangnya, pasti berpikir: "Tuhan sudah mengirimkan malaikat untuk kita." Dan merasa tidak seorang pun bisa menahan diri untuk tidak memikirkan hal itu, dia tersenyum lebih ramah lagi, dan mencoba terlihat seperti seekor burung.

Sesudah minum teh dan beristirahat, dia berjalan-jalan. Matahari sudah terbenam. Dari taman biara tercium aroma lembap tanaman mignonette2 yang baru disiram, dan dari gereja terdengar nyanyian lembut para laki-laki, yang terdengar sangat menyenangkan sekaligus sendu di kejauhan. Itu adalah kebaktian malam. Di jendela-jendela gelap tempat lampu-lampu kecil bersinar lembut, dalam bayangan, dalam sosok biarawan tua yang duduk di pintu gereja dengan kotak sumbangan, terdapat kedamaian yang begitu tenang sehingga sang putri begitu terharu hingga menitikkan air mata.

Di luar gerbang, di jalan setapak di antara tembok dan pohon-pohon birch tempat bangku-bangku berdiri, hari sudah malam. Udara semakin gelap dengan cepat. Sang putri menyusuri jalan setapak, duduk di sebuah kursi, dan tenggelam dalam pikirannya.

Dia membayangkan betapa nikmatnya menetap seumur hidup di biara ini, tempat kehidupan setenang dan sedamai senja musim panas; betapa nikmatnya melupakan pangeran yang tidak tahu berterima kasih dan boros; melupakan hartanya yang melimpah, para ahli keuangannya yang mengkhawatirkannya setiap hari, kerugiannya, pelayannya Dasha, yang menatapnya dengan tidak sopan pagi itu. Akan menyenangkan duduk di bangku ini seumur hidupnya, mengamati kabut senja yang berkumpul di lembah di bawah melalui batang-batang pohon birch; burung gagak terbang pulang dalam awan hitam bagai selubung, jauh di atas hutan; dua orang novis, satu menunggang kuda belang, satu lagi berjalan kaki, menggiring kuda-kuda itu keluar malam dan bersukacita atas kebebasan mereka, bermain-main seperti anak kecil; suara-suara muda mereka bergema merdu di udara yang tenang, dan dia bisa menangkap setiap kata. Sangat nyaman rasanya duduk dan mendengarkan keheningan: di satu saat angin bertiup dan menggerakkan pucuk-pucuk pohon birch, lalu seekor katak berdesir di dedaunan tahun lalu, lalu jam di menara lonceng berdentang menandai seperempat jam. Orang bisa duduk tanpa bergerak, mendengarkan dan merenung, dan merenung.

Seorang perempuan tua lewat dengan dompet di punggungnya. Sang putri berpikir akan baik untuk menghentikan perempuan tua itu dan mengatakan sesuatu yang ramah dan baik kepadanya, untuk membantunya. Tapi perempuan tua itu berbelok di tikungan tanpa menoleh sedikit pun.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki jangkung berjanggut abu-abu dan bertopi jerami berjalan di sepanjang jalan setapak. Ketika dia menghampiri sang putri, dia melepas topinya dan membungkuk. Dari botak di kepalanya dan hidungnya yang mancung dan bengkok, sang putri mengenalinya sebagai sang dokter, Mihail Ivanovitch, yang pernah bekerja untuknya di Dubovki. Dia ingat seseorang pernah bercerita bahwa istrinya sudah meninggal setahun sebelumnya, dan dia ingin bersimpati dan menghiburnya.

"Dokter, aku rasa kau tidak mengenaliku?" katanya sambil tersenyum ramah.

"Ya, Putri, saya mengenali Anda," kata dokter itu sambil melepas topinya lagi.

"Oh, terima kasih; aku khawatir kau juga lupa pada tuan putrimu. Orang-orang hanya mengingat musuh mereka, tapi mereka melupakan teman-teman mereka. Apakah kau juga datang untuk berdoa?"

"Saya dokter di sini, dan saya harus bermalam di biara setiap Sabtu."

"Baiklah, apa kabarmu?" tanya sang putri sambil mendesah. "Kudengar kau kehilangan istrimu. Sungguh malang!"

"Ya, Tuan Putri, bagi saya itu adalah musibah besar."

"Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan itu! Kita harus menanggung kemalangan kita dengan pasrah. Tidak sehelai rambut pun dari kepala manusia akan gugur tanpa kehendak Tuhan."

"Ya, Tuan Putri."

Menanggapi senyum ramah dan lembut sang putri serta desahannya, sang dokter menjawab dengan dingin dan datar, "Ya, Tuan Putri." Dan ekspresi wajahnya pun dingin dan datar.

"Apa lagi yang bisa kukatakan kepadanya?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Sudah lama sekali sejak kita bertemu!" katanya. "Lima tahun! Betapa banyak air yang sudah mengalir di bawah jembatan, betapa banyak perubahan yang sudah terjadi selama itu; sungguh menakutkan membayangkannya! Kau tahu, aku sudah menikah. Aku bukan seorang countess3 sekarang, melainkan seorang putri. Dan aku juga sudah berpisah dari suamiku."

"Ya, saya mendengarnya."

Tuhan sudah mengirimkan banyak cobaan kepadaku. Tentu saja kalian juga sudah mendengar bahwa aku hampir hancur. Dubovki, Sofyino, dan Kiryakovo milikku semua sudah dijual untuk melunasi utang suamiku yang malang. Dan aku tinggal punya Baranovo dan Mihaltsevo yang tersisa. Sungguh mengerikan untuk melihat ke belakang: betapa banyak perubahan dan kemalangan yang sudah kualami, betapa banyak kesalahan yang sudah kulakukan!"

"Ya, Tuan Putri, banyak kesalahan."

Sang putri sedikit bingung. Dia tahu kesalahannya; semua itu bersifat sangat pribadi sehingga tidak seorang pun kecuali dirinya yang bisa memikirkan atau membicarakannya. Dia tidak kuasa menahan diri untuk bertanya, "Kesalahan apa yang ada di pikiranmu?"

"Anda menyebut itu semua, jadi Anda tahu kalau itu semuanya..." jawab dokter itu, dan dia tersenyum. "Buat apa membahas hal itu lagi!"

"Tidak; katakan saja, Dokter. Aku akan sangat berterima kasih. Dan tolong jangan berbasa-basi denganku. Aku senang mendengar kebenarannya."

"Saya bukan hakim bagi Anda, Tuan Putri."

"Bukan hakim buatku! Nada bicaramu itu! Kau pasti tahu sesuatu tentangku. Katakan padaku!"

"Kalau Anda sungguh-sungguh menginginkannya, baiklah. Hanya saja, sayangnya saya kurang pandai bicara, dan orang-orang tidak selalu bisa memahami saya."

Dokter itu berpikir sejenak dan memulai, “Banyak kesalahan; tapi yang terutama, menurut saya, adalah semangat yang mendominasi semua orang di rumah Anda. Begini, saya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Maksud saya terutama kurangnya kasih sayang, rasa benci terhadap orang lain yang terasa dalam segala hal. Seluruh sistem kehidupan Anda dibangun di atas rasa benci itu. Rasa benci terhadap suara manusia, wajah, kepala, langkah kaki, bahkan, terhadap segala sesuatu yang membentuk manusia. Di semua pintu dan di tangga berdiri para pelayan laki-laki yang rapi, kasar, dan malas berpakaian seragam untuk mencegah orang berpakaian buruk memasuki rumah; di aula terdapat kursi-kursi dengan sandaran tinggi agar para pelayan laki-laki yang menunggu di sana, selama pesta dansa dan resepsi, tidak mengotori dinding dengan kepala mereka; di setiap ruangan terdapat karpet tebal agar tidak terdengar langkah kaki manusia; setiap orang yang masuk selalu diperingatkan untuk berbicara selembut dan sesedikit mungkin, dan tidak mengatakan apa pun yang mungkin membangkitkan kemarahan atau imajinasi. Dan di kamar Anda sendiri, Anda tidak boleh berjabat tangan dengan siapa pun atau minta dia untuk duduk --sama seperti Anda tidak berjabat tangan dengan saya atau meminta saya untuk duduk."

"Silakan saja, kalau kau mau," kata sang putri sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Dasar, marah hanya karena hal sepele seperti itu..."

"Tapi saya tidak marah," tawa sang dokter, tapi seketika wajahnya memerah, melepas topinya, dan sambil melambaikannya, dia mulai dengan berapi-api, "Sejujurnya, sya sudah lama ingin punya kesempatan untuk menceritakan semua yang saya pikirkan. Maksud saya, saya ingin memberitahu Anda bahwa Anda memandang kumpulan manusia dari sudut pandang Napoleon sebagai makanan bagi meriam. Tapi Napoleon setidaknya punya sedikit gambaran; Anda tidak punya apa-apa selain rasa jijik."

"Aku punya rasa benci pada orang?" sang putri tersenyum, mengangkat bahunya dengan heran. "Memang!"

"Ya, Anda! Anda ingin fakta? Tentu saja. Di Mihaltsevo, tiga orang mantan juru masak Anda, yang menjadi buta di dapur Anda karena panasnya tungku, hidup dari belas kasihan. Semua kesehatan, kekuatan, dan kecantikan yang ada di ratusan ribu hektar tanah Anda direnggut oleh Anda dan parasit-parasit Anda untuk para pelayan, kusir, dan pengawal Anda. Semua ternak berkaki dua itu dilatih menjadi pesuruh, makan berlebihan, menjadi kasar, kehilangan 'citra dan rupa' manusia. Dokter muda, ahli pertanian, guru, pekerja intelektual pada umumnya —bayangkanlah!— direnggut dari pekerjaan jujur mereka dan dipaksa demi sepotong roti untuk ikut serta dalam segala macam sandiwara yang membuat setiap orang terhormat merasa malu! Beberapa pemuda tidak bisa melayani Anda selama tiga tahun tanpa menjadi munafik, penjilat, dan penipu. Apakah itu hal yang baik? Para pengawas Polandia Anda, mata-mata hina itu, semua Kazimer dan Kaetan4 itu, pergi berburu di ratusan ribu hektar tanah Anda dari pagi hingga malam, dan demi menyenangkan Anda, mereka menguliti tiga lapis kulit seekor lembu. Maaf, saya bicara tanpa konteks, tapi itu tidak penting. Anda tidak memandang rakyat jelata sebagai manusia. Bahkan para pangeran, bangsawan, dan uskup yang biasa datang menemui Anda, Anda anggap hanya sebagai hiasan, bukan sebagai makhluk hidup. Tapi yang terburuk, yang paling membuat saya muak, adalah memiliki kekayaan lebih dari satu juta dan tidak berbuat apa-apa untuk orang lain, tidak berbuat apa-apa!"

Sang putri duduk terperangah, terperanjat, tersinggung, tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap. Dia belum pernah diperlakukan dengan nada seperti itu sebelumnya. Suara sang dokter yang tidak menyenangkan dan marah, serta kalimat-kalimatnya yang canggung dan terbata-bata, menimbulkan bunyi gemerincing yang keras di telinga dan kepalanya. Kemudian dia mulai merasa seolah-olah dokter yang menggerakkan tangannya itu sedang memukul kepalanya dengan topinya.

"Itu tidak benar!" serunya lirih, dengan nada memohon. "Aku sudah berbuat banyak kebaikan untuk orang lain; kau juga tahu!"

"Omong kosong!" teriak sang dokter. "Apakah Anda menganggap bahwa pekerjaan filantropis Anda sebagai sesuatu yang tulus dan bermanfaat, dan bukan sekadar sandiwara belaka? Itu lelucon dari awal hingga akhir; itu seperti bermain-main dengan mengasihi sesama, lelucon paling terbuka yang bahkan anak-anak dan perempuan petani bodoh pun bisa melihatnya! Ambil contoh —apa namanya?— rumah untuk perempuan tua tunawisma yang sebatang kara, di mana Anda menjadikan saya semacam dokter kepala, dan Anda sebagai pelindungnya. Kasihanilah kami! Betapa menawannya lembaga itu! Sebuah rumah dibangun dengan lantai parket dan penunjuk arah angin di atapnya; selusin perempuan tua dikumpulkan dari desa-desa dan ditidurkan di bawah selimut dan seprai linen Belanda, dan diberi permen toffee5 untuk dimakan."

Dokter itu tertawa jahat di balik topinya, dan terus berbicara dengan cepat dan tergagap, "Itu adalah lelucon! Para pelayan mengunci rapat-rapat seprai dan selimut, karena takut dikotori oleh para perempuan tua —'Biarkan saja tempat merica tua itu tidur di lantai.'" Para perempuan tua itu tidak berani duduk di tempat tidur, mengenakan jaket, atau berjalan di lantai yang dipoles. Semuanya disimpan untuk dipamerkan dan disembunyikan dari para perempuan tua itu seolah-olah mereka pencuri, dan para perempuan tua itu diberi pakaian dan makanan secara diam-diam berkat belas kasihan orang lain, dan berdoa kepada Tuhan siang dan malam agar dibebaskan dari penjara mereka dan dari desakan para bajingan licik yang kepadanya Anda percayakan mereka. Dan apa yang dilakukan para pengelola tempat itu? Sungguh menawan! Sekitar dua kali seminggu akan ada tiga puluh lima ribu pesan yang mengatakan bahwa sang putri —yaitu, Anda— akan datang ke rumah itu keesokan harinya. Itu berarti keesokan harinya saya harus meninggalkan pasien-pasien saya, berdandan, dan berparade. Bagus sekali; saya datang. Para perempuan tua itu, dengan segala sesuatu yang bersih dan baru, sudah berbaris rapi, menunggu. Di dekat mereka berjalan si tikus garnisun tua —sang pengawas dengan senyum liciknya yang cengeng. Para perempuan tua itu menguap dan bertukar pandang, tapi takut untuk mengeluh. Kami menunggu. Pelayan junior berlari kencang. Setengah jam kemudian, pelayan senior; lalu kepala kantor akuntansi, lalu satu lagi, lalu satu lagi... mereka terus berdatangan tanpa henti. Mereka semua memiliki wajah misterius dan khidmat. Kami menunggu dan menunggu, bergeser dari satu kaki ke kaki lainnya, melihat jam —semua itu dalam keheningan yang monumental karena kami semua saling membenci seperti racun. Satu jam berlalu, lalu sedetik kemudian, dan akhirnya kereta terlihat di kejauhan, dan... dan..."

Dokter itu tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara melengking, "Anda keluar dari kereta, dan para nenek sihir tua itu, atas perintah dari tikus garnisun tua, mulai melantunkan: 'Kemuliaan Tuhan kita di Sion tidak terlukiskan oleh lidah manusia6....' Pemandangan yang indah, bukan?"

Dokter itu tertawa kecil, lalu melambaikan tangannya seolah-olah menandakan dia tidak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun karena tertawa. Dia tertawa terbahak-bahak, kasar, dengan gigi terkatup, seperti orang-orang yang tertawa jahat; dan dari suaranya, dari wajahnya, dari matanya yang berkilauan dan agak kurang ajar, terlihat bahwa dia sangat membenci sang putri, untuk rumah itu, dan para perempuan tua itu. Tidak ada yang lucu atau menggelikan dalam semua yang dia gambarkan dengan begitu canggung dan kasar, tapi dia tertawa puas, bahkan dengan gembira.

"Dan sekolahnya?" lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak. "Ingatkah Anda bagaimana Anda ingin mengajar anak-anak petani sendiri? Anda pasti sudah mengajar mereka dengan sangat baik, karena tidak lama kemudian semua anak itu lari, sehingga mereka harus dipukuli dan dirayu supaya mau datang dan diajar. Dan Anda ingat bagaimana Anda ingin memberi makan bayi-bayi yang ibunya bekerja di ladang dengan tangan Anda sendiri. Anda berkeliling desa sambil menangis karena bayi-bayi itu tidak ada untuk Anda, karena para ibu-ibu membawa mereka ke ladang bersama mereka. Kemudian mandor desa memerintahkan para ibu secara bergantian untuk meninggalkan bayi-bayi mereka demi hiburan Anda. Aneh! Mereka semua lari dari kebaikan Anda seperti tikus lari dari kucing! Dan mengapa begitu? Sederhana saja. Bukan karena orang-orang kita bodoh dan tidak tahu berterima kasih, seperti yang selalu Anda katakan kepada diri Anda sendiri, tapi karena dalam semua keisengan Anda, kalau Anda kau mau memaafkan kata itu, tidak ada sedikit pun cinta dan kebaikan! Yang ada hanyalah keinginan untuk menghibur diri dengan boneka hidup, tidak ada yang lain. Seseorang yang tidak bisa merasakan perbedaan antara manusia dan anjing peliharaan seharusnya tidak berfilantropi." 

"Saya beritahu Anda, ada perbedaan yang sangat jauh antara manusia dan anjing peliharaan!”

Jantung sang putri berdebar kencang; telinganya berdenging, dan dia masih merasa seolah-olah sang dokter memukul kepalanya dengan topinya. Sang dokter berbicara dengan cepat, bersemangat, dan kasar, tergagap dan menggerakkan tangan dengan tidak perlu. Yang dia pahami hanyalah bahwa dia diajak bicara oleh seorang laki-laki yang kasar, tidak beradab, pendendam, dan tidak tahu berterima kasih; tapi apa yang diinginkannya darinya dan apa yang dibicarakannya, dia tidak bisa mengerti.

"Pergi!" katanya dengan suara berlinang air mata, sambil mengangkat tangannya untuk melindungi kepalanya dari topi sang dokter; "Pergi!"

"Dan bagaimana Anda memperlakukan para pelayan Anda!" lanjut sang dokter dengan nada kesal. "Anda memperlakukan mereka seperti bajingan hina, dan tidak menganggap mereka manusia. Misalnya, izinkan saya bertanya, mengapa Anda memecat saya? Selama sepuluh tahun saya bekerja untuk ayah Anda dan sesudah itu untuk Anda, jujur saja, tanpa cuti atau hari libur. Saya mendapatkan cinta dari semua orang sejauh lebih dari tujuh puluh mil, dan tiba-tiba di suatu hari yang cerah saya diberi tahu bahwa saya tidak lagi dibutuhkan. Karena apa? Saya tidak tahu sampai hari ini. Saya, seorang dokter, seorang laki-laki sejati, seorang mahasiswa Universitas Moskow, kepala sebuah keluarga —adalah serangga yang begitu kecil dan tidak berarti sehingga Anda bisa mengusir saya tanpa menjelaskan alasannya! Mengapa Anda harus bersopan-sopan kepada saya ? Saya mendengar kemudian bahwa istri saya pergi tanpa sepengetahuan saya tiga kali untuk memohon kepada Anda untuk membela saya —Anda tidak mau menerimanya. Saya diberitahu dia menangis di aula Anda. Dan saya tidak akan pernah memaafkan Anda untuk itu, tidak akan pernah!"

Dokter itu berhenti sejenak dan menggertakkan giginya, berusaha keras memikirkan sesuatu untuk dikatakan, sangat tidak menyenangkan dan penuh dendam. Dia memikirkan sesuatu, dan wajahnya yang dingin dan cemberut tiba-tiba menjadi cerah.

"Ambil contoh sikap Anda terhadap biara ini!" katanya dengan penuh semangat. "Anda tidak pernah menahan diri kepada siapa pun, dan semakin suci tempat itu, semakin besar kemungkinan tempat itu menderita karena kebaikan hati Anda yang penuh kasih dan manisnya sikap seperti malaikat Anda. Mengapa Anda datang ke sini? Apa urusan Anda dengan para biarawan di sini, izinkan saya bertanya? Apa arti Hecuba7 bagi Anda atau Anda bagi Hecuba? Itu lelucon yang lain, hiburan lain bagi Anda, penistaan lain terhadap martabat manusia, dan tidak lebih. Anda tidak percaya pada Tuhan para biarawan; Anda memiliki Tuhan sendiri di dalam hati Anda, yang Anda kembangkan sendiri dalam pemanggilan arwah spiritualis. Anda memandang rendah ritual Gereja; Anda tidak pergi ke misa atau kebaktian malam; Anda tidur sampai tengah hari. Mengapa Anda datang ke sini? Anda datang dengan Tuhan Anda sendiri ke biara yang tidak ada hubungannya dengan Anda, dan Anda membayangkan bahwa para biarawan menganggapnya sebagai kehormatan yang sangat besar. Tentu saja mereka menganggapnya begitu! Sebaiknya Anda tanyakan, omong-omong, berapa biaya kunjungan Anda ke biara ini. Anda dengan riang tiba di sini malam ini, dan seorang utusan dari kediaman Anda datang dengan menunggang kuda dua hari yang lalu untuk memberi tahu mereka tentang kedatangan Anda. Mereka seharian kemarin menyiapkan kamar-kamar dan menunggu kedatangan Anda. Pagi ini, pengawal Anda tiba —seorang pelayan yang kurang ajar, yang terus berlari melintasi halaman, menggoyangkan roknya, mengganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan, memberi perintah. Saya tidak tahan! Para biarawan sudah berjaga-jaga sepanjang hari, karena kalau Anda tidak disambut dengan hormat, akan terjadi masalah! Anda akan mengeluh kepada uskup! 'Para biarawan tidak menyukai saya, Yang Mulia; saya tidak tahu apa yang sudah saya lakukan yang membuat mereka tidak senang. Memang benar saya seorang pendosa besar, tapi saya sangat tidak bahagia!' Sudah ada satu biara yang bermasalah dengan Anda. Pastor Kepala itu orang yang sibuk dan terpelajar; dia tidak punya waktu luang, dan Anda terus memanggilnya ke kamar Anda. Tidak ada sedikit pun rasa hormat terhadap usia atau pangkat! Seandainya Anda seorang dermawan bagi biara, orang-orang tidak akan begitu membencinya, tapi selama ini para biarawan belum menerima seratus rubel pun dari Anda!”

Setiap kali orang-orang mengkhawatirkan sang putri, salah paham, atau membuatnya malu, dan ketika dia tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, dia biasanya mulai menangis. Dan pada kesempatan ini pun, dia akhirnya menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya dan menangis keras-keras dengan suara pelan seperti anak kecil. Sang dokter tiba-tiba berhenti dan menatapnya. Wajahnya menjadi muram dan tegas.

"Maafkan saya, Tuan Putri," katanya dengan suara hampa. "Saya sudah menyerah pada perasaan jahat dan melupakan diri saya sendiri. Ini tidak bisa dibenarkan."

Dan sambil terbatuk malu, dia berjalan pergi dengan tergesa-gesa, lupa untuk mengenakan topinya.

Bintang-bintang sudah berkelap-kelip di langit. Bulan pasti sudah terbit di sisi seberang biara, karena langitnya cerah, lembut, dan transparan. Kelelawar-kelelawar beterbangan tanpa suara di sepanjang dinding biara yang putih.

Jam perlahan berdentang tiga perempat kali, mungkin pukul sembilan kurang seperempat. Sang putri bangkit dan berjalan perlahan menuju gerbang. Dia merasa terluka dan menangis, dan dia merasa pepohonan, bintang-bintang, bahkan kelelawar mengasihaninya, dan jam berdentang merdu hanya untuk mengungkapkan simpatinya. Dia menangis dan berpikir betapa menyenangkannya tinggal di biara seumur hidupnya. Pada malam-malam musim panas yang tenang, dia akan berjalan sendirian menyusuri jalan-jalan, terhina, terluka, disalahpahami orang, dan hanya Tuhan dan langit berbintang yang akan melihat air mata sang martir. Kebaktian malam masih berlangsung di gereja. Sang putri berhenti dan mendengarkan nyanyian; betapa indahnya nyanyian itu terdengar dalam kegelapan yang hening! Betapa indahnya menangis dan menderita karena suara nyanyian itu!

Dia masuk ke kamarnya, memandangi wajahnya yang berlinang air mata di kaca dan membedakinya, lalu duduk untuk makan malam. Para biarawan tahu bahwa dia menyukai acar sturgeon, jamur kecil, anggur Malaga8, dan kue madu polos yang meninggalkan rasa cemara di mulut, dan setiap kali dia datang, mereka memberinya semua hidangan itu. Sambil memakan jamur dan meminum Malaga, sang putri bermimpi tentang bagaimana dia akhirnya akan hancur dan ditinggalkan —bagaimana semua pelayan, juru sita, juru tulis, dan pelayan perempuannya yang sudah dia layani begitu banyak, akan berkhianat kepadanya, dan mulai mengatakan hal-hal kasar; bagaimana orang-orang di seluruh dunia akan menyerangnya, menjelek-jelekkannya, dan mengejeknya. Dia akan meninggalkan gelarnya, akan meninggalkan masyarakat dan kemewahan, dan akan pergi ke biara tanpa sepatah kata mencela siapa pun; dia akan berdoa untuk musuh-musuhnya —kemudian mereka semua akan memahaminya dan datang untuk memohon maaf, tapi saat itu sudah terlambat.

Sesudah makan malam, dia berlutut di sudut di depan ikon dan membaca dua bab Injil. Kemudian, pelayannya menyiapkan tempat tidur dan dia pun naik ke atasnya. Merentangkan tubuhnya di bawah selimut putih, dia menghela napas panjang yang manis dan dalam, selayaknya orang yang baru menangis, memejamkan mata, dan mulai tertidur.

Di pagi hari dia bangun dan melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh. Di karpet dekat tempat tidur, ada seberkas sinar matahari yang terang dan tipis, dari sinar yang masuk melalui jendela dan menerangi ruangan dengan samar. Lalat-lalat berdengung di balik tirai hitam di jendela. "Masih pagi," pikir sang putri, lalu dia memejamkan matanya lagi.

Sambil meregangkan badan dan berbaring nyaman di tempat tidurnya, dia mengingat pertemuannya kemarin dengan sang dokter dan semua pikiran yang membawanya tidur malam sebelumnya: dia ingat dia merasa tidak bahagia. Lalu dia teringat suaminya yang tinggal di Petersburg, para pelayannya, para dokternya, para tetangganya, para pejabat kenalannya; arak-arakan panjang wajah-wajah maskulin yang familiar melintas di benaknya. Dia tersenyum dan berpikir, seandainya saja orang-orang itu bisa melihat ke dalam hatinya dan memahaminya, mereka semua akan tunduk di bawah kakinya.

Pukul sebelas lewat seperempat dia memanggil pelayannya.

"Bantu aku berpakaian, Dasha," katanya lesu. "Tapi pergilah dulu dan suruh mereka mengeluarkan kuda. Aku harus pergi ke rumah Klavdia Nikolaevna."

Saat hendak naik kereta, dia mengerjapkan mata melihat cahaya siang yang menyilaukan dan tertawa senang: hari ini sungguh cerah! Sambil mengamati dengan mata setengah terpejamnya para biarawan yang berkumpul di tangga untuk mengantarnya, dia mengangguk ramah dan berkata, "Selamat tinggal, teman-teman! Sampai jumpa lusa."

Dia terkejut sekaligus senang karena sang dokter ada bersama para biarawan di dekat tangga. Wajahnya pucat dan serius.

"Tuan Putri," katanya sambil tersenyum bersalah, sambil melepas topinya, "saya sudah lama menunggu di sini untuk bertemu dengan Anda. Maafkan saya, demi Tuhan... kemarin saya terbawa oleh perasaan jahat dan dendam, dan saya bicara... omong kosong. Singkatnya, saya mohon maaf."

Sang putri tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya untuk dicium. Sang dokter menciumnya, wajahnya memerah.

Berusaha terlihat seperti burung, sang putri terbang masuk ke dalam kereta dan mengangguk ke segala arah. Ada perasaan riang, hangat, dan tenteram di hatinya, dan dia merasa senyumnya begitu lembut dan ramah. Saat kereta melaju menuju gerbang, dan sesudahnya menyusuri jalan berdebu melewati gubuk-gubuk dan kebun-kebun, melewati barisan kereta panjang dan barisan peziarah menuju biara, dia masih menyipitkan mata dan tersenyum lembut. Dia berpikir tidak ada kebahagiaan yang lebih tinggi daripada membawa kehangatan, cahaya, dan kegembiraan ke mana pun dia pergi, memaafkan kesalahan, tersenyum ramah kepada musuh. Para petani yang dilewatinya membungkuk kepadanya, kereta berdesir pelan, awan debu mengepul dari bawah roda dan melayang di atas gandum hitam keemasan, dan sang putri merasa tubuhnya bergoyang bukan di atas bantalan kereta melainkan di atas awan, dan dia sendiri bagaikan awan kecil yang ringan dan transparan.

"Betapa bahagianya aku!" gumamnya sambil memejamkan mata. "Betapa bahagianya aku!"

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Novis: seseorang yang memasuki suatu ordo religius dan sedang menjalani masa percobaan sebelum mengucapkan kaul. Novis juga dapat merujuk pada seseorang atau sesuatu yang memasuki suatu profesi tanpa pengalaman sebelumnya.

2 Mignonette: reseda, genus tanaman herba harum yang berasal dari Eropa, Asia barat daya dan Afrika Utara, dari Kepulauan Canary dan Iberia timur hingga India barat laut.

3 Countess: bentuk feminin dari count, gelar bangsawan historis di beberapa negara Eropa, yang bervariasi dalam status relatifnya, umumnya berada di tingkat menengah dalam hierarki bangsawan. Terutama pada periode awal abad pertengahan, istilah ini sering kali menyiratkan tidak hanya status tertentu, tetapi juga bahwa seorang count memiliki tanggung jawab atau jabatan tertentu. Bisa juga diartikan sebagai istri dari seorang count.

4 Kazimer dan Kaetan: nama umum laki-laki Polandia.

5 Toffee: penganan khas Inggris yang dibuat dengan mengkaramelisasi gula atau molase (menjadi gula invert) bersama mentega, dan terkadang tepung. Campuran ini dipanaskan hingga mencapai suhu retak keras, yaitu 149 hingga 154 °C. Saat diolah, toffee terkadang dicampur dengan kacang atau kismis.

6 Baris dalam himne Rusia ‘How Glorious Is Our Lord in Zion’; sebuah himne yang ditulis pada musim semi tahun 1794 oleh komposer Dmitry Bortniansky berdasarkan syair-syair penyair Mikhail Kheraskov. Himne ini merupakan lagu kebangsaan tidak resmi Kekaisaran Rusia antara akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

7 Hecuba: seorang ratu dalam mitologi Yunani, istri Raja Priam dari Troy selama Perang Troya. Hecuba dikenal karena kesedihan dan penderitaannya saat Troy jatuh, anak-anaknya dibunuh atau dijadikan tawanan. Banyak tragedi Yunani, termasuk karya Euripides, menampilkan Hecuba sebagai simbol penderitaan dan kesedihan ibu yang agung.

8 Malaga: anggur manis yang diperkaya yang berasal dari kota Spanyol Malaga yang terbuat dari anggur Pedro Ximenez dan Moscatel. Pusat produksi Malaga adalah Sierra de Almijara, bersama dengan Antequera, Archidona, San Pedro Alcantara, Velez Malaga dan Competa, di wilayah anggur Spanyol Malaga DOP.

Comments

Populer