Tujuh Tahun Pertama (The First Seven Years ~ Bernard Malamud)

Tujuh Tahun Pertama (The First Seven Years ~ Bernard Malamud)

Feld, si tukang sepatu, kesal karena pembantunya, Sobel, begitu tidak peka dengan lamunannya saat dia tidak henti-hentinya mengetuk-ngetuk bangku di sebelahnya dengan penuh semangat. Dia meliriknya, tapi kepala botak Sobel menunduk saat dia bekerja, dan dia tidak menyadarinya. Si tukang sepatu mengangkat bahu dan kembali menatap melalui jendela yang sebagian berembun ke arah kabut tipis salju Februari yang turun. Baik bayangan putih yang samar di luar, maupun ingatan mendalam yang datang tiba-tiba akan desa Polandia bersalju tempat dia menghabiskan masa mudanya, tidak mampu mengalihkan pikirannya dari Max, si mahasiswa (yang selalu terbayang dalam benaknya sejak pagi ketika Feld melihatnya berjalan tertatih-tatih melewati tumpukan salju dalam perjalanannya ke sekolah), yang sangat dihormatinya atas pengorbanan yang sudah dilakukannya selama bertahun-tahun —baik di musim dingin maupun panas terik— untuk melanjutkan pendidikannya. Sebuah harapan lama kembali menghantui si tukang sepatu: dia ingin memiliki seorang anak laki-laki, bukan anak perempuan, tapi harapan itu sirna diterpa salju, karena Feld, lebih tepatnya, adalah laki-laki yang praktis. Tapi dia tidak kuasa menahan diri untuk membandingkan ketekunan anak laki-laki itu, yang merupakan anak seorang pedagang kaki lima, dengan ketidakpedulian Miriam terhadap pendidikan. Memang, dia selalu memegang buku, tapi ketika ada kesempatan untuk kuliah, dia menolak dan lebih memilih mencari pekerjaan. Dia memohon-mohon supaya Miriam kuliah, sambil menunjukkan betapa banyak ayah yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi, tapi Miriam berkata bahwa dia ingin mandiri. Soal pendidikan, apa itu, katanya, tapi buku, yang Sobel, yang rajin membaca buku-buku klasik, akan membantunya memahami segalanya. Jawaban Miriam membuat ayahnya sangat sedih.

Sebuah sosok muncul dari balik salju dan pintu terbuka. Di konter, laki-laki itu mengeluarkan sepasang sepatu butut dari kantong kertas basah untuk diperbaiki. Sesaat, si tukang sepatu tidak tahu siapa dia, lalu hatinya bergetar ketika menyadari, sebelum dia benar-benar mengenali wajah itu, bahwa Max yang berdiri di sana, dengan malu-malu menjelaskan apa yang ingin dia lakukan dengan sepatu tuanya. Meskipun Feld mendengarkan dengan penuh semangat, dia tidak bisa mendengar sepatah kata pun, karena kesempatan yang datang kepadanya membuat telinganya tuli.

Dia tidak ingat kapan tepatnya pikiran itu terlintas di benaknya, karena jelas dia sudah lebih dari sekali mempertimbangkan untuk menyuruh anak laki-laki itu berkencan dengan Miriam. Tapi dia tidak berani mengatakannya, karena kalau Max menolak, bagaimana dia akan menghadapinya lagi? Atau bagaimana kalau Miriam, yang begitu sering mengoceh tentang kebebasan, meledak marah dan membentaknya karena ikut campur? Tapi, kesempatan itu terlalu berharga untuk dilewatkan: yang dibutuhkan hanya sebuah perkenalan. Mereka mungkin sudah lama berteman seandainya mereka pernah bertemu di suatu tempat, oleh karena itu, bukankah tugasnya —sebuah kewajiban— untuk mempertemukan mereka, tidak lebih, sebuah persekongkolan yang tidak berbahaya untuk mengatur pertemuan tidak sengaja di kereta bawah tanah, katakanlah, atau dikenalkan di jalan oleh teman bersama? Biarkan Max bertemu dan mengobrol dengan Miriam sekali saja, dan dia pasti akan tertarik. Sedangkan untuk Miriam, apa salahnya bagi seorang gadis pekerja kantoran, yang hanya bertemu penjual cerewet dan petugas pengiriman barang yang buta huruf, untuk berkenalan dengan seorang pemuda terpelajar yang baik? Mungkin dia akan membangkitkan dalam dirinya keinginan untuk kuliah; kalau tidak —pikiran si tukang sepatu akhirnya berhadapan dengan kenyataan— biarkan dia menikah dengan laki-laki terpelajar dan menjalani kehidupan yang lebih baik.

Ketika Max selesai menjelaskan apa yang ingin diperbaiki dari sepatunya, Feld menandainya, keduanya punya lubang besar di sol yang pura-pura tidak dia perhatikan, dengan tanda silang besar dari kapur putih, dan di tumit karetnya, yang sudah menipis hingga terlihat paku-pakunya, dia tandai dengan tanda lingkaran, meskipun dia merasa khawatir karena mungkin dia salah mengartikan huruf-hurufnya. Max menanyakan harganya, dan si pembuat sepatu berdeham dan meminta kepada anak laki-laki itu, di antara suara palu Sobel yang terus-menerus, untuk melangkah melalui pintu samping ke lorong. Meskipun terkejut, Max melakukan apa yang diminta si pembuat sepatu, dan Feld menyusul masuk ke sana. Selama semenit mereka berdua terdiam, karena Sobel sudah berhenti memalu, dan tampaknya mereka mengerti bahwa keduanya tidak boleh mengatakan apa pun sampai suara itu mulai lagi. Ketika suara itu terdengar lagi, dengan keras, si pembuat sepatu dengan cepat memberi tahu Max mengapa dia meminta untuk berbicara dengannya.

“Sejak kau masuk sekolah menengah,” katanya, di lorong yang remang-remang, “aku melihatmu di pagi hari pergi ke sekolah naik kereta bawah tanah, dan aku selalu berkata kepada diriku sendiri, anak ini baik sekali, dia sangat menginginkan pendidikan.”

"Terima kasih," kata Max, gugup dan waspada. Dia tinggi dan kurus sekali, dengan garis-garis wajah yang tajam, terutama hidungnya yang seperti paruh. Dia mengenakan mantel panjang longgar dan lembab yang menjuntai hingga mata kaki, tampak seperti karpet yang menutupi bahunya yang kurus, dan topi cokelat tua yang kusam, sama lusuhnya dengan sepatu yang dibawanya.

"Aku seorang pengusaha," kata si tukang sepatu tiba-tiba untuk menutupi rasa malunya, "jadi aku akan langsung menjelaskan mengapa aku bicara denganmu. Aku punya seorang anak perempuan, putriku Miriam —dia berusia sembilan belas— seorang gadis yang sangat manis dan juga sangat cantik sehingga semua orang memandangnya ketika dia lewat di jalan. Dia cerdas, selalu membawa buku, dan aku berpikir dalam hati, anak laki-laki sepertimu, seorang anak laki-laki yang terpelajar —aku pikir mungkin kau akan tertarik suatu hari nanti untuk bertemu dengan gadis seperti dia." Dia tertawa kecil sesudah aku selesai bicara dan tergoda untuk mengatakan lebih banyak, tapi dengan akal sehat aku mengurungkan niat itu.

Max menatap tajam seperti elang. Untuk sesaat yang canggung, dia terdiam, lalu bertanya, "Anda bilang sembilan belas?"

"Ya."

“Apakah tidak apa-apa kalau saya bertanya apakah Anda punya fotonya?”

"Tunggu sebentar." Si tukang sepatu masuk ke toko dan buru-buru kembali sambil membawa foto yang kemudian dipegang Max ke arah cahaya.

"Dia sangat baik," katanya.

Feld menunggu.

“Dan apakah dia pintar —bukan tipe yang ceroboh?”

“Dia sangat pintar.”

Sesudah jeda singkat lagi, Max berkata tidak apa-apa baginya seandainya dia bertemu dengan Miriam.

"Ini teleponku," kata tukang sepatu itu, buru-buru menyerahkan secarik kertas. "Telepon dia. Dia pulang kerja jam enam."

Max melipat kertas itu dan menyelipkannya ke dalam dompet kulitnya yang usang.

"Soal sepatu itu," katanya. "Berapa biayanya?"

“Jangan khawatir soal biaya.”

“Saya hanya ingin tahu.”

“Satu dolar —lima puluh. Satu dolar lima puluh,” kata si tukang sepatu.

Dia langsung merasa bersalah, karena biasanya dia mematok harga $2,25 untuk pekerjaan seperti ini. Seharusnya dia meminta harga normal atau justru mengerjakannya secara cuma-cuma.

Kemudian, saat memasuki toko, dia dikejutkan oleh suara dentingan keras dan mendongak melihat Sobel memukul-mukul kelebut1 tanpa penahan. Kelebut itu patah, besinya menghantam lantai dan memantul dengan keras ke dinding, tapi sebelum tukang sepatu yang marah itu sempat berteriak, pembantunya itu sudah menarik topi dan mantelnya dari gantungan dan berlari keluar ke hamparan salju.

Jadi Feld, yang tadinya berharap-harap cemas bagaimana pertemuan putrinya dan Max akan berjalan, justru dihantui kekhawatiran besar. Tanpa pembantunya yang temperamental itu, dia bagaikan orang yang tersesat, apalagi sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mengelola toko sendirian. Tukang sepatu itu sudah lama menderita penyakit jantung yang mengancam akan kolaps kalau dia terlalu memaksakan diri. Lima tahun yang lalu, sesudah sebuah serangan jantung, dia seolah-olah harus memilih untuk mengorbankan usahanya di balai lelang dan hidup pas-pasan sesudahnya, atau pasrah pada karyawan yang tidak jujur yang pada akhirnya mungkin akan menghancurkannya. Tapi tepat di saat keputusasaannya yang paling dalam, pengungsi Polandia ini, Sobel, muncul suatu malam dari jalan dan mengemis pekerjaan. Dia seorang laki-laki gempal, berpakaian buruk, dengan kepala botak yang dulunya pirang, wajah yang sangat polos, dan mata biru lembut yang mudah berkaca-kaca saat membaca buku-buku sedih, seorang laki-laki muda yang terlihat tua —tidak seorang pun akan menduga usianya baru tiga puluh. Meskipun mengaku tidak tahu apa-apa tentang pembuatan sepatu, dia mengatakan dia berbakat dan akan bekerja dengan upah yang sangat rendah kalau Feld mengajarinya. Berpikir bahwa dia adalah orang yang sebangsa dengannya, dia tidak akan terlalu kahawatir dibandingkan dengan menerima orang yang sama sekali tidak dikenalnya, Feld menerimanya dan dalam waktu enam minggu, pengungsi itu berhasil membuat sepatu yang sama bagusnya dengan dirinya, dan tidak lama kemudian dengan ahli menjalankan usaha untuk si tukang sepatu yang membuatnya merasa lega.

Feld bisa mempercayakan apa pun kepadanya dan begitulah yang terjadi, dia sering pulang sesudah satu atau dua jam di toko, meninggalkan semua uang di laci kasir, yakin bahwa Sobel akan menjaga setiap sennya. Yang mengherankan adalah dia hanya menuntut begitu sedikit. Keinginannya tidak banyak; dia tidak tertarik pada uang —hanya buku, sepertinya— yang dia pinjamkan satu per satu kepada Miriam, beserta komentar-komentar tertulisnya yang berlimpah dan aneh, yang dia buat selama malam-malam di rumah kos yang sepi, buku-buku tebal berisi komentar yang dilirik si tukang sepatu dan mengangkat bahunya saat putrinya, yang saat itu berusia empat belas, membaca halaman demi halaman yang dianggap suci, seolah-olah firman Tuhan tertulis di atasnya. Untuk melindungi Sobel, Feld sendiri harus memastikan dia menerima lebih dari yang dimintanya. Tapi hati nuraninya terusik karena tidak memaksa pembantunya menerima upah yang lebih baik daripada yang diterimanya, meskipun Feld dengan jujur mengatakan kepadanya bahwa dia bisa mendapatkan gaji yang besar kalau dia bekerja di tempat lain, atau bahkan membuka tempat usaha sendiri. Tapi pembantunya itu menjawab, dengan agak tidak ramah, bahwa dia tidak berminat untuk bekerja di tempat lain, dan meskipun Feld sering bertanya kepada dirinya sendiri, ‘Apa yang membuatnya tetap di sini? Mengapa dia tetap tinggal?’, dia akhirnya menjawab bahwa laki-laki itu, tidak diragukan lagi karena pengalamannya yang mengerikan sebagai pengungsi, takut pada dunia.

Sesudah insiden dengan kelebut terakhir yang patah, karena geram dengan perilaku Sobel, si tukang sepatu memutuskan untuk membiarkannya tinggal di rumah kos selama seminggu, meskipun tenaganya sendiri terkuras habis dan usahanya pun terpuruk. Tapi, sesudah beberapa kali peringatan keras dari istri dan putrinya, dia akhirnya pergi mencari Sobel, seperti yang pernah dilakukannya sebelumnya, belum lama ini, ketika karena suatu kesalahpahaman remeh —Feld memintanya untuk tidak memberi Miriam terlalu banyak buku untuk dibaca karena matanya lelah dan merah— pembantunya meninggalkan tempat itu dengan gusar, sebuah insiden yang, seperti biasa, berakhir tanpa apa-apa, karena dia kembali sesudah si tukang sepatu berbicara dengannya, dan kembali duduk di bangku. Tapi kali ini, sesudah Feld berjalan tertatih-tatih menembus salju menuju rumah Sobel —dia sempat berpikir untuk menyuruh Miriam tapi ide itu terasa menjijikkan baginya— ibu kos yang berbadan besar di pintu memberi tahunya dengan suara sengau bahwa Sobel tidak ada di rumah, dan meskipun Feld tahu bahwa itu adalah kebohongan yang keji, ke mana pengungsi itu bisa pergi? Entah mengapa dia masih ragu sepenuhnya —mungkin karena kedinginan dan kelelahan— dia memutuskan untuk tidak memaksa menemuinya. Dia pulang dan mempekerjakan pembantu baru.

Demikianlah dia menyelesaikan masalah itu, meskipun tidak sepenuhnya memuaskannya, karena dia memiliki lebih banyak hal yang harus dilakukan daripada sebelumnya, dan karenanya, misalnya, dia tidak bisa lagi bangun siang dari tempat tidurnya karena dia harus bangun untuk membuka toko bagi pembantu barunya, seorang laki-laki berkulit gelap yang pendiam dengan suara gesekan yang menjengkelkan saat bekerja, yang tidak akan dia percayakan kunci seperti yang dia lakukan kepada Sobel. Selain itu, pembantu itu, meskipun bisa melakukan pekerjaan perbaikan yang lumayan, tidak tahu apa-apa tentang jenis kulit atau harga, sehingga Feld harus berbelanja sendiri; dan setiap malam menjelang tutup, dia harus menghitung uang di kasir dan menguncinya. Tapi dia tidak kecewa, karena dia lebih memikirkan Max dan Miriam. Mahasiswa itu sudah meneleponnya, dan mereka sudah mengatur pertemuan untuk Jumat malam mendatang. Si tukang sepatu sendiri sebenarnya lebih suka hari Sabtu, yang menurutnya akan menjadikannya kencan pertama yang paling penting, tapi dia mengetahui bahwa hari Jumat adalah pilihan Miriam, jadi dia tidak mengatakan apa-apa. Hari tidaklah penting. Yang penting adalah yang terjadi setelahnya. Akankah mereka saling menyukai dan ingin berteman? Dia mendesah mengingat waktu yang berlalu sebelum dia mengetahui kepastiannya. Sering kali dia tergoda untuk berbicara dengan Miriam tentang anak laki-laki itu, untuk bertanya apakah Miriam pikir dia akan menyukai tipenya —dia hanya mengatakan bahwa dia menganggap Max anak yang baik dan menyarankan agar dia menelepon Miriam— tapi sekali dia mencoba, Miriam menjawab dengan ketus —yang mana memang wajar— bagaimana dia bisa tahu?

Akhirnya hari Jumat tiba. Feld merasa tidak enak badan sehingga dia tetap di tempat tidur, dan Nyonya Feld merasa lebih baik tetap di kamar tidur bersamanya ketika Max memanggil. Miriam menerima pemuda itu, dan orang tuanya bisa mendengar suara mereka, suara seraknya, saat mereka berbicara. Tepat sebelum pergi, Miriam membawa Max ke pintu kamar tidur dan dia berdiri di sana sejenak, sosok yang tinggi dan agak bungkuk mengenakan setelan tebal dan longgar, dan tampak santai saat dia menyapa si tukang sepatu dan istrinya, yang tentunya merupakan pertanda baik. Dan Miriam, meskipun dia sudah bekerja sepanjang hari, tampak segar dan cantik. Dia adalah seorang gadis bertubuh besar dengan bentuk tubuh yang bagus, dan dia memiliki wajah yang terbuka dan rambut yang lembut. Mereka, pikir Feld, pasangan kelas atas.

Miriam pulang sesudah pukul 11.30. Ibunya sudah tidur, tapi si tukang sepatu bangun dari tempat tidur dan sesudah menemukan jubah mandinya, dia pergi ke dapur. Miriam, yang terkejut, sedang duduk di meja, membaca.

“Jadi, ke mana kalian pergi?” tanya Feld ramah.

"Jalan-jalan," katanya tanpa melihat ke atas.

“Aku menasihatinya,” kata Feld sambil berdeham, “dia sebaiknya tidak menghabiskan terlalu banyak uang.”

"Aku tidak peduli."

Tukang sepatu itu merebus air untuk membuat teh, lalu duduk di meja sambil minum secangkir teh dan sepotong lemon tebal.

"Jadi bagaimana," desahnya sesudah menyesap, "apakah kamu menikmatinya?"

“Biasa saja.”

Feld terdiam. Miriam pasti merasakan kekecewaannya, karena dia menambahkan, "Kita tidak bisa benar-benar tahu banyak pada awalnya."

“Kau akan bertemu dengannya lagi?”

Membalik halaman, dia mengatakan bahwa Max sudah meminta kencan lagi.

"Kapan?"

"Sabtu."

“Jadi apa yang kau katakan?”

"Apa yang kukatakan?" tanyanya, menunda sejenak— "Aku bilang ya."

Sesudah itu, dia bertanya tentang Sobel, dan Feld, tanpa tahu persis alasannya, mengatakan pembantunya itu sudah mendapat pekerjaan lain. Miriam tidak berkata apa-apa lagi dan melanjutkan membaca. Hati si tukang sepatu tidak terganggu; dia merasa puas dengan kencan di hari Sabtu itu.

Sepanjang minggu, dengan mengajukan satu dua pertanyaan cerdik, dia berhasil mendapatkan informasi tentang Max dari Miriam. Dia terkejut ketika mengetahui bahwa anak laki-laki itu tidak sedang belajar untuk menjadi dokter atau pengacara, melainkan sedang mengambil jurusan bisnis yang mengarah ke gelar akuntansi. Feld sedikit kecewa karena dia menganggap akuntan sama seperti ‘penjaga pembukuan’ dan lebih suka ‘profesi yang lebih tinggi.’ Tapi, tidak lama kemudian dia menyelidiki hal itu dan menemukan bahwa Akuntan Publik Bersertifikat (CPA2) adalah orang-orang yang sangat dihormati, sehingga dia merasa sangat puas menjelang hari Sabtu. Tapi, karena hari Sabtu adalah hari yang sibuk, dia banyak berada di toko dan karena itu tidak melihat Max ketika dia datang untuk memanggil Miriam. Dari istrinya, dia mengetahui bahwa tidak ada yang istimewa dari sambutan mereka. Max sudah membunyikan bel dan Miriam sudah mengambil mantelnya dan pergi bersamanya —tidak lebih. Feld tidak menyelidiki, karena istrinya tidak terlalu jeli. Dia malah menunggu Miriam dengan koran di pangkuannya, yang nyaris tidak dia baca karena dia sedang tenggelam memikirkan masa depan. Dia terbangun dan mendapati Miriam di kamar bersamanya, dengan lesu melepas topinya. Saat menyapanya, dia tiba-tiba entah kenapa takut bertanya apa pun tentang malam itu. Tapi, karena Miriam tidak memberikan jawaban apa-apa, dia akhirnya terpaksa bertanya bagaimana Miriam menikmati malamnya. Miriam memulai sesuatu yang tidak jelas, tapi tampaknya berubah pikiran, karena sesaat kemudian dia berkata, "Aku bosan."

Ketika Feld sudah pulih dari kekecewaannya yang mendalam untuk bertanya mengapa, dia menjawab tanpa ragu, “Karena dia tidak lebih dari seorang materialis.”

“Apa artinya itu?”

"Dia tidak punya jiwa. Dia hanya tertarik pada barang-barang."

Dia mempertimbangkan pernyataan itu cukup lama, lalu bertanya, “Apakah kau akan menemuinya lagi?”

“Dia tidak bertanya.”

“Bagaimana kalau dia bertanya?”

“Aku tidak akan menemuinya.”

Dia tidak membantah; tapi, seiring berjalannya waktu, dia semakin berharap Miriam akan berubah pikiran. Dia berharap anak laki-laki itu menelepon, karena dia yakin ada lebih banyak hal dalam dirinya daripada yang bisa dipahami Miriam, yang bisa dilihat dengan matanya yang sudah berpengalaman. Tapi Max tidak menelepon. Sebaliknya, dia mengambil rute berbeda ke sekolah, tidak lagi melewati toko sepatu, dan Feld sangat terluka.

Suatu sore, Max datang dan meminta sepatunya. Tukang sepatu itu menurunkannya dari rak tempat dia meletakkannya, terpisah dari sepatu-sepatu lainnya. Dia sendiri yang mengerjakannya, sol dan tumitnya kokoh dan kuat. Sepatu itu dipoles dengan sangat baik dan entah bagaimana tampak lebih baik daripada sepatu baru. Jakun Max terangkat ketika dia melihatnya, dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"Berapa?" tanyanya tanpa menatap langsung ke tukang sepatu itu.

"Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya," jawab Feld sedih. "Satu dolar lima puluh sen."

Max menyerahkan kepadanya dua lembar uang kertas kusut dan sebagai balasannya menerima setengah dolar perak yang baru dicetak.

Dia pergi. Miriam tidak disebut-sebut. Malam itu, si tukang sepatu mendapati pembantu barunya terus-menerus mencuri darinya, dan dia terkena serangan jantung.

Meskipun serangannya sangat ringan, dia terbaring di tempat tidur selama tiga minggu. Miriam berbicara untuk pergi menemui Sobel, tapi Feld, yang sedang sakit, marah besar terhadap gagasan itu. Tapi dalam hatinya dia tahu tidak ada jalan lain, dan hari pertamanya yang melelahkan di toko benar-benar meyakinkannya, sehingga malam itu sesudah makan malam dia memaksa diri ke rumah kos Sobel.

Dia bersusah payah menaiki tangga, meskipun dia tahu itu buruk baginya, dan di atas dia mengetuk pintu. Sobel membukanya dan tukang sepatu itu masuk. Kamar itu kecil, buruk, dengan satu jendela menghadap ke jalan. Di dalamnya terdapat ranjang sempit, meja rendah, dan beberapa tumpukan buku yang disusun sembarangan di lantai di sepanjang dinding, yang membuatnya berpikir betapa anehnya Sobel, tidak berpendidikan tapi banyak membaca. Dia pernah bertanya kepadanya, ‘Sobel, mengapa kau banyak membaca?’ dan pembantunya itu tidak bisa menjawab. ‘Apa kau pernah belajar di perguruan tinggi di suatu tempat?’ tanyanya, tapi Sobel menggelengkan kepala. ‘Dia membaca,’ katanya, ‘untuk tahu.’ ‘Untuk tahu apa,’ tanya tukang sepatu itu, ‘dan untuk apa tahu?’ Sobel tidak pernah menjelaskan, yang membuktikan bahwa dia banyak membaca hanya karena dia aneh saja.

Feld duduk untuk mengatur napas. Pembantunya itu sedang beristirahat di tempat tidurnya dengan punggung berat menempel di dinding. Kemeja dan celananya bersih, dan jari-jarinya yang pendek, jauh dari meja tukang sepatu, tampak pucat. Wajahnya kurus dan pucat, seolah-olah dia sudah terkurung di ruangan ini sejak dia kabur dari toko.

“Jadi kapan kau akan kembali bekerja?” tanya Feld kepadanya.

Yang mengejutkan, Sobel menjawab, “Tidak pernah.”

Sambil melompat, dia melangkah ke jendela yang menghadap ke jalan yang menyedihkan. "Untuk apa aku kembali?" teriaknya.

“Aku akan menaikkan gajimu.”

“Siapa yang peduli dengan gaji!”

Si tukang sepatu, yang tahu dia tidak peduli, bingung harus berkata apa lagi.

“Apa yang kau inginkan dariku, Sobel?”

"Tidak ada."

"Aku selalu memperlakukanmu seperti anakku sendiri."

Sobel membantahnya dengan tegas. "Jadi kenapa kau mencari pemuda-pemuda aneh di jalanan untuk berkencan dengan Miriam? Kenapa kau tidak memikirkan aku?"

Tangan dan kaki si tukang sepatu terasa dingin sekali. Suaranya menjadi serak hingga dia tidak bisa bicara. Akhirnya dia berdeham dan berkata dengan suara serak, "Jadi, apa hubungan putriku dengan tukang sepatu berusia tiga puluh lima yang bekerja untukku?"

"Menurutmu kenapa aku bekerja begitu lama untukmu?" teriak Sobel. "Demi upah yang sedikit itu, aku mengorbankan lima tahun hidupku supaya kau bisa makan, minum, dan tempat untuk tidur?"

“Lalu untuk apa?” teriak tukang sepatu.

“Untuk Miriam,” katanya tanpa pikir panjang— “untuknya.”

Si tukang sepatu, sesudah beberapa saat, akhirnya berkata, "Aku membayar gajimu dengan uang tunai, Sobel," lalu terdiam. Meskipun dia mendidih karena gelisah, pikirannya tetap jernih, dan dia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa dia sudah merasakan sejak lama bahwa Sobel merasa seperti itu. Dia tidak pernah menyadarinya, tapi dia merasakannya dan merasa takut.

"Miriam tahu?" gumamnya serak.

"Dia tahu."

"Kau memberitahunya?"

"Tidak."

“Lalu bagaimana dia tahu?”

"Bagaimana dia tahu?" tanya Sobel. "Karena dia tahu. Dia tahu siapa aku dan apa isi hatiku."

Feld tiba-tiba mendapat pencerahan. Dengan cara yang licik, melalui buku-buku dan komentar-komentarnya, Sobel sudah membuat Miriam mengerti bahwa dia mencintainya. Si tukang sepatu merasa sangat marah kepadanya atas kebohongannya.

"Sobel, kau gila," katanya getir. "Dia tidak akan pernah menikah dengan laki-laki setua dan seburuk dirimu."

Wajah Sobel merona merah karena marah. Dia memaki si tukang sepatu, tapi kemudian, meskipun gemetar menahan dirinya, matanya berkaca-kaca dan dia pun terisak-isak. Membelakangi Feld, dia berdiri di dekat jendela, tangannya terkepal, dan bahunya bergetar karena isak tangis yang tertahan.

Melihatnya, amarah si tukang sepatu mereda. Giginya berderit karena kasihan pada laki-laki itu, dan matanya berkaca-kaca. Betapa aneh dan menyedihkan bahwa seorang pengungsi, seorang laki-laki dewasa, botak dan tua dengan segala kesengsaraannya, yang nyaris lolos dari mesin pembakaran Hitler, jatuh cinta, ketika dia tiba di Amerika, dengan seorang gadis yang usianya kurang dari setengah usianya. Hari demi hari, selama lima tahun dia duduk di bangkunya, memotong dan memalu, menunggu anak perempuan itu menjadi seorang gadis, tidak mampu menenangkan hatinya dengan kata-kata, tidak melakukan protes selain keputusasaan.

"Buruk, aku tidak bermaksud," katanya dengan suara agak keras.

Kemudian dia menyadari bahwa yang disebutnya buruk bukanlah rupa Sobel, melainkan kehidupan Miriam kalau dia menikah dengannya. Dia merasakan duka yang aneh dan mencekam bagi putrinya, seolah-olah Miriam sudah menjadi pengantin Sobel, istri seorang tukang sepatu, dan dalam hidupnya dia tidak memiliki apa pun yang lebih dari yang dimiliki ibunya. Dan semua impiannya untuk Miriam —mengapa dia bekerja keras dan menghancurkan hatinya dengan kecemasan dan kerja keras— semua impian tentang kehidupan yang lebih baik itu sudah mati.

Ruangan itu sunyi. Sobel berdiri di dekat jendela sambil membaca, dan anehnya, saat membaca dia terlihat lebih muda.

"Dia baru sembilan belas," kata Feld dengan nada terbata-bata. "Dia masih terlalu muda untuk menikah. Jangan memintanya kurang dari dua tahun lagi, sampai dia berumur dua puluh satu, baru kau bisa bicara dengannya."

Sobel tidak menjawab. Feld bangkit dan pergi. Dia menuruni tangga perlahan, tapi begitu berada di luar, meskipun malam itu dingin dan salju yang turun dengan segar memutihkan jalanan, dia melangkah lebih cepat.

Tapi keesokan paginya, ketika si tukang sepatu tiba dengan berat hati untuk membuka toko, dia merasa dia tidak perlu datang, karena pembantunya sudah duduk di bangku terakhir, memukul-mukul kulit demi cintanya.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Bernard Malamud yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Kelebut: acuan atau cetakan sepatu.

2 Certified Public Accountant (CPA): adalah gelar akuntan yang berkualifikasi di banyak negara di dunia berbahasa Inggris. Umumnya setara dengan gelar akuntan tersertifikasi di negara-negara berbahasa Inggris lainnya. Di Amerika Serikat, CPA adalah lisensi untuk menyediakan layanan akuntansi kepada publik. Lisensi ini diberikan oleh masing-masing dari 50 negara bagian untuk praktik di negara bagian tersebut. Selain itu, semua negara bagian kecuali Hawaii sudah mengesahkan undang-undang mobilitas untuk mengizinkan CPA dari negara bagian lain untuk praktik di negara bagian mereka. Persyaratan lisensi negara bagian bervariasi, tapi persyaratan standar minimum meliputi lulus Ujian Akuntan Publik Bersertifikat Seragam, 150 unit semester pendidikan tinggi, dan satu tahun pengalaman terkait akuntansi.

Comments

Populer