Tujuh Tahun Pertama (The First Seven Years ~ Bernard Malamud)
Sebuah
sosok muncul dari balik salju dan pintu terbuka. Di konter, laki-laki itu
mengeluarkan sepasang sepatu butut dari kantong kertas basah untuk diperbaiki.
Sesaat, si tukang sepatu tidak tahu siapa dia, lalu hatinya bergetar ketika
menyadari, sebelum dia benar-benar mengenali wajah itu, bahwa Max yang berdiri
di sana, dengan malu-malu menjelaskan apa yang ingin dia lakukan dengan sepatu
tuanya. Meskipun Feld mendengarkan dengan penuh semangat, dia tidak bisa
mendengar sepatah kata pun, karena kesempatan yang datang kepadanya membuat
telinganya tuli.
Dia
tidak ingat kapan tepatnya pikiran itu terlintas di benaknya, karena jelas dia
sudah lebih dari sekali mempertimbangkan untuk menyuruh anak laki-laki itu
berkencan dengan Miriam. Tapi dia tidak berani mengatakannya, karena kalau Max
menolak, bagaimana dia akan menghadapinya lagi? Atau bagaimana kalau Miriam,
yang begitu sering mengoceh tentang kebebasan, meledak marah dan membentaknya
karena ikut campur? Tapi, kesempatan itu terlalu berharga untuk dilewatkan:
yang dibutuhkan hanya sebuah perkenalan. Mereka mungkin sudah lama berteman
seandainya mereka pernah bertemu di suatu tempat, oleh karena itu, bukankah
tugasnya —sebuah kewajiban— untuk mempertemukan mereka, tidak lebih, sebuah
persekongkolan yang tidak berbahaya untuk mengatur pertemuan tidak sengaja di
kereta bawah tanah, katakanlah, atau dikenalkan di jalan oleh teman bersama?
Biarkan Max bertemu dan mengobrol dengan Miriam sekali saja, dan dia pasti akan
tertarik. Sedangkan untuk Miriam, apa salahnya bagi seorang gadis pekerja
kantoran, yang hanya bertemu penjual cerewet dan petugas pengiriman barang yang
buta huruf, untuk berkenalan dengan seorang pemuda terpelajar yang baik?
Mungkin dia akan membangkitkan dalam dirinya keinginan untuk kuliah; kalau
tidak —pikiran si tukang sepatu akhirnya berhadapan dengan kenyataan— biarkan
dia menikah dengan laki-laki terpelajar dan menjalani kehidupan yang lebih
baik.
Ketika
Max selesai menjelaskan apa yang ingin diperbaiki dari sepatunya, Feld
menandainya, keduanya punya lubang besar di sol yang pura-pura tidak dia
perhatikan, dengan tanda silang besar dari kapur putih, dan di tumit karetnya,
yang sudah menipis hingga terlihat paku-pakunya, dia tandai dengan tanda
lingkaran, meskipun dia merasa khawatir karena mungkin dia salah mengartikan
huruf-hurufnya. Max menanyakan harganya, dan si pembuat sepatu berdeham dan meminta
kepada anak laki-laki itu, di antara suara palu Sobel yang terus-menerus, untuk
melangkah melalui pintu samping ke lorong. Meskipun terkejut, Max melakukan apa
yang diminta si pembuat sepatu, dan Feld menyusul masuk ke sana. Selama semenit
mereka berdua terdiam, karena Sobel sudah berhenti memalu, dan tampaknya mereka
mengerti bahwa keduanya tidak boleh mengatakan apa pun sampai suara itu mulai
lagi. Ketika suara itu terdengar lagi, dengan keras, si pembuat sepatu dengan
cepat memberi tahu Max mengapa dia meminta untuk berbicara dengannya.
“Sejak
kau masuk sekolah menengah,” katanya, di lorong yang remang-remang, “aku
melihatmu di pagi hari pergi ke sekolah naik kereta bawah tanah, dan aku selalu
berkata kepada diriku sendiri, anak ini baik sekali, dia sangat menginginkan
pendidikan.”
"Terima
kasih," kata Max, gugup dan waspada. Dia tinggi dan kurus sekali, dengan garis-garis
wajah yang tajam, terutama hidungnya yang seperti paruh. Dia mengenakan mantel
panjang longgar dan lembab yang menjuntai hingga mata kaki, tampak seperti
karpet yang menutupi bahunya yang kurus, dan topi cokelat tua yang kusam, sama
lusuhnya dengan sepatu yang dibawanya.
"Aku
seorang pengusaha," kata si tukang sepatu tiba-tiba untuk menutupi rasa
malunya, "jadi aku akan langsung menjelaskan mengapa aku bicara denganmu. Aku
punya seorang anak perempuan, putriku Miriam —dia berusia sembilan belas— seorang
gadis yang sangat manis dan juga sangat cantik sehingga semua orang
memandangnya ketika dia lewat di jalan. Dia cerdas, selalu membawa buku, dan aku
berpikir dalam hati, anak laki-laki sepertimu, seorang anak laki-laki yang
terpelajar —aku pikir mungkin kau akan tertarik suatu hari nanti untuk bertemu
dengan gadis seperti dia." Dia tertawa kecil sesudah aku selesai bicara dan
tergoda untuk mengatakan lebih banyak, tapi dengan akal sehat aku mengurungkan
niat itu.
Max
menatap tajam seperti elang. Untuk sesaat yang canggung, dia terdiam, lalu
bertanya, "Anda bilang sembilan belas?"
"Ya."
“Apakah
tidak apa-apa kalau saya bertanya apakah Anda punya fotonya?”
"Tunggu
sebentar." Si tukang sepatu masuk ke toko dan buru-buru kembali sambil
membawa foto yang kemudian dipegang Max ke arah cahaya.
"Dia
sangat baik," katanya.
Feld
menunggu.
“Dan
apakah dia pintar —bukan tipe yang ceroboh?”
“Dia
sangat pintar.”
Sesudah
jeda singkat lagi, Max berkata tidak apa-apa baginya seandainya dia bertemu
dengan Miriam.
"Ini
teleponku," kata tukang sepatu itu, buru-buru menyerahkan secarik kertas.
"Telepon dia. Dia pulang kerja jam enam."
Max
melipat kertas itu dan menyelipkannya ke dalam dompet kulitnya yang usang.
"Soal
sepatu itu," katanya. "Berapa biayanya?"
“Jangan
khawatir soal biaya.”
“Saya
hanya ingin tahu.”
“Satu
dolar —lima puluh. Satu dolar lima puluh,” kata si tukang sepatu.
Dia
langsung merasa bersalah, karena biasanya dia mematok harga $2,25 untuk
pekerjaan seperti ini. Seharusnya dia meminta harga normal atau justru mengerjakannya
secara cuma-cuma.
Kemudian,
saat memasuki toko, dia dikejutkan oleh suara dentingan keras dan mendongak
melihat Sobel memukul-mukul kelebut1 tanpa penahan. Kelebut itu
patah, besinya menghantam lantai dan memantul dengan keras ke dinding, tapi
sebelum tukang sepatu yang marah itu sempat berteriak, pembantunya itu sudah menarik
topi dan mantelnya dari gantungan dan berlari keluar ke hamparan salju.
Jadi
Feld, yang tadinya berharap-harap cemas bagaimana pertemuan putrinya dan Max
akan berjalan, justru dihantui kekhawatiran besar. Tanpa pembantunya yang
temperamental itu, dia bagaikan orang yang tersesat, apalagi sudah
bertahun-tahun dia tidak pernah mengelola toko sendirian. Tukang sepatu itu
sudah lama menderita penyakit jantung yang mengancam akan kolaps kalau dia terlalu
memaksakan diri. Lima tahun yang lalu, sesudah sebuah serangan jantung, dia
seolah-olah harus memilih untuk mengorbankan usahanya di balai lelang dan hidup
pas-pasan sesudahnya, atau pasrah pada karyawan yang tidak jujur yang pada
akhirnya mungkin akan menghancurkannya. Tapi tepat di saat keputusasaannya yang
paling dalam, pengungsi Polandia ini, Sobel, muncul suatu malam dari jalan dan
mengemis pekerjaan. Dia seorang laki-laki gempal, berpakaian buruk, dengan
kepala botak yang dulunya pirang, wajah yang sangat polos, dan mata biru lembut
yang mudah berkaca-kaca saat membaca buku-buku sedih, seorang laki-laki muda yang
terlihat tua —tidak seorang pun akan menduga usianya baru tiga puluh. Meskipun
mengaku tidak tahu apa-apa tentang pembuatan sepatu, dia mengatakan dia
berbakat dan akan bekerja dengan upah yang sangat rendah kalau Feld
mengajarinya. Berpikir bahwa dia adalah orang yang sebangsa dengannya, dia
tidak akan terlalu kahawatir dibandingkan dengan menerima orang yang sama
sekali tidak dikenalnya, Feld menerimanya dan dalam waktu enam minggu,
pengungsi itu berhasil membuat sepatu yang sama bagusnya dengan dirinya, dan tidak
lama kemudian dengan ahli menjalankan usaha untuk si tukang sepatu yang membuatnya
merasa lega.
Feld
bisa mempercayakan apa pun kepadanya dan begitulah yang terjadi, dia sering
pulang sesudah satu atau dua jam di toko, meninggalkan semua uang di laci kasir,
yakin bahwa Sobel akan menjaga setiap sennya. Yang mengherankan adalah dia
hanya menuntut begitu sedikit. Keinginannya tidak banyak; dia tidak tertarik
pada uang —hanya buku, sepertinya— yang dia pinjamkan satu per satu kepada
Miriam, beserta komentar-komentar tertulisnya yang berlimpah dan aneh, yang dia
buat selama malam-malam di rumah kos yang sepi, buku-buku tebal berisi komentar
yang dilirik si tukang sepatu dan mengangkat bahunya saat putrinya, yang saat
itu berusia empat belas, membaca halaman demi halaman yang dianggap suci,
seolah-olah firman Tuhan tertulis di atasnya. Untuk melindungi Sobel, Feld
sendiri harus memastikan dia menerima lebih dari yang dimintanya. Tapi hati
nuraninya terusik karena tidak memaksa pembantunya menerima upah yang lebih
baik daripada yang diterimanya, meskipun Feld dengan jujur mengatakan kepadanya
bahwa dia bisa mendapatkan gaji yang besar kalau dia bekerja di tempat lain,
atau bahkan membuka tempat usaha sendiri. Tapi pembantunya itu menjawab, dengan
agak tidak ramah, bahwa dia tidak berminat untuk bekerja di tempat lain, dan
meskipun Feld sering bertanya kepada dirinya sendiri, ‘Apa yang membuatnya
tetap di sini? Mengapa dia tetap tinggal?’, dia akhirnya menjawab bahwa laki-laki
itu, tidak diragukan lagi karena pengalamannya yang mengerikan sebagai
pengungsi, takut pada dunia.
Sesudah
insiden dengan kelebut terakhir yang patah, karena geram dengan perilaku Sobel,
si tukang sepatu memutuskan untuk membiarkannya tinggal di rumah kos selama
seminggu, meskipun tenaganya sendiri terkuras habis dan usahanya pun terpuruk. Tapi,
sesudah beberapa kali peringatan keras dari istri dan putrinya, dia akhirnya
pergi mencari Sobel, seperti yang pernah dilakukannya sebelumnya, belum lama
ini, ketika karena suatu kesalahpahaman remeh —Feld memintanya untuk tidak
memberi Miriam terlalu banyak buku untuk dibaca karena matanya lelah dan merah—
pembantunya meninggalkan tempat itu dengan gusar, sebuah insiden yang, seperti
biasa, berakhir tanpa apa-apa, karena dia kembali sesudah si tukang sepatu
berbicara dengannya, dan kembali duduk di bangku. Tapi kali ini, sesudah Feld
berjalan tertatih-tatih menembus salju menuju rumah Sobel —dia sempat berpikir
untuk menyuruh Miriam tapi ide itu terasa menjijikkan baginya— ibu kos yang
berbadan besar di pintu memberi tahunya dengan suara sengau bahwa Sobel tidak
ada di rumah, dan meskipun Feld tahu bahwa itu adalah kebohongan yang keji, ke
mana pengungsi itu bisa pergi? Entah mengapa dia masih ragu sepenuhnya —mungkin
karena kedinginan dan kelelahan— dia memutuskan untuk tidak memaksa menemuinya.
Dia pulang dan mempekerjakan pembantu baru.
Demikianlah
dia menyelesaikan masalah itu, meskipun tidak sepenuhnya memuaskannya, karena dia
memiliki lebih banyak hal yang harus dilakukan daripada sebelumnya, dan
karenanya, misalnya, dia tidak bisa lagi bangun siang dari tempat tidurnya karena
dia harus bangun untuk membuka toko bagi pembantu barunya, seorang laki-laki
berkulit gelap yang pendiam dengan suara gesekan yang menjengkelkan saat
bekerja, yang tidak akan dia percayakan kunci seperti yang dia lakukan kepada
Sobel. Selain itu, pembantu itu, meskipun bisa melakukan pekerjaan perbaikan
yang lumayan, tidak tahu apa-apa tentang jenis kulit atau harga, sehingga Feld
harus berbelanja sendiri; dan setiap malam menjelang tutup, dia harus
menghitung uang di kasir dan menguncinya. Tapi dia tidak kecewa, karena dia lebih
memikirkan Max dan Miriam. Mahasiswa itu sudah meneleponnya, dan mereka sudah
mengatur pertemuan untuk Jumat malam mendatang. Si tukang sepatu sendiri
sebenarnya lebih suka hari Sabtu, yang menurutnya akan menjadikannya kencan
pertama yang paling penting, tapi dia mengetahui bahwa hari Jumat adalah
pilihan Miriam, jadi dia tidak mengatakan apa-apa. Hari tidaklah penting. Yang
penting adalah yang terjadi setelahnya. Akankah mereka saling menyukai dan
ingin berteman? Dia mendesah mengingat waktu yang berlalu sebelum dia mengetahui
kepastiannya. Sering kali dia tergoda untuk berbicara dengan Miriam tentang
anak laki-laki itu, untuk bertanya apakah Miriam pikir dia akan menyukai
tipenya —dia hanya mengatakan bahwa dia menganggap Max anak yang baik dan
menyarankan agar dia menelepon Miriam— tapi sekali dia mencoba, Miriam menjawab
dengan ketus —yang mana memang wajar— bagaimana dia bisa tahu?
Akhirnya
hari Jumat tiba. Feld merasa tidak enak badan sehingga dia tetap di tempat
tidur, dan Nyonya Feld merasa lebih baik tetap di kamar tidur bersamanya ketika
Max memanggil. Miriam menerima pemuda itu, dan orang tuanya bisa mendengar
suara mereka, suara seraknya, saat mereka berbicara. Tepat sebelum pergi,
Miriam membawa Max ke pintu kamar tidur dan dia berdiri di sana sejenak, sosok
yang tinggi dan agak bungkuk mengenakan setelan tebal dan longgar, dan tampak
santai saat dia menyapa si tukang sepatu dan istrinya, yang tentunya merupakan
pertanda baik. Dan Miriam, meskipun dia sudah bekerja sepanjang hari, tampak
segar dan cantik. Dia adalah seorang gadis bertubuh besar dengan bentuk tubuh
yang bagus, dan dia memiliki wajah yang terbuka dan rambut yang lembut. Mereka,
pikir Feld, pasangan kelas atas.
Miriam
pulang sesudah pukul 11.30. Ibunya sudah tidur, tapi si tukang sepatu bangun
dari tempat tidur dan sesudah menemukan jubah mandinya, dia pergi ke dapur.
Miriam, yang terkejut, sedang duduk di meja, membaca.
“Jadi,
ke mana kalian pergi?” tanya Feld ramah.
"Jalan-jalan,"
katanya tanpa melihat ke atas.
“Aku
menasihatinya,” kata Feld sambil berdeham, “dia sebaiknya tidak menghabiskan
terlalu banyak uang.”
"Aku
tidak peduli."
Tukang
sepatu itu merebus air untuk membuat teh, lalu duduk di meja sambil minum
secangkir teh dan sepotong lemon tebal.
"Jadi
bagaimana," desahnya sesudah menyesap, "apakah kamu
menikmatinya?"
“Biasa
saja.”
Feld
terdiam. Miriam pasti merasakan kekecewaannya, karena dia menambahkan,
"Kita tidak bisa benar-benar tahu banyak pada awalnya."
“Kau
akan bertemu dengannya lagi?”
Membalik
halaman, dia mengatakan bahwa Max sudah meminta kencan lagi.
"Kapan?"
"Sabtu."
“Jadi
apa yang kau katakan?”
"Apa
yang kukatakan?" tanyanya, menunda sejenak— "Aku bilang ya."
Sesudah
itu, dia bertanya tentang Sobel, dan Feld, tanpa tahu persis alasannya,
mengatakan pembantunya itu sudah mendapat pekerjaan lain. Miriam tidak berkata
apa-apa lagi dan melanjutkan membaca. Hati si tukang sepatu tidak terganggu; dia
merasa puas dengan kencan di hari Sabtu itu.
Sepanjang
minggu, dengan mengajukan satu dua pertanyaan cerdik, dia berhasil mendapatkan
informasi tentang Max dari Miriam. Dia terkejut ketika mengetahui bahwa anak
laki-laki itu tidak sedang belajar untuk menjadi dokter atau pengacara,
melainkan sedang mengambil jurusan bisnis yang mengarah ke gelar akuntansi.
Feld sedikit kecewa karena dia menganggap akuntan sama seperti ‘penjaga
pembukuan’ dan lebih suka ‘profesi yang lebih tinggi.’ Tapi, tidak lama
kemudian dia menyelidiki hal itu dan menemukan bahwa Akuntan Publik Bersertifikat (CPA2) adalah orang-orang yang sangat dihormati,
sehingga dia merasa sangat puas menjelang hari Sabtu. Tapi, karena hari Sabtu
adalah hari yang sibuk, dia banyak berada di toko dan karena itu tidak melihat
Max ketika dia datang untuk memanggil Miriam. Dari istrinya, dia mengetahui
bahwa tidak ada yang istimewa dari sambutan mereka. Max sudah membunyikan bel
dan Miriam sudah mengambil mantelnya dan pergi bersamanya —tidak lebih. Feld
tidak menyelidiki, karena istrinya tidak terlalu jeli. Dia malah menunggu
Miriam dengan koran di pangkuannya, yang nyaris tidak dia baca karena dia
sedang tenggelam memikirkan masa depan. Dia terbangun dan mendapati Miriam di
kamar bersamanya, dengan lesu melepas topinya. Saat menyapanya, dia tiba-tiba
entah kenapa takut bertanya apa pun tentang malam itu. Tapi, karena Miriam
tidak memberikan jawaban apa-apa, dia akhirnya terpaksa bertanya bagaimana
Miriam menikmati malamnya. Miriam memulai sesuatu yang tidak jelas, tapi
tampaknya berubah pikiran, karena sesaat kemudian dia berkata, "Aku
bosan."
Ketika
Feld sudah pulih dari kekecewaannya yang mendalam untuk bertanya mengapa, dia
menjawab tanpa ragu, “Karena dia tidak lebih dari seorang materialis.”
“Apa
artinya itu?”
"Dia
tidak punya jiwa. Dia hanya tertarik pada barang-barang."
Dia
mempertimbangkan pernyataan itu cukup lama, lalu bertanya, “Apakah kau akan
menemuinya lagi?”
“Dia
tidak bertanya.”
“Bagaimana
kalau dia bertanya?”
“Aku
tidak akan menemuinya.”
Dia
tidak membantah; tapi, seiring berjalannya waktu, dia semakin berharap Miriam
akan berubah pikiran. Dia berharap anak laki-laki itu menelepon, karena dia
yakin ada lebih banyak hal dalam dirinya daripada yang bisa dipahami Miriam, yang
bisa dilihat dengan matanya yang sudah berpengalaman. Tapi Max tidak menelepon.
Sebaliknya, dia mengambil rute berbeda ke sekolah, tidak lagi melewati toko
sepatu, dan Feld sangat terluka.
Suatu
sore, Max datang dan meminta sepatunya. Tukang sepatu itu menurunkannya dari
rak tempat dia meletakkannya, terpisah dari sepatu-sepatu lainnya. Dia sendiri
yang mengerjakannya, sol dan tumitnya kokoh dan kuat. Sepatu itu dipoles dengan
sangat baik dan entah bagaimana tampak lebih baik daripada sepatu baru. Jakun
Max terangkat ketika dia melihatnya, dan matanya sedikit berkaca-kaca.
"Berapa?"
tanyanya tanpa menatap langsung ke tukang sepatu itu.
"Seperti
yang sudah kukatakan sebelumnya," jawab Feld sedih. "Satu dolar lima
puluh sen."
Max
menyerahkan kepadanya dua lembar uang kertas kusut dan sebagai balasannya
menerima setengah dolar perak yang baru dicetak.
Dia
pergi. Miriam tidak disebut-sebut. Malam itu, si tukang sepatu mendapati pembantu
barunya terus-menerus mencuri darinya, dan dia terkena serangan jantung.
Meskipun
serangannya sangat ringan, dia terbaring di tempat tidur selama tiga minggu.
Miriam berbicara untuk pergi menemui Sobel, tapi Feld, yang sedang sakit, marah
besar terhadap gagasan itu. Tapi dalam hatinya dia tahu tidak ada jalan lain,
dan hari pertamanya yang melelahkan di toko benar-benar meyakinkannya, sehingga
malam itu sesudah makan malam dia memaksa diri ke rumah kos Sobel.
Dia
bersusah payah menaiki tangga, meskipun dia tahu itu buruk baginya, dan di atas
dia mengetuk pintu. Sobel membukanya dan tukang sepatu itu masuk. Kamar itu
kecil, buruk, dengan satu jendela menghadap ke jalan. Di dalamnya terdapat
ranjang sempit, meja rendah, dan beberapa tumpukan buku yang disusun
sembarangan di lantai di sepanjang dinding, yang membuatnya berpikir betapa
anehnya Sobel, tidak berpendidikan tapi banyak membaca. Dia pernah bertanya
kepadanya, ‘Sobel, mengapa kau banyak membaca?’ dan pembantunya itu tidak bisa
menjawab. ‘Apa kau pernah belajar di perguruan tinggi di suatu tempat?’
tanyanya, tapi Sobel menggelengkan kepala. ‘Dia membaca,’ katanya, ‘untuk tahu.’
‘Untuk tahu apa,’ tanya tukang sepatu itu, ‘dan untuk apa tahu?’ Sobel tidak
pernah menjelaskan, yang membuktikan bahwa dia banyak membaca hanya karena dia
aneh saja.
Feld
duduk untuk mengatur napas. Pembantunya itu sedang beristirahat di tempat
tidurnya dengan punggung berat menempel di dinding. Kemeja dan celananya
bersih, dan jari-jarinya yang pendek, jauh dari meja tukang sepatu, tampak
pucat. Wajahnya kurus dan pucat, seolah-olah dia sudah terkurung di ruangan ini
sejak dia kabur dari toko.
“Jadi
kapan kau akan kembali bekerja?” tanya Feld kepadanya.
Yang
mengejutkan, Sobel menjawab, “Tidak pernah.”
Sambil
melompat, dia melangkah ke jendela yang menghadap ke jalan yang menyedihkan.
"Untuk apa aku kembali?" teriaknya.
“Aku
akan menaikkan gajimu.”
“Siapa
yang peduli dengan gaji!”
Si
tukang sepatu, yang tahu dia tidak peduli, bingung harus berkata apa lagi.
“Apa
yang kau inginkan dariku, Sobel?”
"Tidak
ada."
"Aku
selalu memperlakukanmu seperti anakku sendiri."
Sobel membantahnya dengan tegas. "Jadi kenapa kau mencari pemuda-pemuda aneh di jalanan untuk berkencan dengan Miriam? Kenapa kau tidak memikirkan aku?"
Tangan
dan kaki si tukang sepatu terasa dingin sekali. Suaranya menjadi serak hingga dia
tidak bisa bicara. Akhirnya dia berdeham dan berkata dengan suara serak,
"Jadi, apa hubungan putriku dengan tukang sepatu berusia tiga puluh lima
yang bekerja untukku?"
"Menurutmu
kenapa aku bekerja begitu lama untukmu?" teriak Sobel. "Demi upah
yang sedikit itu, aku mengorbankan lima tahun hidupku supaya kau bisa makan,
minum, dan tempat untuk tidur?"
“Lalu
untuk apa?” teriak tukang sepatu.
“Untuk
Miriam,” katanya tanpa pikir panjang— “untuknya.”
Si
tukang sepatu, sesudah beberapa saat, akhirnya berkata, "Aku membayar gajimu
dengan uang tunai, Sobel," lalu terdiam. Meskipun dia mendidih karena gelisah,
pikirannya tetap jernih, dan dia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa dia
sudah merasakan sejak lama bahwa Sobel merasa seperti itu. Dia tidak pernah
menyadarinya, tapi dia merasakannya dan merasa takut.
"Miriam
tahu?" gumamnya serak.
"Dia
tahu."
"Kau
memberitahunya?"
"Tidak."
“Lalu
bagaimana dia tahu?”
"Bagaimana
dia tahu?" tanya Sobel. "Karena dia tahu. Dia tahu siapa aku dan apa
isi hatiku."
Feld
tiba-tiba mendapat pencerahan. Dengan cara yang licik, melalui buku-buku dan
komentar-komentarnya, Sobel sudah membuat Miriam mengerti bahwa dia
mencintainya. Si tukang sepatu merasa sangat marah kepadanya atas
kebohongannya.
"Sobel,
kau gila," katanya getir. "Dia tidak akan pernah menikah dengan laki-laki
setua dan seburuk dirimu."
Wajah
Sobel merona merah karena marah. Dia memaki si tukang sepatu, tapi kemudian,
meskipun gemetar menahan dirinya, matanya berkaca-kaca dan dia pun
terisak-isak. Membelakangi Feld, dia berdiri di dekat jendela, tangannya
terkepal, dan bahunya bergetar karena isak tangis yang tertahan.
Melihatnya,
amarah si tukang sepatu mereda. Giginya berderit karena kasihan pada laki-laki
itu, dan matanya berkaca-kaca. Betapa aneh dan menyedihkan bahwa seorang
pengungsi, seorang laki-laki dewasa, botak dan tua dengan segala
kesengsaraannya, yang nyaris lolos dari mesin pembakaran Hitler, jatuh cinta,
ketika dia tiba di Amerika, dengan seorang gadis yang usianya kurang dari
setengah usianya. Hari demi hari, selama lima tahun dia duduk di bangkunya,
memotong dan memalu, menunggu anak perempuan itu menjadi seorang gadis, tidak
mampu menenangkan hatinya dengan kata-kata, tidak melakukan protes selain
keputusasaan.
"Buruk,
aku tidak bermaksud," katanya dengan suara agak keras.
Kemudian
dia menyadari bahwa yang disebutnya buruk bukanlah rupa Sobel, melainkan
kehidupan Miriam kalau dia menikah dengannya. Dia merasakan duka yang aneh dan
mencekam bagi putrinya, seolah-olah Miriam sudah menjadi pengantin Sobel, istri
seorang tukang sepatu, dan dalam hidupnya dia tidak memiliki apa pun yang lebih
dari yang dimiliki ibunya. Dan semua impiannya untuk Miriam —mengapa dia bekerja
keras dan menghancurkan hatinya dengan kecemasan dan kerja keras— semua impian
tentang kehidupan yang lebih baik itu sudah mati.
Ruangan
itu sunyi. Sobel berdiri di dekat jendela sambil membaca, dan anehnya, saat
membaca dia terlihat lebih muda.
"Dia
baru sembilan belas," kata Feld dengan nada terbata-bata. "Dia masih
terlalu muda untuk menikah. Jangan memintanya kurang dari dua tahun lagi,
sampai dia berumur dua puluh satu, baru kau bisa bicara dengannya."
Sobel
tidak menjawab. Feld bangkit dan pergi. Dia menuruni tangga perlahan, tapi
begitu berada di luar, meskipun malam itu dingin dan salju yang turun dengan
segar memutihkan jalanan, dia melangkah lebih cepat.
Tapi
keesokan paginya, ketika si tukang sepatu tiba dengan berat hati untuk membuka
toko, dia merasa dia tidak perlu datang, karena pembantunya sudah duduk di
bangku terakhir, memukul-mukul kulit demi cintanya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Bernard Malamud yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Kelebut: acuan atau cetakan sepatu.
2 Certified Public Accountant (CPA): adalah gelar akuntan yang
berkualifikasi di banyak negara di dunia berbahasa Inggris. Umumnya setara
dengan gelar akuntan tersertifikasi di negara-negara berbahasa Inggris lainnya.
Di Amerika Serikat, CPA adalah lisensi untuk menyediakan layanan akuntansi
kepada publik. Lisensi ini diberikan oleh masing-masing dari 50 negara bagian
untuk praktik di negara bagian tersebut. Selain itu, semua negara bagian
kecuali Hawaii sudah mengesahkan undang-undang mobilitas untuk mengizinkan CPA
dari negara bagian lain untuk praktik di negara bagian mereka. Persyaratan
lisensi negara bagian bervariasi, tapi persyaratan standar minimum meliputi
lulus Ujian Akuntan Publik Bersertifikat Seragam, 150 unit semester pendidikan
tinggi, dan satu tahun pengalaman terkait akuntansi.

Comments
Post a Comment