Tetangga (Neighbours ~ Anton Chekhov)
Ibunya
tidak pernah keluar kamar; perawat tua itu terus mendesah dan berbisik-bisik;
bibinya selalu pergi setiap hari, dan koper-kopernya terus-menerus dibawa turun
ke lorong dan dibawa naik lagi ke kamarnya. Di rumah, di halaman, dan di taman,
suasana hening seolah-olah ada orang yang meninggal di rumah itu. Bibinya, para
pelayan, bahkan para petani, begitulah yang terlihat bagi Pyotr Mihalitch,
menatapnya dengan penuh teka-teki dan bingung, seolah-olah mereka ingin
berkata, "Adikmu digoda orang; mengapa kau diam saja?" Dan dia
mencela dirinya sendiri karena tidak bertindak, meskipun dia tidak tahu persis
tindakan apa yang seharusnya dia ambil.
Enam
hari pun berlalu. Pada hari ketujuh —Minggu sore— seorang kurir berkuda membawa
sepucuk surat. Alamatnya ditulis dengan tulisan tangan feminin yang familier:
"Yth. Anna Nikolaevna Ivashin." Pyotr Mihalitch merasa ada sesuatu
yang menantang dan provokatif dalam tulisan tangan dan singkatan "Yth"
itu. Dan bayangannya tentang perempuan itu adalah keras kepala, kejam, dan
keji.
"Dia
lebih baik mati daripada mengaku kepada ibunya yang malang, atau memohon
ampun," pikir Pyotr Mihalitch, saat dia pergi menemui ibunya sambil
membawa surat itu.
Ibunya
sedang berbaring di tempat tidurnya, berpakaian rapi. Melihat putranya, dia langsung
bangkit, merapikan rambut abu-abunya yang tergerai dari balik penutup kepalanya,
dan bertanya dengan cepat, “Apa itu? Apa itu?”
"Ini
sudah datang..." kata putranya sambil memberikan surat itu.
Nama
Zina, bahkan kata ganti "dia" pun tidak terucap di rumah. Zina
disebut secara impersonal: "ini sudah datang," "pergi," dan
seterusnya... Sang ibu mengenali tulisan tangan putrinya, dan wajahnya menjadi
jelek dan tidak menyenangkan, dan ubannya kembali mencuat dari penutup
kepalanya.
"Tidak!"
katanya sambil menggerakkan tangannya, seolah surat itu membakar jari-jarinya.
"Tidak, tidak, tidak akan pernah! Tidak ada yang bisa membujukku!"
Sang
ibu menangis histeris karena sedih dan malu; dia jelas ingin membaca surat itu,
tapi harga dirinya menghalanginya. Pyotr Mihalitch menyadari bahwa dia
seharusnya membuka surat itu sendiri dan membacanya keras-keras, tapi dia
diliputi amarah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya; dia berlari ke
halaman dan berteriak kepada kurir itu, "Katakan tidak akan ada jawaban!
Tidak akan ada jawaban! Katakan itu kepada mereka, dasar binatang!"
Lalu
dia merobek surat itu; lalu air mata mengalir dari matanya, dan karena merasa
bahwa dirinya kejam, sengsara, dan bersalah, dia pun pergi ke perkebunan.
Usianya
baru dua puluh tujuh, tapi dia sudah bertubuh gemuk. Dia berpakaian seperti
orang tua dengan pakaian longgar dan kebesaran, dan menderita asma. Dia
terlihat mulai memiliki ciri-ciri bujang lapuk yang sudah tua. Dia tidak pernah
jatuh cinta, tidak pernah berpikir untuk menikah, dan tidak mencintai siapa pun
kecuali ibunya, saudara perempuannya, pengasuhnya yang sudah tua, dan tukang
kebun, Vassilitch. Dia gemar menyantap makanan lezat, tidur sesudah makan
malam, dan membicarakan politik serta topik-topik penting. Pada masa lalu, dia
pernah menempuh pendidikan di universitas, tapi sekarang dia memandang studinya
seolah-olah di dalamnya dia sudah melaksanakan tugas yang dibebankan kepada
pemuda berusia antara delapan belas dan dua puluh lima tahun; bagaimanapun,
ide-ide yang sekarang berkelana setiap hari di benaknya sama sekali tidak
berkaitan dengan universitas atau mata kuliah yang dipelajarinya di sana.
Di
kebun, udara panas dan hening, seolah-olah hujan akan turun. Hutan terasa meruap,
dan tercium aroma harum yang kuat dari pohon-pohon pinus dan daun-daun yang
membusuk. Pyotr Mihalitch berhenti beberapa kali dan menyeka dahinya yang
basah. Dia memandangi jagung musim dingin dan gandum musim seminya, berjalan
mengelilingi ladang semanggi, dan dua kali mengusir seekor ayam hutan beserta
anak-anaknya yang keluar dari hutan. Dan sepanjang waktu dia berpikir bahwa
keadaan yang tidak tertahankan ini tidak bisa berlangsung selamanya, dan bahwa dia
harus mengakhirinya dengan satu atau lain cara. Mengakhirinya dengan cara yang bodoh,
gila, tapi dia harus mengakhirinya.
"Tapi
bagaimana caranya? Apa yang bisa kulakukan?" tanyanya pada diri sendiri,
dan menatap langit dan pepohonan dengan memelas, seolah memohon bantuan mereka.
Tapi
langit dan pepohonan membisu. Ide-ide mulianya tidak membantu, dan akal
sehatnya berbisik bahwa pertanyaan yang menyiksa itu tidak mungkin menemukan
solusi selain solusi yang bodoh, dan bahwa kejadian hari ini dengan kurir itu
bukanlah yang terakhir. Sungguh mengerikan membayangkan apa yang akan
menimpanya!
Saat
dia kembali ke rumah, matahari mulai terbenam. Sekarang dia merasa masalah itu
tidak mungkin dipecahkan. Dia tidak bisa menerima kenyataan yang sudah terjadi,
dan dia tidak bisa menolaknya, dan tidak ada jalan tengah. Ketika dia melepas
topi dan mengipasi dirinya dengan sapu tangan, dia berjalan menyusuri jalan,
dan hanya tinggal satu setengah mil lagi sebelum sampai di rumah, dia mendengar
lonceng di belakangnya. Kombinasi lonceng itu sangat tepat dan cermat,
menghasilkan suara yang jernih. Tidak seorang pun memiliki lonceng seperti itu
di kudanya, kecuali kapten polisi, Medovsky, mantan perwira prajurit berkuda,
seorang laki-laki yang kesehatannya memburuk, yang dulunya seorang yang boros
dan suka berfoya-foya, dan merupakan kerabat jauh Pyotr Mihalitch. Dia seperti
salah satu anggota keluarga di rumah keluarga Ivashin dan memiliki kasih sayang
yang lembut dan kebapakan kepada Zina, serta kekaguman yang besar terhadapnya.
"Aku
datang untuk menemuimu," katanya, sambil mendahului Pyotr Mihalitch.
"Masuklah; aku akan mengantarmu."
Dia
tersenyum dan terlihat ceria. Rupanya dia belum tahu bahwa Zina sudah tinggal
bersama Vlassitch; mungkin dia sudah diberitahu, tapi tidak mempercayainya.
Pyotr Mihalitch merasa berada dalam posisi yang sulit.
"Kau
sangat baik," gumamnya, tersipu hingga air mata menggenang di matanya, dan
tidak tahu bagaimana harus berbohong atau berkata apa. "Aku sangat
senang," lanjutnya, berusaha tersenyum, "tapi ... Zina sedang pergi
dan ibu sakit."
"Menyebalkan!"
kata kapten polisi itu, sambil menatap Pyotr Mihalitch dengan serius.
"Padahal aku bermaksud menghabiskan malam ini bersamamu. Ke mana Zinaida
Mihalovna pergi?"
"Ke
rumah keluarga Sinitsky, dan aku yakin dia bermaksud pergi ke biara dari sana. Aku
tidak begitu tahu."
Kapten
polisi itu berbicara sedikit lebih lama, lalu berbalik. Pyotr Mihalitch
berjalan pulang, dan membayangkan dengan ngeri bagaimana perasaan sang kapten
polisi ketika mengetahui kebenarannya. Dan Pyotr Mihalitch membayangkan
perasaannya, dan benar-benar mengalaminya sendiri, lalu masuk ke dalam rumah.
"Tuhan
tolong kami," pikirnya, "Tuhan tolong kami!"
Saat
minum teh sore, hanya bibinya yang ada di meja. Seperti biasa, raut wajahnya
seolah mengatakan bahwa meskipun dia perempuan lemah dan idtak berdaya, dia
tidak akan membiarkan siapa pun menghinanya. Pyotr Mihalitch duduk di ujung
meja yang lain (dia tidak menyukai bibinya) dan mulai minum teh dalam diam.
"Ibumu
belum makan malam hari ini," kata bibinya. "Kau harus melakukan
sesuatu, Petrusha. Membuat dirimu kelaparan tidak akan membantu dalam
kesedihan."
Pyotr
Mihalitch merasa aneh bahwa bibinya ikut campur dalam urusan orang lain dan kebiasaan
bepergiannya terganggu oleh kepergian Zina. Dia tergoda untuk mengatakan
sesuatu yang kasar kepada bibinya, tapi dia menahan diri. Dan saat dia menahan
diri, dia merasa sudah waktunya untuk bertindak, dan dia tidak tahan lagi. Dia
harus segera bertindak atau jatuh ke tanah, berteriak, dan membenturkan
kepalanya ke lantai. Dia membayangkan Vlassitch dan Zina, keduanya orang yang
maju dan puas diri, berciuman di suatu tempat di bawah pohon maple, dan semua
amarah dan kepahitan yang sudah terkumpul dalam dirinya selama tujuh hari
terakhir, kini tertuju pada Vlassitch.
"Seseorang
menggoda dan menculik adikku," pikirnya, "yang lain akan datang dan
membunuh ibuku, yang ketiga akan membakar rumah dan menjarahnya... Dan semua itu
berkedok persahabatan, ide-ide luhur, dan ketidakbahagiaan!"
"Tidak,
itu tidak akan terjadi!" teriak Pyotr Mihalitch tiba-tiba, dan dia memukul
meja dengan tinjunya.
Dia
melompat dan berlari keluar dari ruang makan. Di kandang, kuda sang pengurus kuda
sudah diberi pelana. Dia naik ke atasnya dan berlari kencang menuju Vlassitch.
Ada
badai dahsyat dalam dirinya. Dia merasakan kerinduan untuk melakukan sesuatu
yang luar biasa, mengejutkan, bahkan kalau dia harus menyesalinya seumur hidup
sesudahnya. Haruskah dia menyebut Vlassitch bajingan, menampar wajahnya, lalu
menantangnya berduel? Tapi Vlassitch bukan orang yang suka berduel; dipanggil
bajingan dan ditampar wajahnya hanya akan membuatnya semakin sengsara, dan akan
membuatnya semakin menyusut menjadi dirinya sendiri. Orang-orang malang dan tidak
berdaya itu adalah makhluk yang paling tidak tertahankan, makhluk yang paling
menyebalkan di dunia. Mereka bisa melakukan apa saja tanpa hukuman. Ketika
orang malang itu menanggapi celaan yang memang pantas diterimanya dengan
menatapmu dengan mata penuh rasa bersalah yang mendalam, dan dengan senyum yang
sakit menundukkan kepalanya dengan patuh, bahkan keadilan itu sendiri tidak
sanggup mengangkat tangannya untuk melawannya.
"Tidak
masalah. Aku akan mencambuknya di depan mata adikku dan mengatakan apa yang
kupikirkan tentangnya," Pyotr Mihalitch memutuskan.
Dia
berkuda melewati hutan dan tanah kosongnya, dan membayangkan Zina akan mencoba mendebat
tindakannya dengan berbicara tentang hak-hak perempuan dan kebebasan individu,
dan tentang tidak adanya perbedaan antara pernikahan yang sah dan ikatan bebas.
Seperti perempuan pada umumnya, dia akan berdebat tentang apa yang tidak dia
pahami. Dan kemungkinan besar di akhir dia akan bertanya, "Bagaimana kau
bisa ikut campur? Apa hakmu untuk ikut campur?"
"Tidak,
aku tidak punya hak," gumam Pyotr Mihalitch. "Tapi lebih baik
begitu... Semakin aku keras, semakin sedikit hakku untuk ikut campur, semakin
baik."
Udara
pengap. Sekumpulan agas menggantung di tanah dan di tempat-tempat tandus,
burung-burung peewit berkicau dengan sedih. Semua itu mengisyaratkan hujan, tapi
dia tidak melihat segumpal pun awan di langit. Pyotr Mihalitch melewati batas
tanah miliknya dan memacu kudanya melintasi padang yang halus dan rata. Dia
sering melewati jalan itu dan mengenali setiap semak, setiap cekungan di
dalamnya. Apa yang sekarang terlihat seperti tebing gelap di senja hari di
kejauhan adalah sebuah gereja merah; dia bisa membayangkan semuanya hingga
detail terkecil, bahkan plester di gerbang dan anak-anak sapi yang selalu
merumput di halaman gereja. Tiga perempat mil di sebelah kanan gereja terdapat
semak belukar seperti bayangan gelap —itu milik Count1 Koltonovitch.
Dan di balik gereja, tanah milik Vlassitch berawal.
Dari
balik gereja dan hutan milik bangsawan itu, awan badai hitam besar muncul, dan
ada jejak petir putih.
"Itu
dia!" pikir Pyotr Mihalitch. "Tuhan tolong kami, Tuhan tolong
kami!"
Kudanya
mulai lelah sesudah berlari cepat, dan Pyotr Mihalitch juga lelah. Awan badai
menatapnya dengan marah dan seolah menasihatinya untuk pulang. Dia merasa
sedikit takut.
"Akan
kubuktikan kepada mereka bahwa mereka salah," dia mencoba meyakinkan
dirinya sendiri. "Mereka akan bilang itu kebebasan cinta, kebebasan
individu; tapi kebebasan berarti pengendalian diri, bukan tunduk pada nafsu.
Itu bukan kebebasan, tapi kebablasan!"
Dia
sampai di kolam besar milik sang bangsawan; kolam itu terlihat biru tua dan
berkerut di bawah awan, dan tercium aroma lembap dan lendir. Di dekat
bendungan, dua pohon willow, satu tua dan satu muda, terkulai lembut satu sama
lain. Pyotr Mihalitch dan Vlassitch baru saja berjalan di dekat tempat ini dua
minggu sebelumnya, menyenandungkan sebuah lagu mahasiswa:
"Masa muda terbuang sia-sia, hidup tidak berarti, ketika hati dingin dan tanpa cinta."
Lagu
yang buruk!
Suara
gemuruh terdengar saat Pyotr Mihalitch berkuda melewati hutan kecil, pepohonan
melengkung dan berdesir tertiup angin. Dia harus bergegas. Jarak dari hutan
kecil ke rumah Vlassitch hanya sekitar tiga perempat mil melewati padang
rumput. Di sana, terdapat pohon-pohon birch tua di kedua sisi jalan.
Pohon-pohon itu memancarkan aura melankolis dan sedih yang sama seperti pemiliknya,
Vlassitch, dan terlihat setinggi dan sekurus dirinya. Tetes-tetes hujan besar
berderai di pohon-pohon birch dan rerumputan; angin tiba-tiba reda, dan tercium
aroma tanah basah dan pohon poplar. Di hadapannya, dia melihat pagar Vlassitch
dengan deretan pohon akasia kuning, yang juga tinggi dan kurus; di tempat pagar
itu patah, dia bisa melihat kebun buah yang terbengkalai.
Pyotr
Mihalitch sekarang tidak lagi memikirkan cambuk kuda atau tamparan angin di
wajahnya, dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya di rumah Vlassitch. Dia
merasa gugup. Dia merasa takut, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
adiknya, dan ngeri membayangkan akan bertemu dengannya. Bagaimana adiknya itu
akan bersikap terhadap kakaknya? Apa yang akan mereka berdua bicarakan? Dan
bukankah lebih baik dia kembali sebelum terlambat? Sambil merenungkan hal-hal itu,
dia memacu kudanya menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi pohon jeruk nipis
menuju rumah, mengitari rumpun-rumpun besar bunga lilac, dan tiba-tiba melihat
Vlassitch.
Vlassitch,
mengenakan kemeja katun dan sepatu bot tinggi, membungkuk ke depan, tanpa topi
di tengah hujan, berjalan dari sudut rumah menuju pintu depan. Dia diikuti oleh
seorang pekerja dengan palu dan sekotak paku. Mereka pasti sedang memperbaiki
daun jendela yang tertiup angin. Melihat Pyotr Mihalitch, Vlassitch berhenti.
"Kau!"
katanya sambil tersenyum. "Bagus sekali."
"Ya,
aku datang, seperti yang kau lihat," kata Pyotr Mihalitch sambil menepis
hujan dari tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Wah,
hebat sekali! Aku sangat senang," kata Vlassitch, tapi dia tidak
mengulurkan tangannya: jelas dia tidak berani, melainkan menunggu Pyotr
Mihalitch mengulurkan tangannya. "Ini akan baik untuk gandum,"
katanya sambil menatap langit.
"Ya."
Mereka
memasuki rumah tanpa bersuara. Di sebelah kanan aula terdapat pintu menuju aula
lain, lalu ke ruang tamu, dan di sebelah kiri terdapat sebuah ruangan kecil
yang di musim dingin digunakan oleh pengurus rumah tangga. Pyotr Mihalitch dan
Vlassitch memasuki ruangan kecil ini.
"Di
mana kau terjebak hujan?"
"Tidak
jauh, cukup dekat dengan rumahmu."
Pyotr
Mihalitch duduk di tempat tidur. Dia senang mendengar suara hujan dan kegelapan
kamar. Lebih baik: suasananya tidak terlalu mengerikan, dan dia tidak perlu
melihat wajah orang yang bersamanya. Sekarang tidak ada amarah di hatinya,
hanya rasa takut dan kesal pada dirinya sendiri. Dia merasa sudah memulai
dengan buruk, dan kunjungan ini tidak akan membuahkan hasil.
Keduanya
terdiam beberapa saat dan berpura-pura mendengarkan suara hujan.
"Terima
kasih, Petrusha," Vlassitch memulai, berdeham. "Aku sangat berterima
kasih atas kedatanganmu. Sungguh murah hati dan mulia. Aku mengerti, dan,
percayalah, aku menghargainya. Percayalah."
Dia
melihat keluar jendela dan melanjutkan, berdiri di tengah ruangan, "Semuanya
terjadi begitu rahasia, seolah-olah kami menyembunyikannya darimu. Perasaan
bahwa kau mungkin terluka dan marah sudah menjadi noda dalam kebahagiaan kami
selama ini. Tapi izinkan aku membela diriku sendiri. Kami merahasiakannya bukan
karena kami tidak percaya kepadamu. Pertama-tama, semuanya terjadi secara
tiba-tiba, atas semacam inspirasi; tidak ada waktu untuk membahasnya. Lagipula,
itu adalah masalah yang sangat pribadi dan sensitif, dan rasanya canggung untuk
melibatkan orang ketiga, bahkan seseorang yang sedekat dirimu. Yang terpenting,
dalam semua ini kami mengandalkan kemurahan hatimu. Kau adalah orang yang
sangat baik dan murah hati. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Kalau kau ingin
mengambil nyawaku, datanglah dan ambillah."
Vlassitch
berbicara dengan nada rendah yang tenang dan hampa, selalu dengan nada
mendengung yang sama; dia terlihat gelisah. Pyotr Mihalitch merasa sudah
gilirannya untuk berbicara, dan bahwa mendengarkan dan tetap diam berarti
memainkan peran sebagai orang bodoh yang murah hati dan mulia, dan itu bukanlah
niatnya untuk datang. Dia segera berdiri dan berkata, terengah-engah dengan
nada rendah, "Dengar, Grigory. Kau tahu aku menyukaimu dan tidak
menginginkan suami yang lebih baik untuk adikku; tapi apa yang terjadi sungguh
mengerikan! Sungguh mengerikan memikirkannya!"
"Kenapa
mengerikan?" tanya Vlassitch, suaranya bergetar. "Akan mengerikan kalau
kita berbuat salah, tapi kenyataannya tidak."
"Dengar,
Grigory. Kau tahu aku tidak berprasangka; tapi, maafkan aku yang terus terang,
menurutku kalian berdua sudah bertindak egois. Tentu saja, aku tidak akan
mengatakan itu kepada adikku —itu akan membuatnya sedih; tapi kau harus tahu: ibunya
sangat menderita."
"Ya,
itu menyedihkan," desah Vlassitch. "Kami sudah menduganya, Petrusha,
tapi apa yang bisa kami lakukan? Karena tindakan seseorang menyakiti orang
lain, itu tidak membuktikan bahwa mereka salah. Apa yang harus dilakukan!
Setiap langkah penting yang diambil seseorang pasti akan membuat seseorang
tertekan. Kalau kau pergi berjuang demi kebebasan, itu juga akan membuat ibumu
tertekan. Apa yang harus dilakukan! Siapa pun yang mengutamakan kedamaian
keluarganya di atas segalanya harus meninggalkan dunia ideal sepenuhnya."
Ada
kilatan petir yang menyilaukan di jendela, dan kilat itu seakan mengubah alur
pikiran Vlassitch. Dia duduk di samping Pyotr Mihalitch dan mulai mengatakan
sesuatu yang sama sekali tidak relevan.
"Aku
sangat menghormati saudarimu, Petrusha," katanya. "Dulu, saat aku
datang dan menemuimu, aku merasa seperti pergi ke tempat suci, dan aku
benar-benar memuja Zina. Sekarang, rasa hormatku kepadanya semakin bertambah
setiap hari. Bagiku, dia lebih tinggi dari seorang istri —ya, lebih
tinggi!" Vlassitch melambaikan tangannya. "Dia adalah tempat maha
kudusku. Karena dia tinggal bersamaku, aku memasuki rumah seolah-olah itu
adalah kuil. Dia adalah perempuan yang luar biasa, langka, dan sangat
mulia!"
"Baiklah,
dia sudah kelewatan sekarang!" pikir Pyotr Mihalitch; dia tidak menyukai
kata "perempuan".
"Kenapa
kalian tidak menikah secara sah?" tanyanya. "Berapa tuntutan cerai
istrimu?"
"Tujuh
puluh lima ribu."
"Memang
banyak. Tapi bagaimana kalau kita bernegosiasi dengannya?"
"Dia
tidak mau menerima uang kurang dari itu. Dia perempuan yang mengerikan,
Saudaraku," desah Vlassitch. "Aku belum pernah bicara denganmu
tentang dia sebelumnya —memikirkannya saja tidak mengenakkan; tapi sekarang sesudah
topik ini muncul, aku akan bercerita tentang dia. Aku menikahinya atas dorongan
hati —dorongan yang baik dan terhormat. Seorang perwira yang memimpin batalion
resimen kami —kalau kau mau mendengar detailnya— berselingkuh dengan seorang
gadis berusia delapan belas tahun; dengan kata lain, dia merayunya, tinggal
bersamanya selama dua bulan, lalu meninggalkannya. Dia berada dalam posisi yang
mengerikan, Saudaraku. Dia malu pulang ke orang tuanya; lagipula, mereka tidak
akan menerimanya. Kekasihnya meninggalkannya; tidak ada yang tersisa baginya
selain pergi ke barak dan menjual dirinya. Para perwira lain di resimen itu
marah. Mereka sendiri bukan orang suci, tapi kehinaannya begitu mencolok.
Lagipula, tidak seorang pun di resimen itu yang tahan dengan laki-laki itu. Dan
untuk membuatnya kesal, kau tahu, para letnan dan perwira muda yang marah mulai
mengumpulkan sumbangan untuk gadis malang itu. Dan ketika kami para prajurit
bawahan berkumpul dan menyumbang masing-masing lima atau sepuluh rubel, aku tiba-tiba
mendapat inspirasi. Aku merasa itu adalah kesempatan untuk melakukan sesuatu
yang baik. Aku bergegas menemui gadis itu dan dengan hangat mengungkapkan
simpatiku. Dan ketika aku masih dalam perjalanan menemuinya, dan ketika aku
berbicara dengannya, aku mencintainya dengan penuh semangat sebagai seorang perempuan
yang dihina dan dilukai. Ya... Nah, seminggu kemudian aku mengajukan lamaran
kepadanya. Kolonel dan rekan-rekanku menganggap pernikahanku tidak sesuai
dengan martabat seorang perwira. Hal itu semakin membangkitkan semangatku. Aku
menulis surat yang panjang, tahukah kau, untuk membuktikan bahwa tindakan ku
akan dicatat dalam catatan sejarah resimen dengan tinta emas, dan seterusnya. Aku
mengirimkan surat itu kepada kolonelku dan salinannya kepada rekan-rekanku.
Nah, aku gembira, dan, tentu saja, aku tidak bisa menghindari bersikap kasar. Aku
diminta meninggalkan resimen. Aku menyimpan salinan kasarnya di suatu tempat; aku
akan memberikannya kepadamu untuk dibaca kapan-kapan. Surat itu ditulis dengan
penuh perasaan. Anda akan melihatnya. Betapa luhur dan mulianya perasaan yang
kurasakan. Aku mengundurkan diri dari jabatanku dan datang ke sini bersama
istriku. Ayahku meninggalkan utang, aku tidak punya uang, dan sejak hari
pertama istriku mulai diperkenalkan, berpakaian rapi, dan bermain kartu, aku
terpaksa menggadaikan tanah milikku. Dia menjalani kehidupan yang buruk, kau
tahu, dan kau satu-satunya tetangga yang bukan kekasihnya. Setelah dua tahun
aku memberinya semua yang kumiliki untuk membebaskanku lalu dia pergi ke kota.
Ya... Dan sekarang aku membayarnya seribu dua ratus rubel setahun. Dia perempuan
yang mengerikan! Ada seekor lalat, saudaraku, yang bertelur di punggung seekor
laba-laba sehingga laba-laba itu tidak bisa melepaskannya: larvanya menempel
pada laba-laba itu dan mengisap darahnya. Begitulah cara perempuan itu menempel
padaku dan mengisap darahku. Dia membenci dan memandangku rendah karena aku begitu
bodoh; karena menikahi perempuan seperti dia. Sikap kesatriaku tampak tercela
baginya. 'Orang besar sudah memilihku,' katanya, 'tapi orang bodoh mengangkatku.'
Dalam pikirannya tidak seorang pun kecuali orang bodoh yang menyedihkan yangbisa
berperilaku sepertiku. Dan itu sangat pahit bagiku, Saudaraku. Secara
keseluruhan, boleh kukatakan dengan tanda kutip, takdir begitu berat menimpaku,
sangat berat.
Pyotr
Mihalitch mendengarkan Vlassitch dan bertanya-tanya dalam kebingungan, apa
sebenarnya yang ada dalam diri laki-laki ini yang begitu memikat adik
perempuannya. Dia tidak muda lagi —dia berusia empat puluh satu— kurus dan cungkring,
berdada ramping, berhidung mancung, dan beruban di janggutnya. Dia berbicara
dengan suara mendengung, senyumnya tampak sakit, dan melambaikan tangannya
dengan canggung saat berbicara. Dia tidak sehat, tidak memiliki sopan santun
yang menyenangkan dan jantan, tidak memiliki ‘savoir-faire2’,
tidak pula keceriaan, dan dalam seluruh penampilannya terdapat sesuatu yang
hambar dan tidak menentu. Dia berpakaian tanpa selera, lingkungannya muram, dia
tidak menyukai puisi atau lukisan karena "keduanya tidak memiliki jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan zaman ini" —artinya, dia tidak memahaminya;
musik tidak menyentuhnya. Dia cuma seorang petani miskin.
Tanah
miliknya dalam kondisi memprihatinkan dan digadaikan; dia membayar dua belas
persen untuk hipotek kedua dan berutang sepuluh ribu untuk jaminan pribadi.
Ketika tiba saatnya membayar bunga hipotek atau mengirim uang kepada istrinya, dia
meminta semua orang untuk meminjamkannya uang dengan penuh keresahan
seolah-olah rumahnya sedang terbakar, dan, seperti kehilangan akal sehat, dia
akan menjual seluruh persediaan bahan bakar musim dinginnya seharga lima rubel
dan setumpuk jerami seharga tiga rubel, lalu meminta pagar kebun atau kotak tua
untuk menanam mentimun miliknya dipotong untuk memanaskan tungku-tungkunya.
Padang rumputnya dirusak oleh babi, ternak para petani berkeliaran di
semak-semak di hutannya, dan setiap tahun pohon-pohon tua semakin sedikit:
sarang lebah dan ember berkarat berserakan di taman dan dapurnya. Dia tidak
memiliki bakat maupun kemampuan, bahkan kapasitas normal untuk hidup seperti
orang lain. Dalam kehidupan nyata, dia adalah orang yang lemah dan naif, mudah
ditipu dan dicurangi, dan para petani dengan alasan yang tepat menyebutnya
"sederhana."
Dia
seorang Liberal, dan di distrik itu dianggap "Merah", tapi bahkan
sikap progresifnya pun membosankan. Pandangan-pandangan independennya tidak
menunjukkan orisinalitas maupun daya dorong: dia muak, geram, dan selalu
gembira dengan nada yang sama; selalu tanpa semangat dan tidak efektif. Bahkan
di saat-saat antusiasme yang kuat, dia tidak pernah mengangkat kepala atau
berdiri tegak. Tapi, yang paling melelahkan adalah caranya mengungkapkan idenya,
bahkan ide-ide terbaiknya, sehingga ide-ide itu terasa biasa saja dan
ketinggalan zaman. Hal itu mengingatkan seseorang pada sesuatu yang pernah
dibaca orang dahulu kala, ketika perlahan dan dengan nada mendalam dia mulai
berceramah tentang momen-momen mulia dan luhurnya, tentang tahun-tahun
terbaiknya; atau ketika dia terkagum-kagum dengan generasi muda, yang selalu,
dan masih, mendahului masyarakat; atau mencaci-maki orang Rusia karena
mengenakan gaun tidur mereka di usia tiga puluh dan melupakan prinsip-prinsip ‘almamater’
mereka. Kalau kau menginap bersamanya, dia akan meletakkan Pissarev3
atau Darwin4 di meja kamar tidurmu; kalau kau mengatakan kau sudah
membacanya, dia akan pergi dan membawa Dobrolubov5.
Di
distrik, itu disebut berpikir bebas, dan banyak orang memandang pemikiran bebas
itu sebagai eksentrisitas yang tidak ada salahnya dan tidak berbahaya; tapi itu
membuatnya sangat tidak bahagia. Baginya, itu adalah belatung yang baru saja
dia bicarakan; itu sudah menempel padanya dan mengisap darahnya. Di masa
lalunya ada pernikahan yang aneh dalam gaya Dostoevsky6; surat-surat
panjang dan salinan yang ditulis dengan tulisan tangan yang buruk dan tidak bisa
dipahami, tapi dengan perasaan yang luar biasa, kesalahpahaman yang tidak ada
habisnya, penjelasan, kekecewaan, kemudian utang, hipotek kedua, tunjangan
untuk istrinya, pinjaman uang bulanan --dan semua itu tanpa manfaat bagi siapa
pun, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Dan di masa sekarang, seperti di
masa lalu, dia masih dalam kebingungan yang kikuk, mencari tindakan heroik, dan
mencampuri urusan orang lain; seperti sebelumnya, di setiap kesempatan yang
baik, selalu ada surat-surat panjang dan salinan, percakapan-percakapan yang
membosankan dan monoton tentang masyarakat desa, atau kebangkitan kerajinan
tangan atau pendirian pabrik keju —percakapan-percakapan yang seolah-olah sudah
dipersiapkannya, bukan di dalam otaknya, melainkan melalui suatu proses
mekanis. Dan akhirnya, skandal Zina ini yang tidak kunjung usai!
Sementara
itu, Zina masih muda —usianya baru dua puluh dua— cantik, anggun, periang; dia suka
tertawa, mengobrol, berdebat, dan seorang musisi yang bersemangat; dia memiliki
selera yang baik dalam hal berpakaian, furnitur, buku, dan di rumahnya sendiri dia
tidak akan tahan dengan ruangan seperti ini, yang berbau sepatu bot dan vodka
murahan. Dia juga memiliki ide-ide yang maju, tapi dalam pemikiran bebasnya,
seseorang merasakan luapan energi, kesombongan seorang gadis muda, kuat, dan
bersemangat, yang sangat ingin menjadi lebih baik dan lebih orisinal daripada
yang lain.... Bagaimana mungkin dia jatuh cinta pada Vlassitch?
"Dia
seorang Quixote7, seorang fanatik yang keras kepala, seorang
maniak," pikir Pyotr Mihalitch, "dan dia sama lembut, penurut, dan
lemahnya seperti aku... Kami berdua mudah menyerah, tanpa perlawanan. Dia
mencintainya; tapi, aku juga mencintainya terlepas dari segalanya."
Pyotr
Mihalitch menganggap Vlassitch sebagai orang yang baik dan lugas, tapi sempit
dan berat sebelah. Dalam keresahan dan penderitaannya, dan bahkan sepanjang
hidupnya, dia tidak melihat tujuan mulia, baik yang jauh maupun yang dekat; dia
tidak melihat apa pun selain kebosanan dan ketidakmampuan untuk hidup.
Pengorbanannya dan segala sesuatu yang Vlassitch sendiri sebut sebagai tindakan
heroik atau dorongan mulia baginya tampak sebagai pemborosan tenaga yang
sia-sia, tembakan kosong yang tidak perlu yang menghabiskan banyak bubuk mesiu.
Dan keyakinan fanatik Vlassitch akan keagungan dan kesempurnaan cara
berpikirnya sendiri terasa naif dan bahkan mengerikan baginya; dan fakta bahwa
Vlassitch sepanjang hidupnya sudah berusaha mencampuradukkan hal-hal remeh
dengan hal-hal yang agung, bahwa dia sudah menikah secara bodoh dan
menganggapnya sebagai tindakan kepahlawanan, lalu berselingkuh dengan perempuan
lain dan menganggapnya sebagai kemenangan atas suatu gagasan, sungguh tidak bisa
dipahami.
Meskipun
demikian, Pyotr Mihalitch menyukai Vlassitch; dia sadar akan semacam kekuatan
dalam diri Vlassitch, dan untuk beberapa alasan dia tidak pernah tega
menentangnya.
Vlassitch
duduk cukup dekat dengannya untuk berbincang dalam gelap, diiringi rintik
hujan, dan dia berdeham sebagai pembuka untuk memulai sesuatu yang panjang,
seperti kisah pernikahannya. Tapi, Pyotr Mihalitch tidak kuasa mendengarkannya;
dia tersiksa oleh pikiran bahwa dia ingin bertemu langsung dengan adiknya.
"Ya,
kau memang kurang beruntung," katanya lembut; "tapi, maaf, kita sudah
menyimpang dari topik. Bukan itu yang sedang kita bicarakan."
"Ya,
ya, benar. Baiklah, mari kita kembali ke pokok permasalahan," kata
Vlassitch, lalu berdiri. "Kukatakan padamu, Petrusha, hati kami bersih. Kami
tidak menikah, tapi aku tidak perlu membuktikan kepadamu bahwa pernikahan kami
sah sepenuhnya. Kau bebas berpendapat seperti aku juga, dan, untungnya, tidak
ada perselisihan di antara kami dalam hal itu. Mengenai masa depan kami, itu
seharusnya tidak membuatmu khawatir. Aku akan bekerja keras, aku akan bekerja
siang dan malam —bahkan, aku akan mengerahkan segenap tenaga untuk
membahagiakan Zina. Hidupnya akan indah! Kau mungkin bertanya-tanya, apakah aku
bisa melakukannya? Aku bisa, Saudaraku! Ketika seorang laki-laki mencurahkan
setiap menitnya untuk satu pikiran, tidaklah sulit baginya untuk mencapai
tujuannya. Tapi mari kita mendatangi Zina; dia akan senang bertemu
denganmu."
Jantung
Pyotr Mihalitch berdebar kencang. Dia bangkit dan mengikuti Vlassitch ke aula,
lalu dari sana ke ruang tamu. Tidak ada apa pun di ruangan besar yang suram itu
selain sebuah piano dan deretan panjang kursi tua berhias perunggu, yang tidak
pernah diduduki siapa pun. Ada lilin menyala di piano. Dari ruang tamu, mereka
diam-diam pergi ke ruang makan. Ruangan itu pun luas dan tidak nyaman; di
tengah ruangan terdapat meja bundar dua daun dengan enam kaki tebal, dan hanya ada satu
lilin. Sebuah jam dalam kotak mahoni besar seperti dudukan ikon8
menunjukkan pukul setengah tiga.
Vlassitch
membuka pintu ke ruangan berikutnya dan berkata, "Zina, Petrusha datang
menemui kita!"
Tiba-tiba
terdengar langkah kaki tergesa-gesa dan Zina masuk ke ruang makan. Dia tinggi,
gemuk, dan sangat pucat, dan, persis seperti terakhir kali Pyotr Mihalitch melihatnya
di rumah, dia mengenakan rok hitam dan blus merah, dengan gesper besar di ikat
pinggangnya. Dia merangkul adiknya dan mencium pelipisnya.
"Badai
yang dahsyat!" katanya. "Grigory pergi entah ke mana dan aku
ditinggal sendirian di rumah."
Dia
tidak malu, dan menatap kakaknya dengan jujur dan terbuka seperti di rumah;
saat menatapnya, Pyotr Mihalitch juga kehilangan rasa malunya.
"Tapi
kau tidak pernah takut badai," katanya sambil duduk di meja.
"Tidak,"
katanya, "tapi di sini kamarnya sangat besar, rumahnya sangat tua, dan
kalau ada guntur, semuanya berderak seperti lemari penuh peralatan makan. Rumah
ini sungguh menawan," lanjutnya, duduk di hadapan kakaknya. "Ada
kenangan indah di setiap kamar. Di kamarku, hanya khayalanku saja, kakek
Grigory menembak dirinya sendiri."
"Pada
bulan Agustus kami akan punya uang untuk merenovasi pondok di taman," kata
Vlassitch.
"Entah
kenapa, setiap kali guntur bergemuruh, aku teringat kakek itu," lanjut
Zina. "Dan di ruang makan ini, seseorang dicambuk sampai mati."
"Itu
kejadian yang sebenarnya," kata Vlassitch, dan dia menatap Pyotr Mihalitch
dengan mata terbelalak. "Suatu waktu di tahun empat puluhan, tempat ini
disewakan kepada seorang Prancis bernama Olivier. Potret putrinya sekarang
terpajang di loteng —seorang gadis yang sangat cantik. Olivier ini, begitulah
cerita ayahku, membenci orang Rusia karena ketidaktahuan mereka dan
memperlakukan mereka dengan cemoohan yang kejam. Misalnya, dia memaksa pendeta
berjalan tanpa topi sejauh setengah mil mengelilingi rumahnya, dan lonceng
gereja dibunyikan ketika keluarga Olivier berkendara melewati desa. Para budak,
dan bahkan orang-orang sederhana di negeri ini, tentu saja, dia perlakukan tanpa
basa basi. Suatu ketika, di jalan ini, datanglah seorang putra pengembara Rusia
yang sederhana, agak mirip dengan murid teologi Gogol9, Homa Brut10.
Dia meminta tempat menginap, menyenangkan para petugas pengadilan, dan diberi
pekerjaan di kantor perkebunan. Ada banyak variasi cerita. Ada yang mengatakan
murid teologi itu menghasut para petani, yang lain mengatakan putri Olivier
jatuh cinta kepadanya. Aku tidak tahu mana yang benar, hanya pada suatu malam
yang indah Olivier memanggilnya ke sini dan memeriksanya, lalu memerintahkannya
untuk dipukuli. Tahukah kau, dia duduk di meja ini sambil minum anggur merah
sementara para penjaga kandang kuda memukuli laki-laki itu. Dia pasti mencoba
memeras sesuatu darinya. Menjelang pagi, mahasiswa teologi itu meninggal karena
penyiksaan dan jasadnya disembunyikan. Konon, jasadnya dibuang ke kolam milik Koltovitch.
Ada penyelidikan, tapi orang Prancis itu membayar beberapa ribu kepada orang
yang berwenang dan pergi ke Alsace. Sewanya habis saat itu, dan masalah itu pun
berakhir.
"Dasar
bajingan!" kata Zina gemetar.
“Ayahku
ingat betul Olivier dan putrinya. Dia selalu bilang putrinya luar biasa cantik
dan eksentrik. Aku membayangkan mahasiswa teologi itu sudah melakukan keduanya —menggugah
hati para petani dan merebut hati
Zina
merenung; kisah mahasiswa teologi dan gadis Prancis yang cantik itu rupanya sudah
membawa imajinasinya melayang jauh. Pyotr Mihalitch merasa Zina tidak berubah
sedikit pun selama seminggu terakhir, kecuali sedikit lebih pucat. Dia terlihat
tenang dan seperti biasa, seolah-olah dia datang bersama kakaknya untuk
mengunjungi Vlassitch. Tapi Pyotr Mihalitch merasa ada perubahan dalam dirinya.
Sebelumnya, ketika Zina tinggal di rumah, dia bisa berbicara dengannya tentang
apa saja, dan sekarang dia merasa tidak sanggup untuk menanyakan pertanyaan
sederhana, "Bagaimana perasaanmu di sini?" Pertanyaan itu terasa
canggung dan tidak perlu. Mungkin perubahan yang sama sudah terjadi dalam
dirinya. Zina tidak terburu-buru mengalihkan pembicaraan ke ibunya, ke
rumahnya, ke hubungannya dengan Vlassitch; dia tidak membela diri, ida tidak
mengatakan bahwa ikatan bebas lebih baik daripada pernikahan di gereja; dia
tidak gelisah, dan dengan tenang merenungkan kisah Olivier. Dan mengapa mereka
tiba-tiba membicarakan Olivier?
"Kalian
berdua basah kuyup karena hujan," kata Zina, sambil tersenyum gembira; dia
tersentuh oleh kemiripan antara saudaranya dan Vlassitch.
Dan
Pyotr Mihalitch merasakan segala kepahitan dan kengerian posisinya. Dia
memikirkan rumahnya yang kosong, piano yang tertutup rapat, dan kamar kecil
Zina yang terang benderang, yang sekarang tidak dimasuki seorang pun; dia berpikir
bahwa sekarang tidak ada jejak kaki kecil di jalan setapak di taman, dan bahwa
sebelum minum teh tidak seorang pun pergi mandi sambil tertawa riang. Apa yang
semakin dia pegang teguh sejak masa kecilnya, apa yang dia gemari ketika dia
duduk di ruang kelas yang pengap atau ruang kuliah —kecerahan, kemurnian, dan
kegembiraan, segala sesuatu yang memenuhi rumah dengan kehidupan dan cahaya, sudah
pergi dan tidak akan pernah kembali, sudah lenyap, bercampur dengan cerita
kasar dan canggung tentang seorang perwira batalion, seorang letnan yang gagah
berani, seorang perempuan bejat, dan seorang kakek yang menembak dirinya
sendiri. Dan mulai membicarakan ibunya atau berpikir bahwa masa lalu bisa
kembali berarti tidak memahami apa yang sudah jelas.
Mata
Pyotr Mihalitch berkaca-kaca dan tangannya mulai gemetar saat diletakkan di
atas meja. Zina menebak apa yang sedang dipikirkannya, dan matanya pun
berkaca-kaca dan tampak merah.
"Grigory,
kemarilah," katanya kepada Vlassitch.
Mereka
berjalan menuju jendela dan mulai berbisik-bisik tentang sesuatu. Dari cara
Vlassitch membungkuk ke arahnya dan cara Zina menatapnya, Pyotr Mihalitch
menyadari kembali bahwa semuanya sudah tidak terelakkan lagi, dan tidak ada
gunanya membicarakan apa pun. Zina keluar dari ruangan.
"Baiklah,
Saudaraku!" Vlassitch memulai, sesudah hening sejenak, menggosok-gosok
tangannya dan tersenyum. "Aku menyebut hidup kami tadi sebagai
kebahagiaan, tapi itu, bisa dibilang, kebebasan puitis. Kenyataannya, sejauh
ini belum ada rasa bahagia. Zina terus-menerus memikirkanmu, memikirkan ibunya,
dan merasa khawatir; melihatnya, aku juga merasa khawatir. Sifatnya berani dan
bebas, tapi, kau tahu, sulit kalau belum terbiasa, dan dia juga masih muda.
Para pelayan memanggilnya 'Nona'; kedengarannya sepele, tapi itu membuatnya
kesal. Begitulah, Saudaraku."
Zina
membawa sepiring penuh stroberi. Dia diikuti oleh seorang pelayan kecil, terlihat
lesu dan rendah hati, yang meletakkan kendi susu di atas meja dan membungkuk
sangat rendah: ada sesuatu di dalam dirinya yang mengingatkan pada perabotan
tua itu, sesuatu yang membatu dan suram.
Suara
hujan sudah berhenti. Pyotr Mihalitch sedang makan stroberi sementara Vlassitch
dan Zina menatapnya dalam diam. Momen percakapan yang tidak terelakkan tapi
sia-sia itu semakin dekat, dan ketiganya merasakan bebannya. Mata Pyotr
Mihalitch kembali berkaca-kaca; dia menyingkirkan piringnya dan berkata bahwa dia
harus pulang, atau hari akan semakin larut, dan mungkin hujan akan turun lagi.
Waktunya sudah tiba ketika kesopanan umum mengharuskan Zina untuk berbicara
tentang orang-orang di rumah dan tentang kehidupan barunya.
"Bagaimana
keadaan di rumah?" tanyanya cepat, dan wajahnya yang pucat bergetar.
"Bagaimana kabar ibu?"
"Kau
tahu, Ibu...," kata Pyotr Mihalitch, tanpa menatapnya.
"Petrusha,
kau sudah memikirkan matang-matang apa yang sudah terjadi," katanya sambil
memegang lengan baju kakaknya, dan kakaknya tahu betapa sulit baginya untuk
bicara. "Kau sudah memikirkannya matang-matang: katakan padaku, bisakah
kita berharap ibu menerima Grigory ... dan seluruh situasinya, suatu hari
nanti?"
Dia
berdiri dekat dengan kakaknya, berhadapan muka dengannya, dan dia terkesima
melihat kecantikan adiknya, seolah dia tidak menyadarinya sebelumnya. Dan
sungguh tidak masuk akal baginya bahwa adiknya, yang begitu mirip ibunya,
manja, anggun, tinggal bersama Vlassitch di rumah Vlassitch, bersama pelayan
yang membatu, dan meja berkaki enam —di rumah tempat seorang laki-laki dicambuk
sampai mati, dan bahwa adiknya itu tidak pulang bersamanya, melainkan menginap
di sini.
"Kau
tahu, ibu," katanya, tanpa menjawab pertanyaannya. "Kurasa kau
seharusnya... melakukan sesuatu, meminta maaf kepadanya atau
semacamnya..."
"Tapi
meminta maaf kepadanya berarti berpura-pura kami sudah berbuat salah. Aku siap
berbohong untuk menghibur ibu, tapi itu tidak akan membuahkan hasil. Aku tahu, ibu.
Yah, apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi!" kata Zina, semakin ceria
sesudah hal yang paling tidak mengenakkan sudah dikatakan. "Kami akan
menunggu selama lima tahun, sepuluh tahun, dan bersabar, maka kehendak Tuhan
akan terjadi."
Dia
menggandeng lengan kakaknya, dan ketika berjalan melewati lorong gelap, dia
merapatkan diri pada kakaknya. Mereka keluar melalui tangga. Pyotr Mihalitch
berpamitan, naik ke kudanya, dan mulai berjalan; Zina dan Vlassitch berjalan
agak jauh bersamanya. Suasana hening dan hangat, dengan aroma jerami yang
nikmat; bintang-bintang berkelap-kelip terang di antara awan-awan. Taman tua
Vlassitch, yang pernah menyaksikan begitu banyak kisah suram pada masanya,
terlelap dalam kegelapan, dan entah mengapa terasa sendu saat berkendara
melewatinya.
"Zina
dan aku hari ini sesudah makan malam akan menghabiskan saat-saat yang sangat
membahagiakan," kata Vlassitch. "Aku membacakan untuknya sebuah
artikel yang sangat bagus tentang isu emigrasi. Kau harus membacanya,
Saudaraku! Kau benar-benar harus membacanya. Artikel itu luar biasa karena
nadanya yang tinggi. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menulis surat
kepada editor agar diteruskan kepada penulisnya. Aku hanya menulis satu baris:
'Saya berterima kasih dan dengan hangat menjabat tangan Anda yang mulia.'"
Pyotr
Mihalitch tergoda untuk berkata, "Jangan ikut campur dalam hal yang bukan
urusanmu," tapi dia menahan diri.
Vlassitch
berjalan di dekat sanggurdi kanannya dan Zina di dekat sanggurdi kirinya;
keduanya seolah lupa bahwa mereka harus pulang. Udara lembap, dan mereka hampir
sampai di hutan kecil milik Koltovitch. Pyotr Mihalitch merasa mereka
mengharapkan sesuatu darinya, meskipun mereka hampir tidak tahu apa itu, dan dia
merasa iba tidak tertahankan kepada mereka. Sekarang, saat mereka berjalan di
dekat kuda dengan wajah pasrah, tenggelam dalam pikiran mereka, dia memiliki
keyakinan mendalam bahwa mereka tidak bahagia, dan tidak mungkin bahagia, dan
cinta mereka baginya tampak sebagai kesalahan yang melankolis dan tidak
tertolong. Rasa iba dan perasaan bahwa dia tidak mampu berbuat apa pun untuk
membantu mereka, membuatnya berada dalam kondisi spiritual yang melunak ketika dia
siap berkorban apa pun untuk menyingkirkan rasa simpati yang menyakitkan.
"Aku
akan datang suatu hari nanti untuk menginap," katanya.
Tapi,
kedengarannya seolah-olah dia sedang mengalah, dan itu tidak memuaskannya.
Ketika mereka berhenti di dekat hutan milik Koltovitch untuk mengucapkan
selamat tinggal, dia membungkuk ke arah Zina, menyentuh bahunya, dan berkata, "Kau
benar, Zina! Kau sudah melakukannya dengan baik." Agar tidak berkata lebih
banyak dan tidak menangis, dia mencambuk kudanya dan memacu kudanya ke dalam
hutan. Saat dia berkuda menembus kegelapan, dia menoleh dan melihat Vlassitch
dan Zina berjalan pulang menyusuri jalan —dia melangkah lebar, sementara Zina
berjalan dengan langkah tergesa-gesa dan tersentak-sentak di sampingnya— berbicara
dengan penuh semangat tentang sesuatu.
"Aku
sudah tua!" pikir Pyotr Mihalitch. "Aku sudah berusaha memecahkan
masalah ini, tapi malah membuatnya semakin rumit —begitulah!"
Hatinya
terasa berat. Ketika keluar dari hutan, dia turun dari kudanya dan berjalan
kaki, lalu menghentikan kudanya di dekat kolam. Dia ingin duduk dan berpikir dengan
diam. Bulan sedang terbit dan terpantul dalam semburat merah di sisi lain
kolam. Terdengar gemuruh guntur pelan di kejauhan. Pyotr Mihalitch menatap air
dengan mantap dan membayangkan keputusasaan adiknya, wajahnya yang pucat bak
martir, mata tanpa air mata yang dia gunakan untuk menyembunyikan rasa malunya
dari orang lain. Dia membayangkan adiknya mengandung, membayangkan kematian ibu
mereka, pemakamannya, ketakutan Zina... Perempuan tua yang sombong dan percaya
takhayul itu pasti akan mati karena duka. Gambaran-gambaran mengerikan tentang
masa depan muncul di hadapannya dengan latar belakang air yang tenang dan
gelap, dan di antara sosok-sosok perempuan pucat dia melihat dirinya sendiri,
seorang laki-laki lemah dan pengecut dengan wajah bersalah.
Seratus
langkah jauhnya di tepi kanan kolam, sesuatu yang gelap berdiri tidak bergerak:
apakah itu manusia atau tiang tinggi? Pyotr Mihalitch teringat pada mahasiswa
teologi yang sudah terbunuh dan dibuang ke dalam kolam.
"Olivier
memang bertindak tidak manusiawi, tapi entah bagaimana dia berhasil
menyelesaikan masalahnya, sementara aku tidak menyelesaikan apa pun dan malah
memperburuknya," pikirnya, menatap sosok gelap yang tampak seperti hantu.
"Dia berkata dan melakukan apa yang menurutnya benar, sementara aku
berkata dan melakukan apa yang menurutku salah; dan aku tidak tahu persis apa
yang kupikirkan..."
Dia
menunggang kuda mendekati sosok gelap itu: itu adalah tiang tua yang lapuk, bekas
tiang suatu gudang.
Dari
hutan dan taman milik Koltovitch, tercium aroma harum bunga lili lembah dan
bunga-bunga yang kaya madu. Pyotr Mihalitch berkuda di sepanjang tepi kolam dan
menatap air dengan sendu. Dan merenungkan hidupnya, dia sampai pada kesimpulan
bahwa dia tidak pernah mengatakan atau bertindak sesuai dengan apa yang
sebenarnya dia pikirkan, dan orang lain pun membalasnya dengan cara yang sama.
Maka seluruh kehidupan terasa segelap air ini, tempat langit malam terpantul
dan rumput air tumbuh kusut. Dan baginya, tidak ada yang bisa memperbaikinya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Count: gelar bangsawan Eropa.
2 Savoir-faire: kemampuan untuk bertindak atau berbicara dengan tepat dalam situasi sosial.
3 Dmitry Ivanovich Pisarev (1840–1868):
kritikus sastra dan filsuf Rusia yang merupakan tokoh sentral nihilisme Rusia.
Dia dikenal sebagai pelopor filsafat Nietzschean, dan atas dampak advokasinya
terhadap gerakan pembebasan dan ilmu pengetahuan alam terhadap sejarah Rusia.
4 Charles Robert Darwin (1809–1882):
naturalis, geolog, dan biologiwan Inggris, yang dikenal luas atas kontribusinya
pada biologi evolusi. Usulannya bahwa semua spesies kehidupan berasal dari satu
nenek moyang yang sama kini diterima secara umum dan dianggap sebagai konsep
ilmiah fundamental. Darwin digambarkan sebagai salah satu tokoh paling
berpengaruh dalam sejarah manusia dan dihormati dengan pemakaman di Westminster
Abbey.
5 Nikolay Alexandrovich Dobrolyubov
(1836–1861): penyair, kritikus sastra, jurnalis, dan tokoh terkemuka
gerakan revolusioner Rusia. Dia adalah pahlawan sastra bagi Karl Marx dan
Lenin.
6 Fyodor Mikhailovich Dostoevsky
(1821–1881): novelis, penulis cerita pendek, esais, dan jurnalis Rusia. Dia
dianggap sebagai salah satu novelis terhebat dalam sastra Rusia dan dunia, dan
banyak karyanya dianggap sebagai mahakarya yang sangat berpengaruh. Karya
sastra Dostoevsky mengeksplorasi kondisi manusia dalam atmosfer politik,
sosial, dan spiritual yang bermasalah di Rusia abad ke-19 , dan terlibat dengan
berbagai tema filosofis dan religius.
7 Don Quixote: nama tokoh yang
kompleks dan unik di dalam novel berjudul sama karya Miguel de Cervantes.
Awalnya diterbitkan dalam dua bagian pada tahun 1605 dan 1615, novel ini
dianggap sebagai karya pendiri sastra Barat dan sering dikatakan sebagai novel
modern pertama.
8 Ikon: karya seni keagamaan,
paling umum berupa lukisan, dalam budaya gereja Ortodoks Timur, Ortodoks
Oriental, Katolik, dan Lutheran. Subjek yang paling umum termasuk Yesus, Maria,
orang-orang kudus, dan malaikat.
9 Nikolai Vasilyevich Gogol
(1809–1852): novelis Rusia, penulis cerita pendek, dan penulis drama asal
Ukraina.
10 Homa Brut: tokoh utama dalam cerita horor Viy karya Nikolai Gogol, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1835. Dalam cerita tersebut, Homa Brut adalah seorang mahasiswa filsafat dari Kiev yang terlibat dalam peristiwa supranatural yang menguji iman dan keberaniannya.

Comments
Post a Comment