Noda (Mire ~ Anton Chekhov)
Bergoyang
dengan anggun di pelana, seorang pemuda berjubah putih salju layaknya seorang
perwira berkuda memasuki halaman luas penyulingan vodka milik ahli waris M. E.
Rothstein. Matahari tersenyum acuh tak acuh pada bintang-bintang kecil sang
letnan, pada batang-batang putih pohon birch, pada tumpukan pecahan kaca yang
berserakan di halaman. Keindahan hari musim panas yang cerah dan penuh semangat
menyelimuti segalanya, dan tidak ada yang menghalangi daun-daun hijau muda yang
tajam untuk menari riang dan berkedip-kedip di langit biru yang cerah. Bahkan
tampilan gudang batu bata yang kotor dan berlumuran jelaga serta asap
penyulingan yang menyesakkan tidak merusak kesan indah itu. Sang letnan
melompat riang dari pelana, menyerahkan kudanya kepada seorang laki-laki yang
berlari menghampiri, dan sambil membelai kumis hitamnya yang halus dengan
jarinya, masuk melalui pintu depan. Di anak tangga teratas yang sudah tua tapi
masih cerah dan berkarpet lembut itu, dia disambut oleh seorang pelayan perempuan
berwajah angkuh dan tidak terlalu muda. Sang letnan memberikan kartu namanya
tanpa berkata apa-apa.
Saat
dia berjalan menyusuri ruangan-ruangan sambil membawa kartu itu, pelayan itu
melihat nama ‘Alexandr Grigoryevitch Sokolsky’ di sana. Semenit kemudian dia
kembali dan memberi tahu sang letnan bahwa majikannya tidak bisa menemuinya
karena sedang tidak enak badan. Sokolsky menatap langit-langit dan
mengerucutkan bibir bawahnya.
"Menjengkelkan
sekali!" katanya. "Dengar, sayangku," katanya penuh semangat.
"Pergi dan beri tahu Susanna Moiseyevna, bahwa aku perlu bicara dengannya —sangat
perlu. Aku hanya akan menahannya sebentar. Mintalah dia untuk mengijinkan aku
menemuinya."
Pelayan
itu mengangkat satu bahunya dan pergi dengan lesu menemui majikannya.
"Baiklah!"
desahnya, lalu kembali setelah jeda singkat. "Silakan masuk!"
Sang
letnan berjalan bersamanya melewati lima atau enam ruangan besar berperabotan
mewah dan sebuah koridor, dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah ruangan
persegi yang besar dan megah. Sejak langkah pertama, dia sudah terkesan dengan
banyaknya bunga dan tanaman, serta aroma melati yang manis dan sedikit membuat
mual. Bunga-bunga ditata membentuk teralis di sepanjang dinding, menaungi
jendela, digantung di langit-langit, dan dirangkai di sudut-sudut ruangan,
sehingga ruangan itu lebih mirip rumah kaca daripada tempat tinggal. Burung
tit, kenari, dan burung pipit emas berkicau di antara dedaunan hijau dan mengepakkan
sayapnya di kaca jendela.
"Maafkan
saya karena menerima Anda di sini," sang letnan mendengar suara feminin
yang lembut dengan ‘rrr’ di huruf ‘r’ yang cukup memikat. "Kemarin saya
sakit kepala parah, dan saya berusaha untuk tetap diam agar tidak kambuh lagi.
Ada yang Anda inginkan?"
Tepat
di seberang pintu masuk, dia melihat seorang perempuan duduk di kursi panjang
rendah, seperti yang biasa digunakan orang-orang tua, mengenakan gaun tidur
Cina yang mahal, dengan kepala terbungkus, bersandar di bantal. Tidak ada yang
terlihat di balik selendang wol yang menutupinya, kecuali hidung pucat,
panjang, runcing, agak bengkok, dan satu mata besar berwarna gelap. Gaun
tidurnya yang longgar menyembunyikan sosoknya, tapi dilihat dari tangannya yang
indah, suaranya, hidungnya, dan matanya, usianya mungkin baru dua puluh enam
atau dua puluh delapan tahun.
"Maafkan
saya karena terlalu memaksa...," sang letnan memulai, sambil mengetukkan
taji sepatunya. "Perkenalkan, Sokolsky! Saya datang membawa pesan dari
sepupu saya, tetangga Anda, Alexey Ivanovitch Kryukov, yang..."
"Saya
tahu!" sela Susanna Moiseyevna. "Saya kenal Kryukov. Duduklah; saya
tidak suka sesuatu yang besar berdiri di hadapan saya."
"Sepupu
saya meminta saya untuk membantu Anda," lanjut sang letnan, sambil
mengetukkan taji sepatunya sekali lagi dan duduk. "Faktanya, almarhum ayah
Anda membeli gandum dari sepupu saya musim dingin lalu, dan masih ada sedikit
utang. Pembayarannya baru jatuh tempo minggu depan, tapi sepupu saya sangat
memohon Anda untuk membayarnya —kalau memungkinkan, hari ini juga."
Saat
letnan berbicara, dia mencuri pandang ke sekelilingnya.
"Tentunya
aku tidak sedang berada di kamar tidurnya kan?" pikirnya.
Di
salah satu sudut ruangan, tempat dedaunan paling lebat dan tinggi, di bawah
tenda merah muda seperti kanopi pemakaman, tergeletak sebuah tempat tidur yang
belum dirapikan, dengan seprai masih berantakan. Di dekatnya, di atas dua kursi
berlengan, tergeletak tumpukan pakaian perempuan yang kusut. Rok dan lengan
baju dengan renda dan lipatan kusut menjuntai di karpet, di sana-sini
tergeletak potongan pita putih, puntung rokok, dan kertas bungkus karamel. Di
bawah tempat tidur, dengan ujung runcing dan persegi, segala jenis sandal
mengintip dalam barisan panjang. Dan bagi sang letnan, aroma melati sepertinya
bukan berasal dari bunga-bunga, melainkan dari tempat tidur dan sandal-sandal
itu.
"Dan
berapa jumlahnya?" tanya Susanna Moiseyevna.
"Dua
ribu tiga ratus."
"Oho!"
kata perempuan Yahudi itu, sambil menunjukkan mata hitam besar lainnya.
"Dan Anda sebut itu —sedikit! Tapi, sama saja membayarnya hari ini atau
membayarnya minggu depan, saya harus membayar begitu banyak dalam dua bulan
terakhir sejak kematian ayah saya. Banyak sekali urusan yang tidak penting,
sampai-sampai kepala saya pusing! Ide bagus! Saya ingin pergi ke luar negeri,
dan mereka terus memaksa saya mengurus hal-hal konyol ini. Vodka, gandum...,"
gumamnya, setengah memejamkan mata, "gandum, tagihan, persentase, atau,
seperti kata kepala bagian saya, 'persentase'. Sungguh buruk. Kemarin saya
mengusir petugas cukai. Dia mengganggu saya dengan Tralles-nya. Saya bilang
padanya: 'Persetan dengan Tralles-mu! Aku tidak mau bertemu siapa pun!' Dia
mencium tangan saya dan pergi. Begini, tidak bisakah sepupu Anda menunggu dua
atau tiga bulan lagi?"
"Pertanyaan
yang kejam!" sang letnan tertawa. "Sepupu saya bisa menunggu setahun,
tapi saya yang tidak bisa menunggu! Begini, saya bertindak buat diri saya
sendiri, harus saya katakan kepada Anda. Bagaimanapun caranya saya harus punya
uang, dan sialnya sepupu saya tidak punya satu rubel pun tersisa. Saya terpaksa
mondar-mandir dan menagih utang. Saya baru saja mengunjungi seorang petani,
penyewa rumah kami; sekarang saya datang kepada Anda; dari sini saya akan pergi
ke tempat lain, dan terus seperti itu sampai saya mengumpulkan lima ribu rubel.
Saya sangat membutuhkan uang itu!"
"Omong
kosong! Apa yang diinginkan anak muda dengan uang? Keinginan sesaat, kenakalan.
Apa Anda suka berfoya-foya? Atau kalah main kartu? Atau Anda mau menikah?"
"Anda
sudah menebaknya!" sang letnan tertawa, lalu bangkit sedikit dari tempat
duduknya dan membunyikan taji sepatunya. "Saya mau menikah."
Susanna
Moiseyevna menatap tajam ke arah tamunya, memasang wajah masam, lalu mendesah.
"Saya tidak mengerti apa yang merasuki orang hingga mau menikah!" katanya, sambil mencari sapu tangan di sakunya. "Hidup ini begitu singkat, kebebasan seseorang begitu terbatas, dan mereka harus membelenggu diri mereka sendiri!"
"Setiap
orang punya caranya sendiri dalam memandang sesuatu..."
"Ya,
ya, tentu saja; setiap orang punya cara pandangnya sendiri... Tapi, saya pikir,
apa Anda benar-benar akan menikahi seseorang yang miskin? Apa Anda sedang jatuh
cinta? Dan kenapa Anda harus punya lima ribu? Kenapa empat atau tiga saja tidak
cukup?"
"Lidah
yang tajam!" pikir sang letnan, lalu menjawab, "Masalahnya, seorang
perwira tidak diizinkan oleh hukum untuk menikah sebelum berusia dua puluh
delapan tahun; kalau Anda memilih untuk menikah, Anda harus meninggalkan dinas
atau membayar deposit sebesar lima ribu."
"Ah,
sekarang saya mengerti. Dengar. Anda tadi bilang setiap orang punya cara
pandang sendiri. Mungkin tunanganmu seseorang yang istimewa dan luar biasa,
tapi... tapi saya sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana laki-laki yang baik
bisa hidup dengan seorang perempuan. Saya tidak bisa memahaminya seumur hidup
saya. Saya sudah hidup selama, puji Tuhan, dua puluh tujuh tahun, dan saya
belum pernah melihat perempuan yang layak dipertahankan. Mereka semua perempuan
murahan, tidak bermoral, pembohong. Satu-satunya yang bisa saya tolerir cuma
juru masak dan pembantu rumah tangga saya, tapi perempuan-perempuan yang saya
maksud itu tidak akan saya biarkan mendekati saya. Tapi, puji Tuhan, mereka juga
membenci saya dan tidak memaksakan diri untuk mendekati saya! Kalau salah satu
dari mereka menginginkan uang, mereka mengirim suaminya, tapi tidak ada yang
bisa membujuknya untuk datang sendiri, bukan karena sombong —tidak, tapi karena
pengecut; mereka takut saya membuat keributan. Oh, saya sangat memahami
kebencian mereka! Sangat! Saya secara terbuka menunjukkan apa yang mereka sembunyikan
sebisa mungkin dari Tuhan dan manusia. Bagaimana mungkin mereka tidak membenci
saya? Tidak diragukan lagi Anda pasti juga sudah mendengar banyak gosip tentang
saya..."
"Saya
baru tiba di sini beberapa hari ini..."
"Tut,
tut, tut! Saya bisa melihat dari mata Anda! Tapi istri kakak Anda, pasti dia
yang menyuruh Anda untuk melakukan hal ini? Bayangkan membiarkan seorang pemuda
menemui perempuan seburuk itu tanpa memberitahunya —bagaimana mungkin dia bisa?
Ha, ha! Tapi katakan kepada saya, bagaimana kabar kakak Anda? Dia laki-laki
yang baik, laki-laki yang tampan! Saya sudah beberapa kali melihatnya di misa.
Kenapa Anda menatap saya seperti itu? Saya sering sekali ke gereja! Kita semua
punya Tuhan yang sama. Bagi orang yang terpelajar, hal-hal jasmani tidak lebih
penting daripada rohani. Begitu, kan?"
"Ya,
tentu saja...," sang letnan tersenyum.
"Ya,
idenya adalah... Tapi Anda sama sekali tidak mirip dengan kakak Anda. Anda juga
tampan, tapi kakak Anda jauh lebih tampan. Kemiripannya sangat sedikit!"
"Itu
wajar saja; dia bukan kakak saya, tapi sepupu saya."
"Ah,
tentu saja! Jadi Anda harus punya uang hari ini? Kenapa hari ini?"
"Cuti
saya akan berakhir dalam beberapa hari."
"Baiklah,
apa yang harus saya lakukan kepada Anda!" desah Susanna Moiseyevna.
"Baiklah. Saya akan memberi Anda uang, meskipun saya tahu Anda akan
mencaci-maki saya nanti. Anda akan bertengkar dengan istri Anda setelah
menikah, dan berkata: 'Kalau saja perempuan Yahudi kudisan itu tidak memberiku
uang, mungkin aku sudah bebas seperti burung hari ini!' Apakah tunangan Anda
cantik?”
"Oh
ya..."
"Hm!
Baiklah, setidaknya ada sesuatu, minimal cantik, daripada tidak ada apa-apa
sama sekali. Secantik apa pun seorang perempuan, kecantikannya tidak akan
pernah bisa menebus kebodohan suaminya."
"Itu
benar!" sang letnan tertawa. "Anda sendiri seorang perempuan, dan
benar-benar pembenci perempuan!"
"Seorang
perempuan...," Susanna tersenyum. "Bukan salah saya Tuhan menciptakan
saya seperti ini, kan? Saya tidak lebih bersalah karenanya daripada Anda yang
berkumis. Biola itu tidak bertanggung jawab atas pilihan wadahnya. Saya sangat
menyayangi diri saya sendiri, tapi ketika seseorang mengingatkan saya bahwa saya
adalah seorang perempuan, saya mulai membenci diri saya sendiri. Baiklah, Anda
boleh keluar, dan saya akan berpakaian. Tunggu saya di ruang tamu."
Sang
letnan keluar, dan hal pertama yang dilakukannya adalah menarik napas
dalam-dalam, untuk menghilangkan bau melati yang menyengat, yang mulai
mengiritasi tenggorokannya dan membuatnya merasa pusing.
"Perempuan
yang aneh!" pikirnya sambil melihat sekelilingnya. "Dia pintar
bicara, tapi... terlalu banyak bicara, dan terlalu bebas. Dia pasti punya
penyakit saraf."
Ruang
tamu, tempat dia berdiri sekarang, berperabotan mewah, dan berkelas. Ada
piring-piring perunggu gelap berpola relief, pemandangan Nice dan Rhine di atas
meja, lampu-lampu dinding kuno, patung-patung Jepang, tapi semua upaya mengejar
kemewahan dan gaya ini justru mempertegas kurangnya selera yang tampak jelas
pada cornice1 berlapis emas, kertas dinding yang mencolok,
taplak meja beludru cerah, dan oleograf2 biasa dalam bingkai tebal.
Kesan buruk dari keseluruhan ruangan semakin terasa karena kurangnya sentuhan
akhir dan ruangan yang terlalu sesak, yang memberi kesan ada sesuatu yang
kurang, dan banyak barang yang seharusnya dibuang. Jelas sekali bahwa perabotan
tersebut tidak dibeli sekaligus, melainkan diambil dari lelang dan kesempatan
menarik lainnya.
Entah
selera apa yang bisa dibanggakan sang letnan, tapi dia juga menyadari satu
keanehan di seluruh tempat itu, yang tidak bisa dihapus oleh kemewahan atau
gaya apa pun —sama sekali tidak ada jejak tangan-tangan perempuan yang teliti,
yang, seperti kita semua tahu, memberikan kehangatan, puisi, dan kenyamanan
pada perabotan sebuah ruangan. Ada kesan dingin di sana, seperti yang ditemukan
di ruang tunggu stasiun, di klub, dan di lobi teater.
Hampir
tidak ada apa pun di ruangan itu yang benar-benar Yahudi, kecuali, mungkin,
gambar besar pertemuan Yakub dengan Esau. Sang letnan melihat sekelilingnya,
dan, mengangkat bahu, memikirkan kenalan barunya yang aneh, tentang sikapnya
yang bebas dan santai, dan cara bicaranya. Tapi kemudian pintu terbuka, dan di
ambang pintu muncul perempuan itu, dalam gaun hitam panjang, begitu ramping dan
berenda ketat sehingga sosoknya tampak seolah-olah baru diputar di mesin bubut.
Sekarang letnan itu melihat bukan cuma hidung dan mata, tapi juga wajah putih
tipis, kepala hitam dan keriting seperti bulu domba. Perempuan itu tidak membuatnya
tertarik, meskipun dia tidak terlihat jelek juga di matanya. Sang letnan
memiliki prasangka terhadap wajah-wajah non-Rusia pada umumnya, dan dia juga
mempertimbangkan bahwa wajah putih perempuan itu, yang putihnya karena suatu
alasan menunjukkan aroma melati yang memuakkan, tidak cocok dengan ikal hitam
kecil alisnya yang tebal; hidung dan telinganya sangat putih, seperti hidung
dan telinga mayat, atau dibuat dengan lilin transparan. Ketika dia tersenyum,
gusi dan giginya terlihat pucat, dan sang letnan pun tidak menyukainya.
"Sakit
anemia..." pikirnya; "dia mungkin gugup seperti kalkun."
"Saya
di sini! Ayo!" katanya, berjalan cepat di depannya dan memetik daun-daun
kuning dari tanaman saat dia lewat.
"Saya
akan langsung memberi uangnya, dan kalau Anda mau, saya akan mengajak makan
siang. Dua ribu tiga ratus rubel! Setelah semua urusan ini selesai, Anda pasti lapar.
Anda suka kamar saya? Para perempuan di sekitar sini bilang kamar saya selalu
berbau bawang putih. Dengan olok-olok kuliner itu, akal sehat mereka habis. Saya
meyakinkan Anda bahwa saya tidak punya bawang putih bahkan di ruang bawah
tanah. Dan suatu hari ketika seorang dokter datang menemui saya yang berbau
bawang putih, saya memintanya untuk mengambil topinya dan menyebarkan aromanya
ke tempat lain. Tidak ada bau bawang putih di sini, tapi tempat ini berbau
obat-obatan. Ayah saya lumpuh selama satu setengah tahun, dan seluruh rumah
berbau obat-obatan. Satu setengah tahun! Saya sedih kehilangannya, tapi saya
senang dia sudah meninggal: dia sangat menderita!"
Dia
menuntun sang letnan melewati dua ruangan yang mirip ruang tamu, melewati aula
penerima tamu yang luas, dan berhenti di ruang kerjanya. Di sana terdapat meja perempuan
yang dipenuhi pernak-pernik kecil. Di karpet dekat meja itu, beberapa buku
berserakan, terbuka, dan terlipat. Melalui pintu kecil yang mengarah dari ruang
kerja, sang letnan melihat sebuah meja makan.
Masih
terus bicara, Susanna mengeluarkan beberapa kunci kecil dari sakunya dan
membuka lemari yang dirancang dengan cerdik dengan tutup melengkung miring.
Ketika tutupnya dibuka, lemari itu mengeluarkan nada sendu yang membuat sang
letnan teringat pada harpa Aeolia3. Susanna mengambil kunci lain dan
menekan kunci yang lain.
"Saya
punya lorong bawah tanah dan pintu-pintu rahasia di sini," katanya sambil
mengeluarkan sebuah tas kecil dari kulit maroko. "Lemarinya aneh, ya? Dan
di tas ini saya menyimpan seperempat kekayaan saya. Lihat betapa gemuknya! Anda
tidak akan mencekik saya, kan?"
Susanna
menatap sang letnan dan tertawa ramah. Sang letnan pun ikut tertawa.
"Dia
cukup periang," pikirnya, sambil memperhatikan tombol-tombol yang bergerak
di antara jari-jarinya.
"Ini
dia," katanya, sambil mengambil kunci portofolio. "Sekarang, Tuan
Kreditur, keluarkan surat utang itu. Uang itu sungguh bodoh! Sangat remeh, tapi
tetap saja perempuan-perempuan menyukainya! Saya seorang Yahudi, Anda tahu,
sampai ke sumsum tulang. Saya sangat menyukai Shmul dan Yankel4,
tapi saya sangat membenci hasrat menimbun harta dalam darah Semit kami. Mereka
menimbun dan mereka tidak tahu untuk apa mereka menimbun. Seharusnya seseorang
hidup dan menikmati diri sendiri, tapi mereka takut mengeluarkan uang lebih.
Dalam hal itu saya lebih seperti prajurit berkuda daripada Shmul. Saya tidak
suka uang disimpan lama di satu tempat. Dan secara keseluruhan, saya rasa saya
tidak seperti seorang Yahudi. Apakah aksen saya terlalu jelas, ya?"
"Apa
yang bisa saya katakan?" gumam sang letnan. "Anda lancar berbahasa
Rusia, tapi Anda suka menggulung huruf ‘r’-nya."
Susanna
tertawa dan memasukkan kunci kecil itu ke dalam lubang kunci portofolio. Sang letnan
mengeluarkan segulungan kecil surat utang dari sakunya dan meletakkannya di
atas meja bersama sebuah buku catatan.
"Tidak
ada yang lebih menunjukkan ke-Yahudi-an seseorang selain aksennya," lanjut
Susanna, menatap sang letnan dengan riang. "Seberapa pun dia menirukan
ucapan orang Rusia atau Prancis, mintalah dia mengucapkan 'feather' dan dia
akan menjawab 'fedder'... tapi saya mengucapkannya dengan benar: 'Feather!
feather! feather!'"
Keduanya
tertawa.
"Demi
Jupiter, dia sangat periang!" pikir Sokolsky.
Susanna
meletakkan tasnya di atas kursi, melangkah ke arah sang letnan, dan sambil
mendekatkan wajahnya ke wajah sang letnan, dia melanjutkan dengan riang, "Selain
orang Yahudi, saya tidak begitu menyukai orang selain orang Rusia dan Prancis. Saya
tidak pintar di sekolah dan tidak tahu sejarah, tapi menurut saya nasib dunia
ada di tangan kedua bangsa itu. Saya tinggal lama di luar negeri, saya
menghabiskan enam bulan di Madrid, saya sudah melihat banyak orang, dan
kesimpulan yang saya dapat adalah bahwa tidak ada bangsa yang hebat kecuali
orang Rusia dan Prancis. Ambil contoh bahasa. Bahasa Jerman seperti ringkikan
kuda; sedangkan bahasa Inggris, Anda tidak bisa membayangkan yang lebih bodoh. Fight--feet--foot!
Bahasa Italia cuma menyenangkan kalau diucapkan perlahan. Kalau Anda
mendengarkan orang Italia mengoceh, Anda seperti mendengar bahasa prokem
Yahudi. Dan orang Polandia? Kasihanilah kami! Tidak ada bahasa yang
se-menjijikkan itu! 'Nie pieprz, Pietrze, pieprzem wieprza bo mozeoz
przepieprzyé wieprza pieprzem.' Artinya: 'Jangan taburi babi itu dengan
merica, Pyotr, kalau tidak kau akan memberi terlalu banyak merica pada babi itu.'
Ha, ha, ha!"
Susanna
Moiseyevna memutar bola matanya dan tertawa terbahak-bahak, begitu menyenangkan
dan menular sehingga sang letnan, yang menatapnya, tertawa terbahak-bahak. Dia
memegang kancing baju tamunya itu, lalu melanjutkan, "Anda tentu saja
tidak suka orang Yahudi... mereka punya banyak kekurangan, seperti semua
bangsa. Saya tidak membantahnya. Tapi apakah orang Yahudi yang harus
disalahkan? Tidak, bukan orang Yahudi yang harus disalahkan, melainkan para
perempuan Yahudi! Mereka berpikiran sempit, serakah; mereka tidak punya puisi,
mereka membosankan. Anda belum pernah hidup dengan perempuan Yahudi, jadi Anda
tidak tahu betapa luar biasanya itu!"
Susanna
Moiseyevna mengucapkan kata-kata terakhir dengan penekanan yang disengaja dan
tanpa semangat atau tawa. Dia terdiam seolah takut akan kejujurannya sendiri,
dan wajahnya tiba-tiba berubah dengan cara yang aneh dan tidak terduga. Matanya
menatap sang letnan tanpa berkedip, bibirnya terbuka dan memperlihatkan
gigi-giginya yang terkatup rapat. Seluruh wajahnya, tenggorokannya, bahkan
dadanya, tampak bergetar dengan ekspresi penuh kebencian seperti kucing. Masih
menatap tamunya, dia segera membungkuk ke satu sisi, dan dengan sigap, bagaikan
kucing, menyambar sesuatu dari meja. Semua itu hanya dalam hitungan detik.
Sambil memperhatikan gerakannya, sang letnan melihat lima jarinya meremas-remas
surat utangnya dan sekilas melihat kertas putih yang bergemerisik saat
menghilang di genggaman tangan perempuan itu. Perubahan yang begitu luar biasa
dari tawa riang menjadi kejahatan begitu membuatnya ngeri sehingga dia memucat
dan mundur selangkah....
Dan
perempuan itu, masih menatapnya dengan mata ketakutan dan mencari-cari, meraba
pinggulnya dengan tangan terkepal untuk mencari sakunya. Tangannya seperti
kejang berjuang keras untuk mencari saku, seperti ikan di jaring, dan tidak bisa
menemukan lubangnya. Sesaat kemudian, surat utang itu akan lenyap di balik
pakaiannya, tapi pada saat itu sang letnan menjerit samar, dan, lebih tergerak
oleh naluri daripada hasil permenungan, mencengkeram perempuan Yahudi itu di
lengannya di atas kepalan tangan yang terkepal. Memperlihatkan giginya lebih
dari sebelumnya, perempuan itu berjuang dengan sekuat tenaga dan menarik
tangannya. Kemudian Sokolsky melingkarkan lengan kanannya erat-erat di
pinggangnya, dan tangan yang lainnya di dadanya dan sebuah pergulatan pun
terjadi. Karena takut menyentuhnya karena dia perempuan atau menyakitinya, sang
letnan hanya mencoba untuk mencegahnya bergerak, dan memegang kepalan tangan
dengan surat utang itu; tapi dia menggeliat seperti belut dalam pelukannya
dengan tubuh yang lentur dan fleksibel, memukulnya di dada dengan sikunya, dan
mencakarnya, sehingga sang letnan tidak bisa menahan diri untuk tidak
menyentuhnya sekujur tubuhnya, dan terpaksa menyakitinya dan mengabaikan
kesopanan.
"Betapa
anehnya! Betapa anehnya!" pikirnya, benar-benar takjub, hampir tidak
percaya pada indranya, dan merasa agak mual karena aroma melati.
Dalam
diam, terengah-engah, tersandung perabotan, mereka bergerak di sekitar ruangan.
Susanna hanyut dalam pergumulan itu. Wajahnya memerah, memejamkan mata, dan
lupa diri, bahkan satu kali menempelkan wajahnya ke wajah sang letnan, sehingga
ada rasa manis yang tersisa di bibirnya. Akhirnya sang letnan menangkap
tangannya yang terkepal. Memaksanya untuk membuka, dan tidak menemukan
kertas-kertas di dalamnya, dia melepaskan perempuan Yahudi itu. Dengan wajah
memerah dan rambut acak-acakan, mereka saling memandang, terengah-engah.
Ekspresi jahat seperti kucing di wajah perempuan Yahudi itu perlahan-lahan
digantikan oleh senyum ramah. Dia tertawa terbahak-bahak, dan berbalik dengan
satu kaki, pergi menuju ruangan tempat makan siang sudah disiapkan. Sang letnan
perlahan mengikutinya. Dia duduk di meja, dan, wajahnya masih memerah dan
terengah-engah, menenggak setengah gelas port5.
"Dengar,"
sang letnan memecah keheningan, "Saya harap Anda bercanda?"
"Tidak
sedikit pun," jawabnya sambil memasukkan sepotong roti ke mulutnya.
"Hm!
Bagaimana Anda ingin saya memahami semua ini?"
"Sesukamu.
Duduk dan makan siang!"
"Tapi...
itu tidak jujur!"
"Mungkin.
Tapi jangan repot-repot memberiku khotbah; aku punya cara pandangku
sendiri."
"Tidakkah
Anda akan mengembalikannya?"
"Tentu
saja tidak! Kalau kau orang miskin yang malang, tidak punya apa-apa untuk
dimakan, masalahnya akan berbeda. Tapi —dia ingin menikah!"
"Itu
bukan uang saya, Anda tahu; itu uang sepupu saya!"
"Dan
apa yang sepupumu inginkan dengan uang itu? Untuk membelikan baju-baju modis
untuk istrinya? Tapi aku sama sekali tidak peduli apakah ‘belle-soeur6’-mu
punya gaun atau tidak."
Sang
letnan sudah lupa bahwa dia berada di rumah asing bersama seorang perempuan tidak
dikenal, dan tidak lagi peduli dengan sopan santun. Dia mondar-mandir di
ruangan itu, merengut, dan dengan gugup meraba-raba rompinya. Fakta bahwa perempuan
Yahudi itu sudah merendahkan dirinya di matanya karena tindakannya yang tidak
jujur, membuatnya merasa lebih berani dan lebih bebas.
"Setan
tahu apa yang harus dilakukan!" gerutunya. "Dengar. Saya tidak akan
pergi dari sini sampai saya mendapatkan surat utangnya!"
"Ah,
lebih baik kalau begitu," Susanna tertawa. "Kalau kau tinggal di sini
selamanya, aku akan lebih senang."
Terpacu
oleh perdebatan itu, sang letnan memandangi wajah Susanna yang tertawa menghina,
mulutnya yang mengunyah, dadanya yang membusung, dan dia menjadi semakin berani
dan kurang ajar. Alih-alih memikirkan surat utang itu, entah mengapa dia justru
mulai mengingat dengan agak gembira kisah-kisah sepupunya tentang petualangan
romantis perempuan Yahudi itu, tentang gaya hidupnya yang bebas, dan ingatan-ingatan
itu justru membuatnya semakin berani. Tanpa pikir panjang, dia duduk di samping
perempuan Yahudi itu dan, tanpa memikirkan surat utang itu lagi, mulai makan.
"Kau
mau vodka atau anggur?" tanya Susanna sambil tertawa. "Jadi, kau akan
tinggal sampai mendapatkan surat utangmu? Kasihan! Berapa hari dan malam yang
harus kau habiskan bersamaku, menunggu surat utang itu! Apa tunanganmu tidak
akan berkomentar tentang ini?"
II
Lima
jam sudah berlalu. Sepupu sang letnan, Aleksey Ivanovitch Kryukov,
berjalan-jalan di kamar-kamar rumah pedesaannya dengan baju tidur dan sandal,
sambil memandang ke luar jendela dengan tidak sabar. Dia seorang laki-laki
jangkung dan tegap, dengan janggut hitam lebat dan wajah jantan; dan seperti
yang dikatakan perempuan Yahudi itu, dia tampan, meskipun usianya sudah
mencapai batas ketika laki-laki cenderung menjadi terlalu gemuk, bengkak, dan
botak. Dari segi pikiran dan temperamen, dia termasuk salah satu dari
sifat-sifat yang dimiliki kaum intelektual Rusia: hangat, baik hati, terdidik,
memiliki pengetahuan seni dan sains, iman yang tinggi, dan rasa hormat yang
tinggi, tapi malas dan kurang mendalam. Dia gemar makan dan minum enak, jago
main whist7, suka perempuan dan kuda, tapi di lain sisi dia
apatis dan lamban seperti anjing laut, dan untuk membangunkannya dari
kelesuannya dibutuhkan sesuatu yang luar biasa dan menjijikkan, lalu dia akan
melupakan segalanya dan menunjukkan aktivitas yang intens; dia akan marah dan
membicarakan duel, menulis petisi tujuh halaman kepada seorang Menteri, memacu
kudanya dengan kecepatan tinggi di seluruh distrik, menyebut seseorang ‘bajingan’
di depan umum, mengajukan tuntutan hukum, dan seterusnya.
"Kenapa
Sasha kita belum pulang?" tanyanya terus-menerus kepada istrinya, sambil
melirik ke luar jendela. "Kenapa, sudah waktunya makan malam?"
Setelah
menunggu sang letnan hingga pukul enam, mereka duduk untuk makan malam. Tapi,
ketika waktu makan malam tiba, Aleksey Ivanovitch mendengarkan setiap langkah
kaki, setiap suara pintu, dan terus mengangkat bahu.
"Aneh!"
katanya. "Si jagoan nakal itu pasti menginap di rumah salah satu penyewa."
Saat
dia hendak tidur setelah makan malam, Kryukov berpikir bahwa sang letnan sedang
dijamu di rumah salah satu penyewa, tempat dia akan menginap malam itu setelah
malam yang meriah.
Alexandr
Grigoryevitch baru kembali keesokan paginya. Dia terlihat sangat kusut dan
bingung.
"Aku
ingin bicara denganmu berdua saja...," katanya misterius kepada sepupunya.
Mereka
masuk ke ruang kerja. Sang letnan menutup pintu, dan dia mondar-mandir cukup
lama sebelum mulai bicara.
"Ada
sesuatu yang terjadi, kawan," dia memulai, "yang aku tidak tahu
bagaimana cara menceritakannya kepadamu. Kau tidak akan percaya..."
Dan
tersipu, terbata-bata, tanpa menatap sepupunya, dia menceritakan apa yang
terjadi dengan surat utang itu. Kryukov, berdiri dengan kaki terbuka lebar dan
kepala tertunduk, mendengarkan sambil mengerutkan kening.
"Apa
kau bercanda?" tanyanya.
"Mana
mungkin aku bercanda? Ini bukan main-main!"
"Aku
tidak mengerti!" gerutu Kryukov, wajahnya memerah dan mengangkat
tangannya. "Kau benar-benar... tidak bermoral. Di depan matamu sendiri,
seorang perempuan jalang sedang merencanakan sesuatu, entah apa, kejahatan
serius, memainkan trik kotor, dan kau pergi menciumnya!"
"Tapi
aku sendiri tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi!" bisik sang letnan,
mengerjap dengan rasa bersalah. "Demi kehormatanku, aku tidak mengerti!
Ini pertama kalinya dalam hidupku aku bertemu monster seperti itu! Bukan
kecantikannya yang membuatmu terpukau, bukan juga pikirannya, tapi... kau
mengerti... keangkuhan, sinisme..."
"Keangkuhan,
sinisme... itu najis! Kalau kau begitu mendambakan keangkuhan dan sinisme, kau
mungkin sudah mengambil seekor babi betina dari lumpur dan melahapnya
hidup-hidup. Lagipula, itu akan lebih murah! Daripada dua ribu tiga
ratus!"
"Kau
benar-benar mengekspresikan dirimu dengan elegan!" kata sang letnan sambil
mengerutkan kening. "Aku akan membayarmu kembali dua ribu tiga
ratus!"
"Aku
tahu kau akan membayarnya, tapi ini bukan masalah uang! Persetan uang itu! Yang
membuatku muak adalah kau begitu lemah dan tidak berdaya... begitu kotor dan
lemah! Dan sudah bertunangan! Dengan tunanganmu!"
"Jangan
bicarakan itu..." kata sang letnan, tersipu. "Aku sudah muak dengan
diriku sendiri. Rasanya aku ingin tenggelam ke dalam tanah. Sungguh memuakkan
dan menjengkelkan bahwa aku harus merepotkan bibiku demi lima ribu itu..."
Kryukov
terus menerus mengungkapkan kemarahan dan gerutuannya selama beberapa waktu,
lalu, ketika dia mulai tenang, dia duduk di sofa dan mulai mengejek sepupunya.
"Kalian
para perwira muda!" katanya dengan nada ironis yang menghina.
"Pengantin laki-laki yang baik."
Tiba-tiba
dia melompat seolah tersengat, menghentakkan kakinya, dan berlari mengelilingi
ruang kerja itu.
"Tidak,
aku tidak akan membiarkannya begitu saja!" katanya sambil mengepalkan
tinjunya. "Aku akan mengambil surat utang itu, aku akan mengambilnya! Aku
akan menghajarnya! Laki-laki tidak boleh memukul perempuan, tapi aku akan
mematahkan setiap tulangnya... aku akan menghajarnya sampai hancur! Aku bukan
letnan! Kau tidak akan menyentuhku dengan keangkuhan atau sinisme! Tidak-ti-dak,
sialan! Mishka!" teriaknya, "lari dan suruh mereka mengeluarkan droshky8
untukku!"
Kryukov
berpakaian cepat, dan tanpa menghiraukan sang letnan yang gelisah, dia masuk ke
dalam droshky, lalu dengan sebuah lambaian tangan, berpacu kemncang
menuju Susanna Moiseyevna. Lama sang letnan menatap ke luar jendela, ke arah
awan debu yang bergulung-gulung mengikuti droshky sepupunya, meregangkan
badan, menguap, lalu pergi ke kamarnya sendiri. Seperempat jam kemudian dia
tertidur lelap.
Pada
pukul enam dia dibangunkan dan dipanggil untuk makan malam.
"Alangkah
baiknya Alexey!" sapa istri sepupunya di ruang makan. "Dia membuat
kita menunggu makan malam."
"Maksudmu
dia belum kembali?" sang letnan menguap. "Hm! Dia mungkin pergi
menemui penyewa."
Tapi,
Alexey Ivanovitch juga belum kembali saat makan malam. Istrinya dan Sokolsky
memutuskan bahwa dia sedang bermain kartu di rumah salah satu penyewa dan
kemungkinan besar akan menginap di sana. Tapi, apa yang terjadi ternyata tidak
seperti yang mereka duga.
Kryukov
kembali keesokan paginya, dan tanpa menyapa siapa pun, tanpa sepatah kata pun,
bergegas ke ruang kerjanya. "Bagaimana?" bisik sang letnan,
menatapnya dengan mata bulat. Kryukov melambaikan tangannya dan mendengus.
"Kenapa,
ada apa? Apa yang kau tertawakan?"
Kryukov
menjatuhkan diri di sofa, menenggelamkan kepalanya di bantal, dan tertawa
terbahak-bahak. Semenit kemudian dia bangkit, menatap sang letnan yang terkejut,
dengan mata berkaca-kaca karena tertawa, dan berkata, "Tutup pintunya.
Nah... dia per-em-pu-an, aku beri tahu kau!"
"Apa
kau sudah mendapatkan surat utangnya?"
Kryukov
melambaikan tangannya dan tertawa terbahak-bahak lagi.
"Nah!
Dia perempuan!" lanjutnya. "Terima kasih sudah memberitahu, Nak! Dia
seperti iblis yang memakai rok. Aku datang; aku masuk seperti Jupiter yang
begitu ingin membalas dendam, kau tahu, sampai-sampai aku merasa takut pada
diriku sendiri. Aku mengerutkan kening, aku merengut, bahkan mengepalkan
tanganku agar lebih terkesan... 'Lelucon tidak ada gunanya bagiku, Nyonya!'
kataku, dan kurang lebih seperti itu. Dan aku mengancamnya dengan hukum dan
Gubernur. Awalnya dia menangis tersedu-sedu, berkata bahwa dia bercanda
denganmu, dan bahkan membawaku ke lemari untuk memberiku uang. Lalu dia mulai
berargumen bahwa masa depan Eropa ada di tangan Prancis, dan Rusia, memaki-maki
perempuan. Seperti dirimu, aku mendengarkan, terpesona, betapa bodohnya aku. Dia
terus memuji ketampananku, menepuk lenganku di dekat bahu, untuk melihat
seberapa kuat aku, dan... dan seperti yang kau lihat, aku baru saja lepas
darinya! Ha, ha! Dia sangat suka kepadamu!”
"Kau
orang baik!" sang letnan tertawa. "Laki-laki yang sudah menikah!
Sangat dihormati. Nah, apa kau tidak malu? Jijik? Tapi, candaannya, orang tua,
kau sudah punya Ratu Tamara9 di rumahmu..."
"Di
rumahku sendiri! Wah, kau tidak akan menemukan bunglon seperti itu di seluruh
Rusia! Aku belum pernah melihat yang seperti itu seumur hidupku, meskipun aku
juga cukup tahu tentang perempuan. Aku pernah mengenal iblis biasa, tapi aku tidak
pernah bertemu yang seperti itu. Seperti katamu, dengan keangkuhan dan sinisme
dia bisa menguasaimu. Yang menarik darinya adalah ketiba-tibaannya yang
mengerikan, perubahan yang cepat, rona wajah yang berubah juga... Brrr! Dan
utangnya —fiuh! Anggap saja hilang. Kita berdua pendosa besar, kita akan
menanggung dosa kita setengah-setengah. Aku akan membayarmu bukan dua ribu tiga
ratus, tapi setengahnya. Ingat, beri tahu istriku kalau aku sedang di rumah
penyewa."
Kryukov
dan sang letnan membenamkan kepala mereka di bantal, lalu tertawa
terbahak-bahak; mereka mengangkat kepala, saling melirik, lalu kembali
tenggelam ke bantal.
"Bertunangan!
Seorang letnan!" ejek Kryukov.
"Menikah!"
balas Sokolsky. "Sangat dihormati! Kepala keluarga!"
Saat
makan malam, mereka mengobrol dengan nada terselubung, saling mengedipkan mata,
dan, yang mengejutkan yang lain, terus-menerus tertawa terbahak-bahak di balik
serbet makan mereka. Setelah makan malam, masih dalam suasana hati yang baik,
mereka berpakaian seperti orang Turki, dan, saling mengejar dengan senjata,
bermain tentara-tentaraan dengan anak-anak. Malam harinya, mereka berdebat
panjang lebar. Sang letnan bersikukuh bahwa menerima mas kawin dari istri
adalah hal yang kejam dan hina, meskipun ada cinta yang membara di kedua belah
pihak. Kryukov menggebrak meja dengan tinjunya dan menyatakan bahwa itu absurd,
dan bahwa seorang suami yang tidak suka istrinya memiliki harta sendiri adalah
seorang egois dan lalim. Keduanya berteriak-teriak, emosi meluap, tidak saling
memahami, minum banyak, dan akhirnya, sambil mengangkat baju tidur mereka,
pergi ke kamar tidur masing-masing. Mereka segera tertidur dan mendengkur.
Kehidupan
terus berjalan seperti sebelumnya, bahkan, lamban dan tanpa duka. Bayang-bayang
terhampar di bumi, guntur menggelegar dari awan, sesekali angin merintih pilu,
seolah membuktikan bahwa alam pun bisa meratap, tapi tidak ada yang mengganggu
ketenangan mereka yang biasa. Mereka tidak mengatakan apa-apa tentang Susanna
Moiseyevna dan surat utang itu. Entah bagaimana, keduanya merasa malu untuk
membicarakan kejadian itu dengan lantang. Tapi, mereka mengingatnya dan
memikirkannya dengan gembira, seperti lelucon aneh, yang secara tidak terduga
dan tidak sengaja dimainkan oleh kehidupan, dan yang akan menyenangkan untuk
dikenang di masa tua.
Pada
hari keenam atau ketujuh setelah kunjungannya kepada perempuan Yahudi itu,
Kryukov duduk di ruang kerjanya di pagi hari, menulis surat ucapan selamat
untuk bibinya. Alexandr Grigoryevitch mondar-mandir di dekat meja dalam diam.
Sang letnan tidur nyenyak malam itu; dia terbangun dengan perasaan tertekan,
dan sekarang dia merasa bosan. Dia mondar-mandir, memikirkan akhir cutinya,
tunangannya yang sedang menantikannya, bagaimana orang-orang bisa menjalani
hidup di pedesaan tanpa merasa bosan. Berdiri di dekat jendela, lama dia
menatap pepohonan, menghisap tiga batang rokok berturut-turut, lalu tiba-tiba
menoleh ke arah sepupunya.
"Aku
ingin meminta sesuatu padamu, Alyosha," katanya. "Beri aku kuda untuk
hari ini..."
Kryukov
menatapnya dengan tajam dan melanjutkan tulisannya sambil mengerutkan kening.
"Jadi,
apakah kau akan memberikannya?" tanya sang letnan.
Kryukov
menatapnya lagi, lalu dengan sengaja menarik laci di meja, dan mengeluarkan
gulungan kertas tebal, lalu memberikannya kepada sepupunya.
"Ini
lima ribu..." katanya. "Meskipun bukan uangku, tapi, Tuhan
memberkatimu, semuanya sama saja. Aku sarankan kau segera mengirim kuda dan
pergi. Sungguh!"
Sang
letnan pada gilirannya menatap Kryukov dengan tajam dan tertawa.
"Tebakanmu
benar, Alyosha," katanya, wajahnya memerah. "Aku memang berniat
menunggang kuda ke sana. Kemarin malam, ketika tukang cuci memberiku tunik
sialan itu, yang kupakai waktu itu, dan baunya melati, wah... aku merasa harus
pergi!"
"Kau
harus pergi."
"Ya,
tentu saja. Dan cutiku baru saja berakhir. Aku sungguh akan pergi hari ini! Ya,
demi Tuhan! Selama apa pun seseorang tinggal, pada akhirnya dia harus pergi... aku
pergi!"
Kuda-kuda
pos dibawa setelah makan malam di hari yang sama; sang letnan mengucapkan
selamat tinggal kepada keluarga Kryukov dan berangkat, diikuti dengan ucapan
selamat mereka.
Seminggu
berlalu. Hari itu mendung, panas, dan berat. Sejak pagi Kryukov berjalan tanpa
tujuan di rumah, memandang ke luar jendela, atau membolak-balik halaman album,
meskipun dia sudah muak melihatnya. Ketika dia bertemu istri atau anak-anaknya,
dia mulai menggerutu kesal. Entah mengapa hari itu, dia merasa tata krama
anak-anaknya menjijikkan, istrinya tidak tahu cara mengurus para pelayan, dan
pengeluaran mereka tidak sebanding dengan pendapatan mereka. Semua itu berarti ‘sang
tuan’ sedang tidak bersemangat.
Setelah
makan malam, Kryukov, yang merasa tidak puas dengan sup dan daging panggang
yang dimakannya, memesan droshky-nya. Dia melaju perlahan keluar dari
halaman, melaju dengan kecepatan berjalan kaki sejauh seperempat mil, lalu
berhenti.
"Haruskah
aku... mendatanginya... iblis itu?" pikirnya sambil menatap langit kelabu.
Dan
Kryukov tertawa terbahak-bahak, seolah-olah baru pertama kali dia menanyakan
pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Seketika beban kebosanan terangkat dari
hatinya, dan muncullah secercah kegembiraan di mata malasnya. Dia mencambuk
kudanya.
Sepanjang
jalan dia membayangkan betapa terkejutnya perempuan Yahudi itu saat melihatnya,
betapa dia akan tertawa dan mengobrol, lalu pulang ke rumah dengan perasaan
segar.
"Sebulan
sekali, kita butuh sesuatu yang mencerahkan... sesuatu yang berbeda dari yang
biasa," pikirnya, "sesuatu yang akan mengguncang organisme yang
stagnan, sebuah reaksi... entah itu pesta minum-minum, atau... Susanna. Kita tidak
bisa hidup tanpanya."
Hari
mulai gelap ketika dia berkendara memasuki halaman penyulingan vodka. Dari
jendela rumah pemiliknya yang terbuka, terdengar suara tawa dan nyanyian:
'Lebih
terang daripada kilat, lebih panas daripada api....’
Terdengar
sebuah suara bass yang kuat dan lembut.
"Aha!
Dia kedatangan tamu," pikir Kryukov.
Dan
dia kesal karena perempuan itu kedatangan tamu.
"Haruskah
aku kembali?" pikirnya sambil memegang bel, tapi dia tetap membunyikan
bel, lalu menaiki tangga yang sudah dikenalnya. Dari pintu masuk, dia melirik
ke ruang tamu. Ada sekitar lima laki-laki di sana —semuanya pemilik tanah dan
pejabat kenalannya; salah satunya, seorang laki-laki jangkung dan kurus, sedang
duduk di depan piano, bernyanyi, dan menekan tuts-tuts dengan jari-jarinya yang
panjang dan kurus. Yang lainnya mendengarkan dan menyeringai senang. Kryukov
mengamati dirinya dari atas ke bawah di cermin, dan hendak masuk ke aula,
ketika Susanna Moiseyevna sendiri melesat masuk, dengan semangat tinggi dan
mengenakan gaun hitam yang sama. Melihat Kryukov, dia membeku sesaat, lalu dia
menjerit kecil dan berseri-seri gembira.
"Kaukah
itu?" katanya sambil menggenggam tangannya. "Kejutan sekali!"
"Ini
dia!" Kryukov tersenyum, melingkarkan lengannya di pinggangnya. "Nah!
Apakah nasib Eropa masih berada di tangan Prancis dan Rusia?"
"Senang
sekali," tawa perempuan Yahudi itu, sambil hati-hati melepaskan lengannya.
"Ayo, masuk ke aula; mereka semua teman di sana. Aku akan pergi dan
meminta mereka membawakanmu teh. Namamu Alexey, kan? Baiklah, masuklah, aku
akan menyusul..."
Perempuan
itu mengecupnya sekilas lalu berlari keluar pintu, meninggalkan aroma melati
yang sama menyengatnya. Kryukov mengangkat kepala dan berjalan memasuki aula. Dia
tampak akrab dan bersahabat dengan semua laki-laki di ruangan itu, tapi tidak
mengangguk kepada mereka; mereka pun tidak menanggapi, seolah-olah tempat
pertemuan mereka kurang nyaman, dan seolah-olah mereka diam-diam sepakat bahwa
lebih baik mereka tidak saling mengenal.
Dari
aula, Kryukov berjalan ke ruang tamu, dan dari sana ke ruang tamu kedua. Dalam
perjalanan, dia bertemu tiga atau empat tamu lain, juga laki-laki yang dia
kenal, meskipun mereka hampir tidak mengenalinya. Wajah mereka memerah karena
minuman dan kegembiraan. Aleksey Ivanovitch melirik mereka sekilas dan
terheran-heran bagaimana orang-orang ini, para kepala keluarga terhormat, yang
pernah mengalami kesedihan dan kekurangan, bisa merendahkan diri mereka dengan
kegembiraan yang begitu menyedihkan dan murahan! Dia mengangkat bahu,
tersenyum, dan berjalan pergi.
"Ada
tempat-tempat," renungnya, "di mana orang yang sadar merasa sakit,
dan orang yang mabuk justru bergembira. Aku ingat aku tidak pernah bisa
menonton operet atau pertunjukan gipsi saat aku masih sadar: anggur membuat
orang lebih baik dan mendamaikannya dengan kejahatan..."
Tiba-tiba
dia berdiri diam, ketakutan, dan memegang erat kusen pintu dengan kedua
tangannya. Di meja tulis di ruang kerja Susanna, duduk Letnan Alexandr
Grigoryevitch. Dia sedang membicarakan sesuatu dengan nada rendah bersama
seorang Yahudi yang gemuk dan berwajah lembek, dan melihat sepupunya, wajahnya
memerah dan langsung mengambil sebuah album.
Rasa
hormat bergejolak dalam diri Kryukov dan darahnya berdesir hebat. Diliputi rasa
takjub, malu, dan marah, dia berjalan menuju meja tanpa sepatah kata pun.
Kepala Sokolsky tertunduk lebih rendah dari sebelumnya. Wajahnya dipenuhi rasa
malu yang menyiksa.
"Ah,
ternyata kau, Alyosha!" serunya, berusaha keras mengangkat mata dan
tersenyum. "Aku datang ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal, dan,
seperti yang kau lihat... Tapi besok aku pasti akan pergi."
"Apa
yang bisa kukatakan kepadanya? Apa?" pikir Alexey Ivanovich.
"Bagaimana aku bisa menghakiminya karena aku sendiri di sini?"
Dan
sambil berdeham tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia keluar perlahan-lahan.
'Jangan
panggil dia di surga, dan tinggalkan dia di bumi...'
Suara
bas berkumandang di aula. Tidak lama kemudian, droshky Kryukov berdentum
di jalanan berdebu.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Cornice: cetakan dekoratif
horizontal atau proyeksi yang terletak di bagian atas sebuah bangunan, dinding,
pintu, atau jendela, yang berfungsi sebagai elemen pelindung atau hiasan
2 Oleograf: cetakan
litografi yang bertekstur menyerupai lukisan cat minyak.
3 Harpa Aeolia (atau harpa angin):
alat musik yang dimainkan oleh angin. Dinamai berdasarkan Aeolus, dewa angin
Yunani kuno, harpa Aeolian tradisional pada dasarnya adalah kotak kayu papan
suara, dengan senar yang direntangkan memanjang di atas dua jembatan. Harpa ini
sering ditempatkan di jendela yang sedikit terbuka di mana angin dapat bertiup
melintasi senar untuk menghasilkan suara.
4 Shmul
dan Yankel: Samuel dan Yakub; nama nabi
dalam kepercayaan Yahudi dan Kristen.
5 Port: sejenis anggur yang
diperkaya dan diproduksi secara eksklusif di Lembah Douro, Portugal. Anggur ini
dikenal sebagai anggur merah manis yang sering dinikmati sebagai anggur
penutup, dengan berbagai jenis seperti Ruby, Tawny, White, dan Vintage Port
yang menawarkan beragam profil rasa, meskipun juga bisadisajikan sebagai
aperitif.
6 Belle-soeur: adik ipar (Prancis).
7 Whist: permainan kartu, biasanya
untuk dua pasang pemain, di mana poin dicetak berdasarkan jumlah trik yang
dimenangkan.
8 Droshky: sejenis kereta terbuka
beroda empat, yang secara historis digunakan di Rusia dan negara-negara Eropa
Timur lainnya, ditandai dengan bangku panjang dan sempit tempat penumpang duduk
mengangkang atau menyamping.
9 Ratu Tamara (1160–1213): memerintah sebagai Ratu Georgia dari tahun 1184 hingga 1213, memimpin puncak Zaman Keemasan Georgia. Seorang anggota dinasti Bagrationi, posisinya sebagai perempuan pertama yang memerintah Georgia atas haknya sendiri ditekankan oleh gelar mepe (" raja "), yang diberikan kepada Tamara dalam sumber-sumber Georgia abad pertengahan.

Comments
Post a Comment