Keringat (Sweat ~ Zora Neale Hurston)
Dia
berjongkok di lantai dapur di samping tumpukan besar pakaian, memilah
pakaian-pakaian itu menjadi tumpukan kecil berdasarkan warna, dan
menyenandungkan sebuah lagu dengan nada sedih, tapi di tengah semua itu dia
bertanya-tanya ke mana Sykes, suaminya, pergi bersama kuda dan keretanya.
Tepat
saat itu, sesuatu yang panjang, bulat, lemas, dan hitam jatuh di bahunya dan
meluncur ke lantai di sampingnya. Rasa takut yang hebat mencengkeramnya. Rasa
takut itu melunakkan lututnya dan mengeringkan mulutnya sehingga butuh semenit
penuh sebelum dia bisa berteriak atau bergerak. Kemudian dia melihat bahwa itu
adalah cambuk banteng besar yang biasa dibawa suaminya saat berkendara.
Dia
mengangkat pandangannya ke pintu dan melihat suaminya berdiri di sana,
membungkuk sambil tertawa melihatnya ketakutan. Dia pun berteriak kepada suaminya.
"Sykes,
ngapain kau lempar cambuk itu ke aku kayak gitu? Kau tahu itu bikin aku takut —kayak
ular, dan kau tahu aku takut banget sama ular."
"Ya
pasti aku tahu! Makanya aku gitu." Dia menepuk kakinya sendiri dan hampir
berguling-guling di tanah saking senangnya. "Kalau kau bodoh banget kayak
gitu sampai ngamuk cuma gara-gara cacing atau tali, aku gak peduli seberapa
parah aku menakut-nakutimu."
"Kau
gak boleh melakukannya. Itu dosa. Suatu hari nanti aku bisa mati gara-gara
kebodohanmu. Satu lagi, ke mana aja kau dengan keretaku? Aku yang ngasih makan
kuda poni itu. Dia bukan buat kau ajak jalan-jalan sambil kau cambuki."
"Kau
memang perempuan negro yang menyebalkan!" serunya lalu melangkah masuk. Perempuan
itu melanjutkan pekerjaannya dan tidak langsung menjawab. "Aku sudah bolak-balik
bilang untuk tidak menerima baju orang kulit putih di rumah ini."
Dia
mengambil cambuk dan memelototinya. Delia melanjutkan pekerjaannya. Dia pergi
ke halaman dan kembali membawa bak galvanis lalu meletakkannya di meja cuci. Dia
melihat Sykes sudah menendang-nendang semua pakaian hingga terkumpul lagi, dan sekarang
berdiri dengan garang menghalangi jalannya, seluruh sikap Sykes seperti berharap,
berdoa, agar terjadi pertengkaran. Tapi dia berjalan dengan tenang mengitari
Sykes dan mulai menyusun kembali pakaian-pakaian itu.
"Lain
kali, kutendang semua keluar," ancamnya sambil menyulut korek api di
sepanjang kaki celana korduroinya.
Delia
tidak mengalihkan pandangan dari pekerjaannya, dan bahunya yang kurus dan
bungkuk semakin merosot. "Aku gak mau ribut malam ini, Sykes. Aku baru
pulang menerima sakramen di gereja."
Suaminya
mendengus sinis. "Ya, kau baru pulang dari gereja di Minggu malam, tapi
kau malah pergi mencuci baju-baju itu. Kau munafik. Salah satu dari mereka —orang
Kristen di pojokan— yang bilang amin, nyanyi, sorak-sorak, dan teriak-teriak,
lalu pulang dan mencuci baju orang kulit putih di hari Sabat."
Dia
menginjak tumpukan pakaian paling putih dengan kasar, menendanginya hingga
berantakan saat melintasi ruangan. Istrinya menjerit kecil karena cemas, dan
segera mengumpulkannya kembali.
"Sykes,
berhenti ngacak-acak baju-baju ini! Gimana aku bisa selesai hari Sabtu kalau
aku tidak mulai hari Minggu?"
"Aku
gak peduli kau selesai atau gak selesai. Lagian, aku sudah bilang sama Tuhan
dan orang-orang, aku tidak akan membiarkan barang-barang itu ada di rumahku. Gak
usah membantah, atau aku akan membuang semuanya dan meninju kepalamu."
Kelembutan
Delia yang biasa seakan terlepas dari bahunya seperti syal yang terurai. Dia
berdiri tegak; tubuh mungilnya yang malang, dan buku-buku jari tangannya yang
telanjang dengan berani menantang raksasa tegap di hadapannya.
"Dengar, Sykes, kau sudah keterlaluan. Aku sudah kawin denganmu selama lima belas tahun, dan aku sudah mencuci selama lima belas tahun. Keringat, keringat, keringat! Bekerja dan berkeringat, menangis dan berkeringat, berdoa dan berkeringat!"
"Apa
hubungannya denganku?" tanyanya dengan brutal.
"Apa
hubungannya denganmu, Sykes? Bak cucianku lebih sering mengisi perutmu dengan
makanan daripada tanganmu. Keringatku sudah membayar untuk rumah ini, dan
kurasa aku akan terus berkeringat di dalamnya."
Dia
mengambil wajan besi dari kompor dan berpose defensif, tindakan yang sangat
mengejutkan suaminya, karena dilakukan olehnya. Hal itu membuatnya takut dan dia
tidak memukulnya seperti biasanya.
"Tidak
akan," katanya terengah-engah, "perempuan negro tua tonggos yang kau pacari
itu tidak akan datang ke sini untuk menumpang hidup dari keringat dan darahku.
Kau gak membayar sepeser pun untuk tempat ini, dan aku akan tetap di sini bahkan
kalau aku diseret keluar."
"Sudahlah,
lebih baik kau berhenti membuatku kesal, kalau gak mereka akan membawamu keluar
lebih cepat dari yang kau duga. Aku sudah capek denganmu, aku tidak tahu harus
berbuat apa. Oh Tuhan! Aku benci perempuan kurus!"
Sedikit
terkejut oleh Delia yang baru itu, dia menyelinap keluar pintu dan membanting
pintu belakang. Dia tidak mengatakan ke mana dia akan pergi, tapi Delia tahu
betul. Delia tahu betul bahwa dia tidak akan kembali sampai hampir pagi juga.
Sesudah pekerjaannya selesai, Delia pergi tidur tapi tidak langsung tidur.
Segalanya sudah berakhir!
Dia
terjaga, memandangi serpihan-serpihan yang mengotori jejak pernikahan mereka. Tidak
ada secuil pun kenangan yang tersisa di sepanjang jalan itu. Semuanya seperti
bunga yang sudah lama tenggelam dalam aliran asin yang diperas dari hatinya.
Air matanya, keringatnya, darahnya. Dia membawa cinta ke dalam ikatan itu sementara
suaminya hanya membawa nafsu belaka. Dua bulan sesudah pernikahan, suaminya
memberinya pukulan brutal pertama. Dia teringat akan perjalanan-perjalanan
suaminya ke Orlando dengan semua upahnya dan ketika dia kembali tanpa uang
sepeser pun, bahkan sebelum tahun pertama berlalu. Dia masih muda dan lembut
saat itu, tapi sekarang dia memikirkan tubuhnya yang berotot dan keras,
tangannya yang kasar dan kaku, lalu meringkuk menjadi bola kecil yang tidak
bahagia di tengah kasur bulu yang besar. Terlambat sudah untuk mengharapkan
cinta, bahkan kalau itu bukan karena Bertha, pasti akan ada orang lain. Kasus
ini berbeda dari yang lain hanya karena perempuan itu lebih berani daripada
yang lain. Terlambat untuk segalanya kecuali rumah kecilnya. Dia membangunnya
untuk menghabiskan masa tuanya, dan menanam pohon serta bunga satu per satu di
sana. Rumah itu indah baginya, sangat indah.
Entah
bagaimana, sebelum tidur, dia mendapati dirinya berkata keras-keras: "Yah,
apa pun yang melewati punggung Iblis, pasti masuk ke perutnya. Cepat atau
lambat, Sykes, seperti semua orang, akan menuai apa yang dia tabur." Sesudah
itu, dia bisa membangun benteng spiritual melawan suaminya. Amunisi suaminya tidak
lagi bisa menjangkaunya. Amin. Dia tertidur lagi sampai suaminya mengumumkan
kehadirannya di tempat tidur dengan menendang kakinya dan dengan kasar menarik
selimut.
"Kasih
aku tempat sedikit, dan singkirkan kakimu ke tempatmu sendiri! Aku seharusnya
menampar mulutmu karena mengangkat wajan ke mukaku."
Delia
pindah sampai ke pinggir kasur tanpa menjawab. Sebuah sikap acuh tak acuh yang
penuh kemenangan terhadap segala hal yang dia katakan atau lakukan.
***
Minggu
itu penuh dengan pekerjaan bagi Delia seperti minggu-minggu lainnya, dan hari
Sabtu menempatkan dirinya di belakang kuda poni kecilnya, mengumpulkan dan
mengantarkan pakaian.
Hari
itu sangat panas menjelang akhir Juli. Para laki-laki desa di beranda Joe
Clarke bahkan mengunyah tebu dengan lesu. Mereka tidak melempar bonggol-bonggol
tebu seperti biasa. Mereka membiarkannya jatuh di tepi beranda. Bahkan
percakapan pun terhenti karena panas.
"Nah
ini dia Delia Jones," kata Jim Merchant, saat kuda poni berbulu lebat itu
berbelok di tikungan jalan ke arah mereka. Kandang kuda berkarat itu penuh
dengan keranjang berisi cucian bersih dan segar.
"Yoi,"
Joe Lindsay setuju. "Panas-dingin, hujan-panas, begitu saja terus. Delia
mengantar dan mengambil baju setiap Sabtu."
"Dia
bisa lebih cakep kalau doyan makan," kata Moss. "Syke Jones tidak
punya peluru dan mesiu yang bisa membunuh mereka berdua. Ya, kan?"
"Pastinya,"
sela Walter Thomas. "Sayang sekali, karena dia benar-benar cakep waktu Sykes
mendapatkannya. Aku sudah melamarnya kalau saja dia gak duluan."
Delia
mengangguk sebentar ke arah para laki-laki itu saat dia lewat.
"Terlalu
sering digebuki akan menghancurkan perempuan yang mana pun. Pukulannya bisa
membunuh tiga perempuan, apalagi kalau cuma mengubah penampilannya," kata
Elijah Moseley. "Gimana Syke bisa kuat sama si Mogul besar, hitam, dan
berminyak yang tidur sama dia ya, sialan. Aku bersumpah perempuan hitam legam
itu pasti bahkan gak bisa mencium bau kaleng sarden yang sudah kubuang setahun
yang lalu."
"Ya
karena dia gendut, gitu. Dia sukanya sama yang gendut-gendut," sela
Merchant. "Dia pasti sudah lama kawin sama perempuan gendut kalau saja ada
yang mau sama dia sebelumnya. Apa aku sudah pernah cerita soal dia yang menggoda
istriku —membawakannya sekeranjang kacang pecan dari halamannya buat hadiah? Iya,
istriku! Dia langsung bilang untuk membawanya pulang, soalnya Delia kerja keras
banget di bak cucian itu sampai-sampai dia rasa semua yang ada di tempat itu
rasanya seperti keringat dan busa sabun. Aku berharap dia ketahuan waktu itu! Biar
kubakar dia di jalan."
"Aku
tahu dia memang gitu orangnya. Aku lihat dia senyum-senyum sama semua perempuan,"
kata Walter Thomas. "Tapi gitu-gitu juga, dia pernah pasang muka tembok
untuk mendapatkan perempuan kecil yang sekarang jadi istrinya itu. Istrinya itu
cantik kayak anak anjing berbintik! Itu dulu, lima belas tahun yang lalu. Dia dulu
takut kehilangan istrinya sampai-sampai dia bisa memaksa suaminya itu
mengerjakan kerjaan seorang suami. Pikiran mereka sudah gak sama lagi."
"Seharusnya
ada hukum tentang dia," kata Lindsay. "Dia gak cocok disuruh
ngapa-ngapain."
Clarke
bicara untuk pertama kalinya. “Gak ada hukum di dunia ini yang bisa membuat orang
jadi baik kalau memang bukan itu sifatnya. Banyak laki-laki yang sudah kawin
dan memperlakukan istrinya kayak sebatang tebu. Awalnya tebu itu bulat, berair,
dan manis pas dimakan. Tapi mereka peras dan giling, peras dan giling, dan puntir-puntir,
sampai keluar semua kenikmatannya. Pas mereka sudah puas memeras sampai kering,
mereka memperlakukannya kayak sepah. Mereka buang. Mereka tahu apa yang mereka
lakukan pas melakukannya, dan membenci diri mereka sendiri karena itu, tapi
mereka tetap saja begitu sampai istrinya benar-benar kering. Terus mereka benci
sama istrinya dan dianggap jadi penghalang.”
"Kita
harusnya membawa Syke dan perempuan jalang itu ke rawa Danau Howell dan memecut
mereka sampai mereka gak bisa bilang ‘Ampun, Tuhan.' Dia memang negro yang suka
maksa, tapi sejak perempuan kulit putih dari utara itu mengajarinya nyetir, dia
jadi sombong untuk dibiarkan hidup –kita harusnya membunuhnya," saran Pak
Tua Anderson.
Terdengar
gumaman setuju dari beranda. Tapi, panasnya udara justru melunturkan perdebatan
soal moral mereka, dan Elijah Moseley mulai menggoda Joe Clarke.
"Ayo,
Joe, ambil semangka dari sana dan potong-potong buat langgannanmu ini. Kami
kepanasan nih. Aku udah mau mati kepanasan ini!"
"Yoi,
Joe, cuma semangka itu yang aku butuh biar gak kepanasan," Walter Thomas mendukung
Moseley. "Ayolah, Joe. Kami semua ini langganan setia dan kau sudah lama gak
melayani kami. Aku pilih yang panjang, montok, dan favorit Floridy itu."
"Ya
Tuhan, gak usah berisik. Kalian semua kasih aku dua puluh sen dan potong saja
sendiri," balas Clarke. "Aku juga butuh. Ya sudah, semuanya ikut motong.
Aku pinjamkan pisau dagingku."
Uang
segera terkumpul dan semangka besar itu pun dibawa. Pada saat itu, Sykes dan
Bertha datang. Keheningan menyelimuti teras dan semangka itu pun disimpan
kembali.
Pedagang
itu menutup bilah pisau lipatnya dan bergerak menuju pintu toko.
"Ayo
masuk, Joe, kasih aku sepotong daging babi dan segelas kopi —hampir lupa kalau
ini hari Sabtu. Aku mesti pulang." Sebagian laki-laki juga pergi.
Tepat
saat itu Delia melintas pulang, sementara Sykes sedang memesan makanan lezat
untuk Bertha. Sykes senang melihat Delia.
"Ambil
apa saja yang kau mau, Sayang. Tunggu bentar, Joe. Kasih dia dua botol air soda
stroberi, satu liter kacang tanah giling kering, sama satu bungkus permen
karet."
Dengan
semua itu mereka meninggalkan toko, sementara Sykes mengingatkan Bertha bahwa
ini adalah kotanya dan dia bisa memilikinya kalau dia menginginkannya.
Para
laki-laki itu kembali segera sesudah mereka pergi, dan mengadakan pesta
semangka.
“Di
mana Syke Jones nemu perempuan itu?” tanya Lindsay.
"Di
Apopka. Pasti mereka lagi bersih-bersih kota waktu dia pergi. Dia gak kelihatan
kayak manusia, cuma kayak tumpukan daging yang dikasih rambut."
"Yah,
dia memang ajaib," Dave Carter menambahkan. "Kalau dia mau ketawa,
dia cuma perlu membuka mulutnya lebar-lebar dan menahannya. Buaya tua di Danau
Bell gak ada apa-apanya, ya?"
***
Bertha
sudah tiga bulan di kota itu. Sykes masih membayar sewa kamarnya di rumah Della
Lewis —satu-satunya rumah di kota itu yang mau menampungnya. Sykes sering
mengajaknya ke Winter Park untuk ‘berdansa’. Dia masih meyakinkan perempuan itu
bahwa dia adalah laki-laki paling kaya di negara bagian itu.
"Sebentar
lagi kau yang punya rumah kecil itu, aku akan mengusir perempuan itu dari sana.
Semua punyaku akan jadi punyamu. Aku benci perempuan kurus. Ya Tuhan, tubuhmu
bagus banget! Kau bisa mendapatkan apa pun yang kau mau. Ini kotaku dan kau
pasti akan memilikinya."
Lutut
Delia yang lelah karena merangkak di atas tanah di Getsemani1 dan
mendaki batu-batu Bukit Kalvari2 berkali-kali selama bulan-bulan
ini. Dia menghindari penduduk kota dan tempat-tempat pertemuan dalam upayanya
untuk menjadi buta dan tuli. Tapi Bertha merusak usahanya dengan cara tertentu,
dengan datang ke rumah Delia untuk memanggil Sykes sekarang gerbang.
Delia
dan Sykes sekarang terus bertengkar tanpa jeda damai. Mereka tidur dan makan
dalam diam. Dua atau tiga kali Delia mencoba bersikap ramah dengan malu-malu, tapi
selalu ditolak. Jelaslah bahwa jurang di antara mereka sudah terbuka.
Matahari
sudah membakar Juli sampai Agustus. Panasnya memancar seperti jutaan anak panah
yang panas, menghantam semua makhluk hidup di bumi. Rumput layu, daun-daun
menguning, ular-ular menjadi buta karena berganti kulit, dan manusia serta
anjing-anjing menjadi gila. Hari-hari anjing!
Delia
pulang suatu hari dan mendapati Sykes sudah ada di hadapannya. Dia
bertanya-tanya, tapi masuk ke dalam rumah tanpa bicara, meskipun Sykes berdiri
di pintu dapur dan dia harus membungkuk di bawah lengannya atau memintanya
untuk pindah. Sykes tidak memberi ruang untuknya. Dia melihat sebuah kotak
sabun di samping tangga, tapi tidak terlalu memperhatikannya, karena tahu bahwa
Sykes pasti membawanya ke sana. Saat dia membungkuk untuk melewati lengan suaminya
yang terulur, tiba-tiba Sykes mendorongnya ke belakang sambil tertawa.
“Lihat
di dalam kotak Delia, aku membawakanmu sesuatu!”
Dia
hampir terjatuh menimpa kotak itu karena tersandung, dan ketika dia melihat apa
yang ada di dalamnya, dia langsung pingsan.
Syke!
Syke, ya Tuhan! Buang ular derik itu! Kau harus. Oh Yesus, kumohon!
"Aku
gak akan melakukan apa-apa —aku cuma nunggu mati saja. Percuma saja kau ngarang
cerita kalau kau takut sama ular— dia akan tetap di sini sampai mati. Dia gak
akan menggigitku karena aku tahu gimana caranya menghadapinya. Dia gak akan merusak
taringnya cuma buat menggigit kakimu yang kurus."
"Jangan,
Sykes, jangan biarkan ular itu di sini cuma buat bikin aku takut. Kau tahu aku
bahkan takut sama cacing. Itu ular paling besar yang pernah kulihat. Bunuh saja,
Syke, kumohon."
"Jangan
suruh-suruh aku. Susah-susah nyari ular yang bagus kayak gitu. Gak, aku gak
akan membunuhnya. Aku lebih milih ular itu daripada kau! Itu ular yang bagus
dan gak ada yang berani menyentuhnya."
Penduduk
kota segera mendengar bahwa Sykes memiliki ular, dan datang untuk melihat dan
bertanya.
"Dari
mana kau dapat ular derik panjang begitu, Sykes?" tanya Thomas.
"Dia
kekenyangan, jadi gak bisa gerak, gitu. Aku santai saja. Tapi aku pawang ular
dan tahu cara nangkapnya. Ah, biasa saja. Aku bisa menangkap ular tiap hari
kalau mau."
"Harusnya
pakai kayu hickory terus dihantam kuat-kuat ke kepalanya. Itu cara paling bagus
buat ‘nangkap’ ular derik."
"Gak,
Walt, kau gak ngerti apa-apa soal ular derik," kata Sykes dengan nada
suara angkuh.
Warga
setuju dengan Walter, tapi ular itu tetap dibiarkan. Kotaknya tetap berada di
dekat pintu dapur dengan kawat kasanya. Dua atau tiga hari kemudian, ular itu sudah
mencerna makanannya, katak, dan benar-benar hidup kembali. Ular itu berderik
setiap kali ada gerakan di dapur atau halaman. Suatu hari, ketika Delia
menuruni tangga dapur, dia melihat taring putih pucat ular itu melengkung
seperti pedang pendek tergantung di kawat kasa. Kali ini dia tidak lari dengan
tatapan kosong seperti biasanya. Dia berdiri lama di ambang pintu dengan amarah
yang membara dan semakin memuncak setiap kali dia memandang makhluk yang
menjadi sumber siksaannya itu.
Malam
itu dia memulai pembicaraan mengenai masalah itu segera sesudah Sykes duduk di
meja makan.
"Sykes,
aku mau kau bawa ular itu jauh-jauh dari sini. Kau sudah bikin aku kelaparan
dan aku diam saja, kau sudah memukuliku dan aku terima saja, tapi sekarang kau bikin
aku stres dengan membawa ular itu ke sini."
Sykes
menuangkan secangkir penuh kopi dan meminumnya dengan sengaja sebelum
menjawabnya.
"Aku
gak peduli sama perasaanmu. Ular itu gak akan ke mana-mana sampai aku siap melepasnya.
Soal memukulmu, kau belum merasakan apa-apa, apalagi kalau tetap dekat-dekat
sama aku."
Delia
mendorong piringnya dan bangkit dari meja. "Aku membencimu, Sykes,"
katanya tenang. "Aku membencimu sama seperti aku dulu mencintaimu. Aku
sudah menahan semuanya sampai perutku penuh sampai leher. Itulah alasannya aku minta
surat gereja buat pindah ke Gereja Woodbridge —jadi aku gak perlu ke gereja
sama kau. Aku gak mau lihat kau di dekatku sama sekali. Tidur saja sama perempuan
itu sesukamu, tapi pergi dari rumahku. Aku membencimu seperti anjing yang makan
telur busuk."
Sykes
hampir saja menjatuhkan gumpalan besar roti jagung dan sawi hijau yang sedang
dikunyahnya karena terkejut. Dia berusaha membangkitkan amarahnya untuk mencoba
menjawab Delia.
"Yah,
aku senang kau membenciku. Aku sudah muak juga kauikuti terus. Aku tidak
menginginkanmu. Lihat lehermu yang kurus kering! Kaki sama tanganmu yang tinggal
tulang itu bisa buat nusuk orang sampai mati. Kau kelihatan kayak boneka setan
di mataku. Kau tidak bisa membenciku lebih parah daripada aku membencimu. Aku
sudah membencimu selama bertahun-tahun."
"Kulit
hitam keriputmu itu gak ada artinya buatku, cuma kayak karet yang kusut, dan
kupingmu yang besar berkibar kayak sayap burung bangkai. Jangan kira aku mau
pergi dari rumah ini. Aku akan lapor ke orang-orang kulit putih, bro, kalau kau
berani memukulku lagi. Kesabaranku sudah habis." Delia mengatakan hal itu
tanpa terlihat takut dan Sykes pergi dari rumah, mengancamnya, tapi tidak melakukan
apa pun untuk melaksanakan ancamannya.
Malam
itu Sykes tidak kembali sama sekali, dan keesokan harinya yang merupakan hari
Minggu, Delia merasa lega karena dia tidak perlu bertengkar sebelum dia menaiki
kudanya dan berkendara sejauh empat mil ke Woodbridge.
Dia
tetap menghadiri kebaktian malam —‘perjamuan kasih3’— yang sangat
hangat dan penuh semangat. Dalam susana penuh emosi itu, cobaan-cobaan rumah
tangganya terbawa jauh, sehingga dia bernyanyi sambil mengendarai kudanya
pulang.
“Air
Jordan, hitam dan dingin
Sejukkan
badan, bukan ruh
Dan
aku ingin
Menyeberangi
Jordan di saat teduh.”
Dia
berjalan dari gudang ke pintu dapur dan berhenti.
"Kenapa,
setan tua, kenapa kau tidak berisik?" Dia bicara kepada kotak ular itu.
Keheningan total. Dia masuk ke dalam rumah dengan harapan baru tentang
pergulatan batinnya. Mungkin ancamannya untuk melapor kepada orang kulit putih sudah
membuat Sykes takut! Mungkin dia menyesal! Lima belas tahun penderitaan dan
tekanan sudah membawa Delia ke tempat dia akan berharap pada apa pun yang bisa
melewati atau menembus tembok penghalangnya.
Dia
mencari-cari korek api di balik tungku. Hanya ada satu yang tersisa.
"Bajingan
itu tidak akan mengambil apa pun untuk menyelamatkan lehernya yang busuk, tapi
dia bisa lari ke mana pun dengan barang yang kubawa. Sekarang dia hampir membawa
setengah isi kotak korek api. Dia juga membawa perempuan itu ke rumahku."
Tidak
seorang pun kecuali seorang perempuan yang tahu bagaimana dia tahu hal itu
bahkan sebelum dia menyalakan korek api. Dan dia mengetahuinya dan hal itu
membuatnya semakin marah.
Tidak
lama kemudian, dia membawa bak-bak cucian untuk merendam pakaian-pakaian putih.
Kali ini dia memutuskan tidak perlu membawa keranjang cucian keluar kamar; dia
akan masuk ke sana dan memilah-milahnya. Dia mengambil lampu gantung dan masuk.
Kamar itu kecil dan keranjang cucian itu teronggok di kaki tempat tidur besi
putih. Dia bisa duduk dan meraih melalui tiang-tiang tempat tidur —beristirahat
sambil bekerja.
“Aku
ingin menyeberangi Jordan di saat teduh,” dia bernyanyi lagi. Suasana ‘perjamuan
kasih’ itu datang lagi. Dia membuka tutup keranjang dengan riang. Kemudian,
tergerak oleh rasa takut sekaligus ngeri, dia melompat kembali ke pintu. Di
sanalah ular itu tergeletak di dalam keranjang! Awalnya ular itu bergerak
lamban, tapi bahkan saat dia berputar-putar, melompat-lompat ketakutan, ular
itu mulai bergerak dengan ganas. Dia melihat ular itu menumpahkan segala keindahannya
yang mengerikan dari keranjang ke atas tempat tidur, lalu dia meraih lampu dan
berlari secepat mungkin ke dapur. Angin dari pintu yang terbuka memdamkan lampu
itu dan kegelapan menambah ketakutannya. Dia melesat ke kegelapan halaman,
membanting pintu bahkan sebelum dia sempat berpikir untuk meletakkan lampu itu.
Dia merasa tidak aman berada di tanah, jadi dia naik ke gudang jerami.
Di
sana selama satu jam atau lebih dia tergeletak di atas jerami, meracau tanpa
henti.
Akhirnya,
dia mulai tenang, dan sesudah itu, pikirannya kembali jernih. Bersamaan dengan
itu, amarah yang dingin dan berdarah pun merayapinya. Berjam-jam seperti itu.
Sebuah masa untuk introspeksi, retrospeksi, lalu campuran keduanya. Dari sana
lahirlah ketenangan yang mengerikan.
"Ok,
aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa. Kalau ada yang salah, Tuhan
tahu itu bukan salahku."
Dia
tertidur —dengan gelisah— dan terbangun saat langit masih kelabu. Terdengar
suara raungan keras di bawah. Dia mengintip keluar. Sykes berada di tumpukan
kayu, menghancurkan sebuah kotak yang dilapisi kawat.
Dia
bergegas menuju pintu dapur, tapi masih menunggu di luar beberapa menit sebelum
masuk, dan berdiri beberapa menit lagi di dalam sebelum menutupnya kembali.
Langit
kelabu mulai menyebar. Delia turun tanpa rasa takut, lalu berjongkok di bawah
jendela kamar tidur yang rendah. Tirai yang tertutup rapat menghalangi fajar,
menutup malam. Tapi, dinding tipis itu tidak mampu meredam suara.
"Setan
tua itu sudah bangun sekarang!" gumamnya mendengar suara desisan keras di
dalam, yang diketahui setiap penebang kayu, adalah salah satu ilusi suara. Ular
derik adalah ahli ventrilokuis4. Desisannya terdengar di kanan, di
kiri, di depan, di belakang, di dekat kaki —di mana-mana kecuali di tempatnya.
Celakalah orang yang salah menebak kecuali dia siap mempertahankan dirinya! Kadang-kadang
ular itu menyerang tanpa berderik sama sekali.
Di
dalam, Sykes tidak mendengar apa-apa sampai dia menjatuhkan tutup panci dari
kompor saat mencoba meraih kotak korek api dalam kegelapan. Dia sudah
mengosongkan isi sakunya di rumah Bertha.
Ular
itu terlihat bangkit di bawah tungku dan Sykes bergegas masuk ke kamar tidur.
Meskipun dia baru saja minum gin, pikirannya mulai jernih.
“Ya
Tuhan!” gumamnya, “mana lampunya!”
Derik
itu berhenti sejenak saat dia berdiri diam. Dia menunggu. Sepertinya ular itu
juga menunggu.
"Oh,
bangsat! Kupikir dia terlalu lemah" —Sykes bergumam sendiri ketika desisan
itu mulai lagi, lebih dekat, kali ini tepat di bawah kaki. Jauh sebelum itu,
kemampuan berpikir Sykes sudah turun sampai ke naluri paling primitif dan dia
melompat —ke tempat tidur.
Di
luar, Delia mendengar teriakan yang mungkin berasal dari simpanse yang marah
atau gorila yang mengamuk. Semua ketakutan, semua kengerian, semua amarah yang
mungkin bisa diungkapkan manusia, tanpa satu pun yang terdengar seperti suara
manusia.
Kegaduhan
hebat di dalam sana, rentetan jeritan hewan lainnya, desis reptil yang
terputus-putus. Tirai jendela tersingkap dengan kasar, membiarkan fajar merah
masuk, tangan cokelat besar mencengkeram gagang jendela, hentakan-hentakan
keras di lantai kayu, mengiringi suara riuh rendah yang lama sesudah derik ular
tiba-tiba mereda. Semua itu bisa dilihat dan didengar Delia dari tempatnya di
bawah jendela, dan itu membuatnya mual. Dia merayap ke arah bunga pukul empat5
dan merebahkan diri di tanah yang dingin untuk menenangkan diri.
Dia
berbaring di sana. "Delia. Delia!" Dia bisa mendengar Sykes memanggil
dengan nada putus asa, seolah tidak mengharapkan jawaban. Matahari merayap
naik, dan dia memanggil. Delia tidak bisa bergerak —kakinya lemas. Dia tidak
pernah bergerak, suaminya memanggilnya, dan matahari terus terbit.
"Ya
Tuhan!" Dia mendengar suaminya mengerang, "Ya Tuhan di surga!" Dia
mendengar suaminya terhuyung-huyung dan dia bangkit dari hamparan bunga.
Matahari semakin hangat. Saat dia mendekati pintu, dia mendengar suaminya
memanggil penuh harap, "Delia, apa itu kau?"
Dia
melihatnya berlutut begitu dia sampai di pintu. Suaminya merayap satu atau dua
inci ke arahnya —hanya itu yang bisa dilakukannya, dan Delia melihat lehernya
yang bengkak parah dan satu matanya yang terbuka berkilat dengan harapan.
Gelombang rasa kasihan yang terlalu kuat untuk ditahan membuatnya menjauh dari
mata yang pasti, yang tidak mungkin, tidak bisa melihat bak-bak cuciannya. Dia
akan melihat cahaya. Orlando dengan para dokternya terlalu jauh. Dia nyaris
tidak bisa mencapai pohon chinaberry, tempat dia menunggu dalam panas yang
semakin menyengat sementara di dalam dia tahu sungai dingin merayap naik untuk
memadamkan mata itu yang pasti sekarang tahu bahwa Delia tahu.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Zora Neale Hurston yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Getsemani: taman di kaki Bukit
Zaitun di Yerusalem Timur, tempat, menurut keempat Injil Perjanjian Baru, Yesus
Kristus mengalami Penderitaan di taman itu dan ditangkap sebelum penyalibanNya.
Taman itu adalah tempat yang sangat dikenal dalam agama Kristen. Ada beberapa
kebun zaitun kecil di properti gereja, semuanya berdekatan satu sama lain dan
diidentifikasikan dengan Getsemani dalam Alkitab.
2 Bukit Kalvari: atau Golgota,
situs yang berada tepat di luar tembok Yerusalem Romawi tempat, menurut Empat
Injil kanonik Kristen, Yesus disalibkan.
3 Perjamuan kasih: atau perjamuan
agape; merujuk kepada makanbersama yang dilakukan oleh umat Kristiani dan
kelompok lain seperti Freemason. Nama ini berasal dari kata Yunani agape,
yang berarti kasih ilahi.
4 Ventrilokuis: ahli suara perut
atau sulap suara. Mereka adalah penghibur yang ahli berbicara tanpa
menggerakkan bibir, sehingga suara seolah-olah berasal dari tempat lain,
seperti dari boneka yang mereka gunakan.
5 Bunga pukul empat: Mirabilis jalapa, keajaiban Peru; spesies tanaman hias Mirabilis yang paling umum ditanam, dan tersedia dalam berbagai warna. Mirabilis dalam bahasa Latin berarti luar biasa dan Jalapa (atau Xalapa) adalah ibu kota negara bagian Veracruz di Meksiko. Mirabilis jalapa diyakini sudah dibudidayakan oleh suku Aztec untuk tujuan pengobatan dan ornamen.

Comments
Post a Comment