Keringat (Sweat ~ Zora Neale Hurston)

Keringat (Sweat ~ Zora Neale Hurston)

Saat itu pukul sebelas malam di musim semi di Florida. Hari Minggu. Di malam-malam lainnya, Delia Jones pasti sudah tidur selama dua jam saat itu. Tapi dia tukang cuci, dan Senin pagi sangat berarti baginya. Jadi, dia mengumpulkan pakaian kotor pada hari Sabtu ketika mengembalikan pakaian yang bersih. Minggu malam sesudah pulang dari gereja, dia memilah-milahnya dan merendam pakaian putih. Itu menghemat waktu hampir setengah hari. Sebuah keranjang besar di kamar tidur berisi pakaian-pakaian yang dibawanya pulang. Jauh lebih rapi daripada beberapa bundel yang berserakan.

Dia berjongkok di lantai dapur di samping tumpukan besar pakaian, memilah pakaian-pakaian itu menjadi tumpukan kecil berdasarkan warna, dan menyenandungkan sebuah lagu dengan nada sedih, tapi di tengah semua itu dia bertanya-tanya ke mana Sykes, suaminya, pergi bersama kuda dan keretanya.

Tepat saat itu, sesuatu yang panjang, bulat, lemas, dan hitam jatuh di bahunya dan meluncur ke lantai di sampingnya. Rasa takut yang hebat mencengkeramnya. Rasa takut itu melunakkan lututnya dan mengeringkan mulutnya sehingga butuh semenit penuh sebelum dia bisa berteriak atau bergerak. Kemudian dia melihat bahwa itu adalah cambuk banteng besar yang biasa dibawa suaminya saat berkendara.

Dia mengangkat pandangannya ke pintu dan melihat suaminya berdiri di sana, membungkuk sambil tertawa melihatnya ketakutan. Dia pun berteriak kepada suaminya.

"Sykes, ngapain kau lempar cambuk itu ke aku kayak gitu? Kau tahu itu bikin aku takut —kayak ular, dan kau tahu aku takut banget sama ular."

"Ya pasti aku tahu! Makanya aku gitu." Dia menepuk kakinya sendiri dan hampir berguling-guling di tanah saking senangnya. "Kalau kau bodoh banget kayak gitu sampai ngamuk cuma gara-gara cacing atau tali, aku gak peduli seberapa parah aku menakut-nakutimu."

"Kau gak boleh melakukannya. Itu dosa. Suatu hari nanti aku bisa mati gara-gara kebodohanmu. Satu lagi, ke mana aja kau dengan keretaku? Aku yang ngasih makan kuda poni itu. Dia bukan buat kau ajak jalan-jalan sambil kau cambuki."

"Kau memang perempuan negro yang menyebalkan!" serunya lalu melangkah masuk. Perempuan itu melanjutkan pekerjaannya dan tidak langsung menjawab. "Aku sudah bolak-balik bilang untuk tidak menerima baju orang kulit putih di rumah ini."

Dia mengambil cambuk dan memelototinya. Delia melanjutkan pekerjaannya. Dia pergi ke halaman dan kembali membawa bak galvanis lalu meletakkannya di meja cuci. Dia melihat Sykes sudah menendang-nendang semua pakaian hingga terkumpul lagi, dan sekarang berdiri dengan garang menghalangi jalannya, seluruh sikap Sykes seperti berharap, berdoa, agar terjadi pertengkaran. Tapi dia berjalan dengan tenang mengitari Sykes dan mulai menyusun kembali pakaian-pakaian itu.

"Lain kali, kutendang semua keluar," ancamnya sambil menyulut korek api di sepanjang kaki celana korduroinya.

Delia tidak mengalihkan pandangan dari pekerjaannya, dan bahunya yang kurus dan bungkuk semakin merosot. "Aku gak mau ribut malam ini, Sykes. Aku baru pulang menerima sakramen di gereja."

Suaminya mendengus sinis. "Ya, kau baru pulang dari gereja di Minggu malam, tapi kau malah pergi mencuci baju-baju itu. Kau munafik. Salah satu dari mereka —orang Kristen di pojokan— yang bilang amin, nyanyi, sorak-sorak, dan teriak-teriak, lalu pulang dan mencuci baju orang kulit putih di hari Sabat."

Dia menginjak tumpukan pakaian paling putih dengan kasar, menendanginya hingga berantakan saat melintasi ruangan. Istrinya menjerit kecil karena cemas, dan segera mengumpulkannya kembali.

"Sykes, berhenti ngacak-acak baju-baju ini! Gimana aku bisa selesai hari Sabtu kalau aku tidak mulai hari Minggu?"

"Aku gak peduli kau selesai atau gak selesai. Lagian, aku sudah bilang sama Tuhan dan orang-orang, aku tidak akan membiarkan barang-barang itu ada di rumahku. Gak usah membantah, atau aku akan membuang semuanya dan meninju kepalamu."

Kelembutan Delia yang biasa seakan terlepas dari bahunya seperti syal yang terurai. Dia berdiri tegak; tubuh mungilnya yang malang, dan buku-buku jari tangannya yang telanjang dengan berani menantang raksasa tegap di hadapannya.

"Dengar, Sykes, kau sudah keterlaluan. Aku sudah kawin denganmu selama lima belas tahun, dan aku sudah mencuci selama lima belas tahun. Keringat, keringat, keringat! Bekerja dan berkeringat, menangis dan berkeringat, berdoa dan berkeringat!"

"Apa hubungannya denganku?" tanyanya dengan brutal.

"Apa hubungannya denganmu, Sykes? Bak cucianku lebih sering mengisi perutmu dengan makanan daripada tanganmu. Keringatku sudah membayar untuk rumah ini, dan kurasa aku akan terus berkeringat di dalamnya."

Dia mengambil wajan besi dari kompor dan berpose defensif, tindakan yang sangat mengejutkan suaminya, karena dilakukan olehnya. Hal itu membuatnya takut dan dia tidak memukulnya seperti biasanya.

"Tidak akan," katanya terengah-engah, "perempuan negro tua tonggos yang kau pacari itu tidak akan datang ke sini untuk menumpang hidup dari keringat dan darahku. Kau gak membayar sepeser pun untuk tempat ini, dan aku akan tetap di sini bahkan kalau aku diseret keluar."

"Sudahlah, lebih baik kau berhenti membuatku kesal, kalau gak mereka akan membawamu keluar lebih cepat dari yang kau duga. Aku sudah capek denganmu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Oh Tuhan! Aku benci perempuan kurus!"

Sedikit terkejut oleh Delia yang baru itu, dia menyelinap keluar pintu dan membanting pintu belakang. Dia tidak mengatakan ke mana dia akan pergi, tapi Delia tahu betul. Delia tahu betul bahwa dia tidak akan kembali sampai hampir pagi juga. Sesudah pekerjaannya selesai, Delia pergi tidur tapi tidak langsung tidur. Segalanya sudah berakhir!

Dia terjaga, memandangi serpihan-serpihan yang mengotori jejak pernikahan mereka. Tidak ada secuil pun kenangan yang tersisa di sepanjang jalan itu. Semuanya seperti bunga yang sudah lama tenggelam dalam aliran asin yang diperas dari hatinya. Air matanya, keringatnya, darahnya. Dia membawa cinta ke dalam ikatan itu sementara suaminya hanya membawa nafsu belaka. Dua bulan sesudah pernikahan, suaminya memberinya pukulan brutal pertama. Dia teringat akan perjalanan-perjalanan suaminya ke Orlando dengan semua upahnya dan ketika dia kembali tanpa uang sepeser pun, bahkan sebelum tahun pertama berlalu. Dia masih muda dan lembut saat itu, tapi sekarang dia memikirkan tubuhnya yang berotot dan keras, tangannya yang kasar dan kaku, lalu meringkuk menjadi bola kecil yang tidak bahagia di tengah kasur bulu yang besar. Terlambat sudah untuk mengharapkan cinta, bahkan kalau itu bukan karena Bertha, pasti akan ada orang lain. Kasus ini berbeda dari yang lain hanya karena perempuan itu lebih berani daripada yang lain. Terlambat untuk segalanya kecuali rumah kecilnya. Dia membangunnya untuk menghabiskan masa tuanya, dan menanam pohon serta bunga satu per satu di sana. Rumah itu indah baginya, sangat indah.

Entah bagaimana, sebelum tidur, dia mendapati dirinya berkata keras-keras: "Yah, apa pun yang melewati punggung Iblis, pasti masuk ke perutnya. Cepat atau lambat, Sykes, seperti semua orang, akan menuai apa yang dia tabur." Sesudah itu, dia bisa membangun benteng spiritual melawan suaminya. Amunisi suaminya tidak lagi bisa menjangkaunya. Amin. Dia tertidur lagi sampai suaminya mengumumkan kehadirannya di tempat tidur dengan menendang kakinya dan dengan kasar menarik selimut.

"Kasih aku tempat sedikit, dan singkirkan kakimu ke tempatmu sendiri! Aku seharusnya menampar mulutmu karena mengangkat wajan ke mukaku."

Delia pindah sampai ke pinggir kasur tanpa menjawab. Sebuah sikap acuh tak acuh yang penuh kemenangan terhadap segala hal yang dia katakan atau lakukan.

***

Minggu itu penuh dengan pekerjaan bagi Delia seperti minggu-minggu lainnya, dan hari Sabtu menempatkan dirinya di belakang kuda poni kecilnya, mengumpulkan dan mengantarkan pakaian.

Hari itu sangat panas menjelang akhir Juli. Para laki-laki desa di beranda Joe Clarke bahkan mengunyah tebu dengan lesu. Mereka tidak melempar bonggol-bonggol tebu seperti biasa. Mereka membiarkannya jatuh di tepi beranda. Bahkan percakapan pun terhenti karena panas.

"Nah ini dia Delia Jones," kata Jim Merchant, saat kuda poni berbulu lebat itu berbelok di tikungan jalan ke arah mereka. Kandang kuda berkarat itu penuh dengan keranjang berisi cucian bersih dan segar.

"Yoi," Joe Lindsay setuju. "Panas-dingin, hujan-panas, begitu saja terus. Delia mengantar dan mengambil baju setiap Sabtu."

"Dia bisa lebih cakep kalau doyan makan," kata Moss. "Syke Jones tidak punya peluru dan mesiu yang bisa membunuh mereka berdua. Ya, kan?"

"Pastinya," sela Walter Thomas. "Sayang sekali, karena dia benar-benar cakep waktu Sykes mendapatkannya. Aku sudah melamarnya kalau saja dia gak duluan."

Delia mengangguk sebentar ke arah para laki-laki itu saat dia lewat.

"Terlalu sering digebuki akan menghancurkan perempuan yang mana pun. Pukulannya bisa membunuh tiga perempuan, apalagi kalau cuma mengubah penampilannya," kata Elijah Moseley. "Gimana Syke bisa kuat sama si Mogul besar, hitam, dan berminyak yang tidur sama dia ya, sialan. Aku bersumpah perempuan hitam legam itu pasti bahkan gak bisa mencium bau kaleng sarden yang sudah kubuang setahun yang lalu."

"Ya karena dia gendut, gitu. Dia sukanya sama yang gendut-gendut," sela Merchant. "Dia pasti sudah lama kawin sama perempuan gendut kalau saja ada yang mau sama dia sebelumnya. Apa aku sudah pernah cerita soal dia yang menggoda istriku —membawakannya sekeranjang kacang pecan dari halamannya buat hadiah? Iya, istriku! Dia langsung bilang untuk membawanya pulang, soalnya Delia kerja keras banget di bak cucian itu sampai-sampai dia rasa semua yang ada di tempat itu rasanya seperti keringat dan busa sabun. Aku berharap dia ketahuan waktu itu! Biar kubakar dia di jalan."

"Aku tahu dia memang gitu orangnya. Aku lihat dia senyum-senyum sama semua perempuan," kata Walter Thomas. "Tapi gitu-gitu juga, dia pernah pasang muka tembok untuk mendapatkan perempuan kecil yang sekarang jadi istrinya itu. Istrinya itu cantik kayak anak anjing berbintik! Itu dulu, lima belas tahun yang lalu. Dia dulu takut kehilangan istrinya sampai-sampai dia bisa memaksa suaminya itu mengerjakan kerjaan seorang suami. Pikiran mereka sudah gak sama lagi."

"Seharusnya ada hukum tentang dia," kata Lindsay. "Dia gak cocok disuruh ngapa-ngapain."

Clarke bicara untuk pertama kalinya. “Gak ada hukum di dunia ini yang bisa membuat orang jadi baik kalau memang bukan itu sifatnya. Banyak laki-laki yang sudah kawin dan memperlakukan istrinya kayak sebatang tebu. Awalnya tebu itu bulat, berair, dan manis pas dimakan. Tapi mereka peras dan giling, peras dan giling, dan puntir-puntir, sampai keluar semua kenikmatannya. Pas mereka sudah puas memeras sampai kering, mereka memperlakukannya kayak sepah. Mereka buang. Mereka tahu apa yang mereka lakukan pas melakukannya, dan membenci diri mereka sendiri karena itu, tapi mereka tetap saja begitu sampai istrinya benar-benar kering. Terus mereka benci sama istrinya dan dianggap jadi penghalang.”

"Kita harusnya membawa Syke dan perempuan jalang itu ke rawa Danau Howell dan memecut mereka sampai mereka gak bisa bilang ‘Ampun, Tuhan.' Dia memang negro yang suka maksa, tapi sejak perempuan kulit putih dari utara itu mengajarinya nyetir, dia jadi sombong untuk dibiarkan hidup –kita harusnya membunuhnya," saran Pak Tua Anderson.

Terdengar gumaman setuju dari beranda. Tapi, panasnya udara justru melunturkan perdebatan soal moral mereka, dan Elijah Moseley mulai menggoda Joe Clarke.

"Ayo, Joe, ambil semangka dari sana dan potong-potong buat langgannanmu ini. Kami kepanasan nih. Aku udah mau mati kepanasan ini!"

"Yoi, Joe, cuma semangka itu yang aku butuh biar gak kepanasan," Walter Thomas mendukung Moseley. "Ayolah, Joe. Kami semua ini langganan setia dan kau sudah lama gak melayani kami. Aku pilih yang panjang, montok, dan favorit Floridy itu."

"Ya Tuhan, gak usah berisik. Kalian semua kasih aku dua puluh sen dan potong saja sendiri," balas Clarke. "Aku juga butuh. Ya sudah, semuanya ikut motong. Aku pinjamkan pisau dagingku."

Uang segera terkumpul dan semangka besar itu pun dibawa. Pada saat itu, Sykes dan Bertha datang. Keheningan menyelimuti teras dan semangka itu pun disimpan kembali.

Pedagang itu menutup bilah pisau lipatnya dan bergerak menuju pintu toko.

"Ayo masuk, Joe, kasih aku sepotong daging babi dan segelas kopi —hampir lupa kalau ini hari Sabtu. Aku mesti pulang." Sebagian laki-laki juga pergi.

Tepat saat itu Delia melintas pulang, sementara Sykes sedang memesan makanan lezat untuk Bertha. Sykes senang melihat Delia.

"Ambil apa saja yang kau mau, Sayang. Tunggu bentar, Joe. Kasih dia dua botol air soda stroberi, satu liter kacang tanah giling kering, sama satu bungkus permen karet."

Dengan semua itu mereka meninggalkan toko, sementara Sykes mengingatkan Bertha bahwa ini adalah kotanya dan dia bisa memilikinya kalau dia menginginkannya.

Para laki-laki itu kembali segera sesudah mereka pergi, dan mengadakan pesta semangka.

“Di mana Syke Jones nemu perempuan itu?” tanya Lindsay.

"Di Apopka. Pasti mereka lagi bersih-bersih kota waktu dia pergi. Dia gak kelihatan kayak manusia, cuma kayak tumpukan daging yang dikasih rambut."

"Yah, dia memang ajaib," Dave Carter menambahkan. "Kalau dia mau ketawa, dia cuma perlu membuka mulutnya lebar-lebar dan menahannya. Buaya tua di Danau Bell gak ada apa-apanya, ya?"

***

Bertha sudah tiga bulan di kota itu. Sykes masih membayar sewa kamarnya di rumah Della Lewis —satu-satunya rumah di kota itu yang mau menampungnya. Sykes sering mengajaknya ke Winter Park untuk ‘berdansa’. Dia masih meyakinkan perempuan itu bahwa dia adalah laki-laki paling kaya di negara bagian itu.

"Sebentar lagi kau yang punya rumah kecil itu, aku akan mengusir perempuan itu dari sana. Semua punyaku akan jadi punyamu. Aku benci perempuan kurus. Ya Tuhan, tubuhmu bagus banget! Kau bisa mendapatkan apa pun yang kau mau. Ini kotaku dan kau pasti akan memilikinya."

Lutut Delia yang lelah karena merangkak di atas tanah di Getsemani1 dan mendaki batu-batu Bukit Kalvari2 berkali-kali selama bulan-bulan ini. Dia menghindari penduduk kota dan tempat-tempat pertemuan dalam upayanya untuk menjadi buta dan tuli. Tapi Bertha merusak usahanya dengan cara tertentu, dengan datang ke rumah Delia untuk memanggil Sykes sekarang gerbang.

Delia dan Sykes sekarang terus bertengkar tanpa jeda damai. Mereka tidur dan makan dalam diam. Dua atau tiga kali Delia mencoba bersikap ramah dengan malu-malu, tapi selalu ditolak. Jelaslah bahwa jurang di antara mereka sudah terbuka.

Matahari sudah membakar Juli sampai Agustus. Panasnya memancar seperti jutaan anak panah yang panas, menghantam semua makhluk hidup di bumi. Rumput layu, daun-daun menguning, ular-ular menjadi buta karena berganti kulit, dan manusia serta anjing-anjing menjadi gila. Hari-hari anjing!

Delia pulang suatu hari dan mendapati Sykes sudah ada di hadapannya. Dia bertanya-tanya, tapi masuk ke dalam rumah tanpa bicara, meskipun Sykes berdiri di pintu dapur dan dia harus membungkuk di bawah lengannya atau memintanya untuk pindah. Sykes tidak memberi ruang untuknya. Dia melihat sebuah kotak sabun di samping tangga, tapi tidak terlalu memperhatikannya, karena tahu bahwa Sykes pasti membawanya ke sana. Saat dia membungkuk untuk melewati lengan suaminya yang terulur, tiba-tiba Sykes mendorongnya ke belakang sambil tertawa.

“Lihat di dalam kotak Delia, aku membawakanmu sesuatu!”

Dia hampir terjatuh menimpa kotak itu karena tersandung, dan ketika dia melihat apa yang ada di dalamnya, dia langsung pingsan.

Syke! Syke, ya Tuhan! Buang ular derik itu! Kau harus. Oh Yesus, kumohon!

"Aku gak akan melakukan apa-apa —aku cuma nunggu mati saja. Percuma saja kau ngarang cerita kalau kau takut sama ular— dia akan tetap di sini sampai mati. Dia gak akan menggigitku karena aku tahu gimana caranya menghadapinya. Dia gak akan merusak taringnya cuma buat menggigit kakimu yang kurus."

"Jangan, Sykes, jangan biarkan ular itu di sini cuma buat bikin aku takut. Kau tahu aku bahkan takut sama cacing. Itu ular paling besar yang pernah kulihat. Bunuh saja, Syke, kumohon."

"Jangan suruh-suruh aku. Susah-susah nyari ular yang bagus kayak gitu. Gak, aku gak akan membunuhnya. Aku lebih milih ular itu daripada kau! Itu ular yang bagus dan gak ada yang berani menyentuhnya."

Penduduk kota segera mendengar bahwa Sykes memiliki ular, dan datang untuk melihat dan bertanya.

"Dari mana kau dapat ular derik panjang begitu, Sykes?" tanya Thomas.

"Dia kekenyangan, jadi gak bisa gerak, gitu. Aku santai saja. Tapi aku pawang ular dan tahu cara nangkapnya. Ah, biasa saja. Aku bisa menangkap ular tiap hari kalau mau."

"Harusnya pakai kayu hickory terus dihantam kuat-kuat ke kepalanya. Itu cara paling bagus buat ‘nangkap’ ular derik."

"Gak, Walt, kau gak ngerti apa-apa soal ular derik," kata Sykes dengan nada suara angkuh.

Warga setuju dengan Walter, tapi ular itu tetap dibiarkan. Kotaknya tetap berada di dekat pintu dapur dengan kawat kasanya. Dua atau tiga hari kemudian, ular itu sudah mencerna makanannya, katak, dan benar-benar hidup kembali. Ular itu berderik setiap kali ada gerakan di dapur atau halaman. Suatu hari, ketika Delia menuruni tangga dapur, dia melihat taring putih pucat ular itu melengkung seperti pedang pendek tergantung di kawat kasa. Kali ini dia tidak lari dengan tatapan kosong seperti biasanya. Dia berdiri lama di ambang pintu dengan amarah yang membara dan semakin memuncak setiap kali dia memandang makhluk yang menjadi sumber siksaannya itu.

Malam itu dia memulai pembicaraan mengenai masalah itu segera sesudah Sykes duduk di meja makan.

"Sykes, aku mau kau bawa ular itu jauh-jauh dari sini. Kau sudah bikin aku kelaparan dan aku diam saja, kau sudah memukuliku dan aku terima saja, tapi sekarang kau bikin aku stres dengan membawa ular itu ke sini."

Sykes menuangkan secangkir penuh kopi dan meminumnya dengan sengaja sebelum menjawabnya.

"Aku gak peduli sama perasaanmu. Ular itu gak akan ke mana-mana sampai aku siap melepasnya. Soal memukulmu, kau belum merasakan apa-apa, apalagi kalau tetap dekat-dekat sama aku."

Delia mendorong piringnya dan bangkit dari meja. "Aku membencimu, Sykes," katanya tenang. "Aku membencimu sama seperti aku dulu mencintaimu. Aku sudah menahan semuanya sampai perutku penuh sampai leher. Itulah alasannya aku minta surat gereja buat pindah ke Gereja Woodbridge —jadi aku gak perlu ke gereja sama kau. Aku gak mau lihat kau di dekatku sama sekali. Tidur saja sama perempuan itu sesukamu, tapi pergi dari rumahku. Aku membencimu seperti anjing yang makan telur busuk."

Sykes hampir saja menjatuhkan gumpalan besar roti jagung dan sawi hijau yang sedang dikunyahnya karena terkejut. Dia berusaha membangkitkan amarahnya untuk mencoba menjawab Delia.

"Yah, aku senang kau membenciku. Aku sudah muak juga kauikuti terus. Aku tidak menginginkanmu. Lihat lehermu yang kurus kering! Kaki sama tanganmu yang tinggal tulang itu bisa buat nusuk orang sampai mati. Kau kelihatan kayak boneka setan di mataku. Kau tidak bisa membenciku lebih parah daripada aku membencimu. Aku sudah membencimu selama bertahun-tahun."

"Kulit hitam keriputmu itu gak ada artinya buatku, cuma kayak karet yang kusut, dan kupingmu yang besar berkibar kayak sayap burung bangkai. Jangan kira aku mau pergi dari rumah ini. Aku akan lapor ke orang-orang kulit putih, bro, kalau kau berani memukulku lagi. Kesabaranku sudah habis." Delia mengatakan hal itu tanpa terlihat takut dan Sykes pergi dari rumah, mengancamnya, tapi tidak melakukan apa pun untuk melaksanakan ancamannya.

Malam itu Sykes tidak kembali sama sekali, dan keesokan harinya yang merupakan hari Minggu, Delia merasa lega karena dia tidak perlu bertengkar sebelum dia menaiki kudanya dan berkendara sejauh empat mil ke Woodbridge.

Dia tetap menghadiri kebaktian malam —‘perjamuan kasih3’— yang sangat hangat dan penuh semangat. Dalam susana penuh emosi itu, cobaan-cobaan rumah tangganya terbawa jauh, sehingga dia bernyanyi sambil mengendarai kudanya pulang.

“Air Jordan, hitam dan dingin

Sejukkan badan, bukan ruh

Dan aku ingin

Menyeberangi Jordan di saat teduh.”

Dia berjalan dari gudang ke pintu dapur dan berhenti.

"Kenapa, setan tua, kenapa kau tidak berisik?" Dia bicara kepada kotak ular itu. Keheningan total. Dia masuk ke dalam rumah dengan harapan baru tentang pergulatan batinnya. Mungkin ancamannya untuk melapor kepada orang kulit putih sudah membuat Sykes takut! Mungkin dia menyesal! Lima belas tahun penderitaan dan tekanan sudah membawa Delia ke tempat dia akan berharap pada apa pun yang bisa melewati atau menembus tembok penghalangnya.

Dia mencari-cari korek api di balik tungku. Hanya ada satu yang tersisa.

"Bajingan itu tidak akan mengambil apa pun untuk menyelamatkan lehernya yang busuk, tapi dia bisa lari ke mana pun dengan barang yang kubawa. Sekarang dia hampir membawa setengah isi kotak korek api. Dia juga membawa perempuan itu ke rumahku."

Tidak seorang pun kecuali seorang perempuan yang tahu bagaimana dia tahu hal itu bahkan sebelum dia menyalakan korek api. Dan dia mengetahuinya dan hal itu membuatnya semakin marah.

Tidak lama kemudian, dia membawa bak-bak cucian untuk merendam pakaian-pakaian putih. Kali ini dia memutuskan tidak perlu membawa keranjang cucian keluar kamar; dia akan masuk ke sana dan memilah-milahnya. Dia mengambil lampu gantung dan masuk. Kamar itu kecil dan keranjang cucian itu teronggok di kaki tempat tidur besi putih. Dia bisa duduk dan meraih melalui tiang-tiang tempat tidur —beristirahat sambil bekerja.

“Aku ingin menyeberangi Jordan di saat teduh,” dia bernyanyi lagi. Suasana ‘perjamuan kasih’ itu datang lagi. Dia membuka tutup keranjang dengan riang. Kemudian, tergerak oleh rasa takut sekaligus ngeri, dia melompat kembali ke pintu. Di sanalah ular itu tergeletak di dalam keranjang! Awalnya ular itu bergerak lamban, tapi bahkan saat dia berputar-putar, melompat-lompat ketakutan, ular itu mulai bergerak dengan ganas. Dia melihat ular itu menumpahkan segala keindahannya yang mengerikan dari keranjang ke atas tempat tidur, lalu dia meraih lampu dan berlari secepat mungkin ke dapur. Angin dari pintu yang terbuka memdamkan lampu itu dan kegelapan menambah ketakutannya. Dia melesat ke kegelapan halaman, membanting pintu bahkan sebelum dia sempat berpikir untuk meletakkan lampu itu. Dia merasa tidak aman berada di tanah, jadi dia naik ke gudang jerami.

Di sana selama satu jam atau lebih dia tergeletak di atas jerami, meracau tanpa henti.

Akhirnya, dia mulai tenang, dan sesudah itu, pikirannya kembali jernih. Bersamaan dengan itu, amarah yang dingin dan berdarah pun merayapinya. Berjam-jam seperti itu. Sebuah masa untuk introspeksi, retrospeksi, lalu campuran keduanya. Dari sana lahirlah ketenangan yang mengerikan.

"Ok, aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa. Kalau ada yang salah, Tuhan tahu itu bukan salahku."

Dia tertidur —dengan gelisah— dan terbangun saat langit masih kelabu. Terdengar suara raungan keras di bawah. Dia mengintip keluar. Sykes berada di tumpukan kayu, menghancurkan sebuah kotak yang dilapisi kawat.

Dia bergegas menuju pintu dapur, tapi masih menunggu di luar beberapa menit sebelum masuk, dan berdiri beberapa menit lagi di dalam sebelum menutupnya kembali.

Langit kelabu mulai menyebar. Delia turun tanpa rasa takut, lalu berjongkok di bawah jendela kamar tidur yang rendah. Tirai yang tertutup rapat menghalangi fajar, menutup malam. Tapi, dinding tipis itu tidak mampu meredam suara.

"Setan tua itu sudah bangun sekarang!" gumamnya mendengar suara desisan keras di dalam, yang diketahui setiap penebang kayu, adalah salah satu ilusi suara. Ular derik adalah ahli ventrilokuis4. Desisannya terdengar di kanan, di kiri, di depan, di belakang, di dekat kaki —di mana-mana kecuali di tempatnya. Celakalah orang yang salah menebak kecuali dia siap mempertahankan dirinya! Kadang-kadang ular itu menyerang tanpa berderik sama sekali.

Di dalam, Sykes tidak mendengar apa-apa sampai dia menjatuhkan tutup panci dari kompor saat mencoba meraih kotak korek api dalam kegelapan. Dia sudah mengosongkan isi sakunya di rumah Bertha.

Ular itu terlihat bangkit di bawah tungku dan Sykes bergegas masuk ke kamar tidur. Meskipun dia baru saja minum gin, pikirannya mulai jernih.

“Ya Tuhan!” gumamnya, “mana lampunya!”

Derik itu berhenti sejenak saat dia berdiri diam. Dia menunggu. Sepertinya ular itu juga menunggu.

"Oh, bangsat! Kupikir dia terlalu lemah" —Sykes bergumam sendiri ketika desisan itu mulai lagi, lebih dekat, kali ini tepat di bawah kaki. Jauh sebelum itu, kemampuan berpikir Sykes sudah turun sampai ke naluri paling primitif dan dia melompat —ke tempat tidur.

Di luar, Delia mendengar teriakan yang mungkin berasal dari simpanse yang marah atau gorila yang mengamuk. Semua ketakutan, semua kengerian, semua amarah yang mungkin bisa diungkapkan manusia, tanpa satu pun yang terdengar seperti suara manusia.

Kegaduhan hebat di dalam sana, rentetan jeritan hewan lainnya, desis reptil yang terputus-putus. Tirai jendela tersingkap dengan kasar, membiarkan fajar merah masuk, tangan cokelat besar mencengkeram gagang jendela, hentakan-hentakan keras di lantai kayu, mengiringi suara riuh rendah yang lama sesudah derik ular tiba-tiba mereda. Semua itu bisa dilihat dan didengar Delia dari tempatnya di bawah jendela, dan itu membuatnya mual. Dia merayap ke arah bunga pukul empat5 dan merebahkan diri di tanah yang dingin untuk menenangkan diri.

Dia berbaring di sana. "Delia. Delia!" Dia bisa mendengar Sykes memanggil dengan nada putus asa, seolah tidak mengharapkan jawaban. Matahari merayap naik, dan dia memanggil. Delia tidak bisa bergerak —kakinya lemas. Dia tidak pernah bergerak, suaminya memanggilnya, dan matahari terus terbit.

"Ya Tuhan!" Dia mendengar suaminya mengerang, "Ya Tuhan di surga!" Dia mendengar suaminya terhuyung-huyung dan dia bangkit dari hamparan bunga. Matahari semakin hangat. Saat dia mendekati pintu, dia mendengar suaminya memanggil penuh harap, "Delia, apa itu kau?"

Dia melihatnya berlutut begitu dia sampai di pintu. Suaminya merayap satu atau dua inci ke arahnya —hanya itu yang bisa dilakukannya, dan Delia melihat lehernya yang bengkak parah dan satu matanya yang terbuka berkilat dengan harapan. Gelombang rasa kasihan yang terlalu kuat untuk ditahan membuatnya menjauh dari mata yang pasti, yang tidak mungkin, tidak bisa melihat bak-bak cuciannya. Dia akan melihat cahaya. Orlando dengan para dokternya terlalu jauh. Dia nyaris tidak bisa mencapai pohon chinaberry, tempat dia menunggu dalam panas yang semakin menyengat sementara di dalam dia tahu sungai dingin merayap naik untuk memadamkan mata itu yang pasti sekarang tahu bahwa Delia tahu.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Zora Neale Hurston yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Getsemani: taman di kaki Bukit Zaitun di Yerusalem Timur, tempat, menurut keempat Injil Perjanjian Baru, Yesus Kristus mengalami Penderitaan di taman itu dan ditangkap sebelum penyalibanNya. Taman itu adalah tempat yang sangat dikenal dalam agama Kristen. Ada beberapa kebun zaitun kecil di properti gereja, semuanya berdekatan satu sama lain dan diidentifikasikan dengan Getsemani dalam Alkitab.

2 Bukit Kalvari: atau Golgota, situs yang berada tepat di luar tembok Yerusalem Romawi tempat, menurut Empat Injil kanonik Kristen, Yesus disalibkan.

3 Perjamuan kasih: atau perjamuan agape; merujuk kepada makanbersama yang dilakukan oleh umat Kristiani dan kelompok lain seperti Freemason. Nama ini berasal dari kata Yunani agape, yang berarti kasih ilahi.

4 Ventrilokuis: ahli suara perut atau sulap suara. Mereka adalah penghibur yang ahli berbicara tanpa menggerakkan bibir, sehingga suara seolah-olah berasal dari tempat lain, seperti dari boneka yang mereka gunakan.

5 Bunga pukul empat: Mirabilis jalapa, keajaiban Peru; spesies tanaman hias Mirabilis yang paling umum ditanam, dan tersedia dalam berbagai warna. Mirabilis dalam bahasa Latin berarti luar biasa dan Jalapa (atau Xalapa) adalah ibu kota negara bagian Veracruz di Meksiko. Mirabilis jalapa diyakini sudah dibudidayakan oleh suku Aztec untuk tujuan pengobatan dan ornamen.

Comments

Populer