Gaun Pengantin (The Trousseau ~ Anton Chekhov)
Jendela rumah kecil itu
selalu tertutup; penghuninya tidak peduli pada cahaya matahari –cahaya tidak
ada gunanya buat mereka. Jendela tidak pernah dibuka, karena mereka tidak
menyukai udara segar. Orang-orang yang menghabiskan hidup mereka di tengah-tengah
pohon akasia, mulberry, dan jelatang tidak punya minat pada alam. Cuma buat pengunjung musim panas Tuhan
menganugerahkan pemandangan yang indah itu. Umat manusia yang lain tetap tidak menyadari adanya
keindahan itu. Orang tidak pernah menghargai apa yang mereka miliki dalam
jumlah yang melimpah. "Apa yang kita miliki, tidak kita hargai," kita
bahkan tidak menyukainya.
Rumah kecil itu berdiri
di surga duniawi dengan pepohonan hijau dan burung-burung yang bersarang di
sana. Tapi di dalam... bedebah! Di musim panas, rumah itu sesak dan gerah; di
musim dingin, panas seperti sauna Turki2, tidak ada udara sama
sekali, dan suram!
Pertama kalinya aku
mengunjungi rumah kecil itu bertahun-tahun yang lalu untuk satu urusan. Aku
membawa pesan dari Sang Kolonel pemilik rumah itu untuk istri dan anak
perempuannya. Kunjungan pertama itu kuingat dengan sangat jelas. Tidak mungkin untuk melupakannya.
Bayangkan seorang
perempuan kurus berumur empat puluh, menatapmu dengan rasa khawatir dan heran
ketika kau berjalan dari jalan masuk ke ruang duduk. Kau adalah orang asing, seorang tamu, "seorang
pemuda"; itu sudah cukup baginya untuk merasa takut dan bingung. Walaupun
kau tidak punya belati, kapak, atau revolver di tanganmu, dan meskipun kau
tersenyum ramah, kau disambut dengan kewaspadaan.
"Kepada siapa rasa
hormat dan bahagia saya ini harus saya berikan?" perempuan kecil itu
bertanya dengan suara gemetar.
Aku memperkenalkan diri
dan menjelaskan alasan kedatanganku. Kewaspadaan dan kehati-hatiannya langsung berubah menjadi pekik gembira,
melengking, "Ach!",
lalu dia mengarahkan matanya ke atas ke langit-langit. "Ach!" itu
berubah menjadi gema dan
berulang-ulang dari lorong ke ruang tamu, dari ruang tamu ke dapur, dan begitu
seterusnya sampai ke ruang bawah tanah. Tak lama kemudian seluruh rumah
dipenuhi "Ach!" dengan bermacam-macam nada.
Lima menit kemudian aku
duduk di kursi panjang besar, lembut, dan hangat di ruang tamu sambil
mendengarkan "Ach!" bergema di sepanjang jalan. Ada bau ngengat, dan
bau sepatu kulit kambing, sepasang sepatu yang tergeletak di kursi di sampingku
terbungkus saputangan. Di jendela ada bunga geranium, dan tirai dari kain
muslin, dan di tirai itu lalat-lalat diam tak bergerak. Di dinding tergantung
potret seorang uskup, dilukis
dengan cat minyak, dengan kaca yang pecah di salah satu sudutnya, dan di
samping uskup itu deretan potret leluhur dengan wajah gipsy berwarna lemon. Di
atas meja tergeletak bidal, gulungan kapas, dan stocking setengah-rajutan, kertas pola dan sebuah blus hitam, yang
dijahit bersama, tergeletak di lantai. Di kamar sebelah dua perempuan tua yang
terkejut dan gugup buru-buru mengambil pola itu dan potongan kapur jahit dari
lantai.
"Anda harus, yah,
memaafkan kami; kami begitu berantakan," kata perempuan kecil itu.
Saat dia bicara kepadaku,
dia mencuri pandang malu-malu ke ruang lain tempat pola itu masih dibersihkan.
Pintunya juga tampak malu-malu, membuka satu atau dua inci lalu menutup lagi.
"Ada apa?" kata
perempuan kecil itu, kepada pintu.
"Où est mon cravatte
lequel mon père m'avait envoyé de Koursk?3" tanya suara seorang perempuan di balik pintu.
"Ah, est-ce que,
Marie.... que..4. Sungguh, itu tidak mungkin.... Nous avons donc chez
nous
un
homme peu connu de nous5. Tanya Lukerya."
"Betapa fasihnya
kita bicara Perancis!" aku
membaca di mata perempuan kecil itu, yang memerah karena senang.
Tak lama kemudian pintu
terbuka dan aku melihat seorang gadis kurus, tinggi, berumur sembilan belas, dalam balutan gaun muslin panjang dengan ikat
pinggang emas yang, seingatku, digantungi kipas dari mutiara terbaik. Dia masuk, membungkuk hormat, dan merona merah. Hidung mancungnya, dengan sedikit bopeng bekas
cacar,
berubah merah terlebih
dahulu, lalu rona itu sampai ke mata
dan dahinya.
"Putriku," seru si perempuan kecil, "dan,
Manetchka, ini ada seorang pemuda yang datang," dan seterusnya.
Aku diperkenalkan, dan menunjukkan rasa terkejutku pada banyaknya pola kertas di sana. Ibu dan anak itu menundukkan pandangan mereka.
"Kami punya pasar raya di sini di
Ascension," kata si ibu;
"kami selalu membeli bahan
di pasar itu, kemudian itu membuat kami sibuk menjahit sampai pasar raya tahun depan datang lagi. Kami tidak pernah
mengeluarkan uang untuk sesuatu yang bisa kami buat. Gaji suami saya sangat kecil, dan kami tidak memberikan diri kami kemewahan. Jadi kami harus membuat segalanya sendiri."
"Tapi siapa yang
akan memakai barang
sebanyak itu? Anda cuma
berdua?"
"Oh... Anda kira kami
berpikir mau memakai semuanya! Itu bukan untuk dipakai; Itu untuk baju pengantin!"
"Ah, Mamam, apa yang kau katakan?" kata
putrinya, dan wajahnya
merona lagi.
"Tamu kita mungkin kira itu benar. Aku tidak berniat untuk menikah.
Tidak pernah!"
Dia mengatakan hal itu, tapi pada kata
"menikah" matanya berbinar.
Teh, biskuit, mentega,
dan selai dibawa
masuk,
diikuti rasberi dan krim. Pukul
tujuh, kami makan malam, yang terdiri dari enam hidangan, dan saat kami makan aku mendengar suara menguap keras dari kamar sebelah. Aku melihat dengan perasaan kaget ke pintu: itu suara menguap yang hanya bisa keluar
dari mulut seorang laki-laki.
"Itu saudara laki-laki suami saya, Yegor Semyonitch,"
perempuan kecil
itu
menjelaskan, demi
melihat saya
terkejut. "Dia sudah tinggal bersama kami selama setahun terakhir. Maafkan dia, dia tidak bisa keluar untuk menemui Anda. Dia orang yang tidak gampang bergaul, dia malu pada orang asing. Dia akan masuk biara. Dia diperlakukan tidak adil
dalam pelayanan, dan kekecewaan merusak pikirannya."
Setelah makan malam perempuan kecil itu menunjukkan
jubah gereja yang Yegor Semyonitch jahit dengan tangannya sendiri sebagai
persembahan buat Gereja. Manetchka menepis rasa malunya sesaat dan menunjukkan kantung tembakau yang dia jahit untuk ayahnya. Ketika aku berpura-pura mengagumi karyanya, wajahnya memerah dan membisikkan
sesuatu di telinga ibunya. Ibunya tersenyum lebar, lalu mengajakku untuk pergi bersamanya
ke gudang. Di sana aku ditunjukkan lima koper
besar, dan sejumlah tas
kecil dan kotak.
"Ini adalah gaun
pengantinnya," bisik ibunya; "kami membuat semuanya sendiri."
Setelah melihat
koper-koper yang menakutkan itu aku mohon diri kepada tuan rumah yang ramah itu. Mereka membuatku berjanji untuk datang dan menemui mereka lagi suatu hari nanti.
Akhirnya aku bisa menepati janji. Tujuh
tahun setelah kunjungan pertamaku, aku dikirim ke kota kecil itu lagi untuk memberikan kesaksian ahli dalam kasus yang sedang disidangkan.
Ketika aku masuk rumah kecil itu aku mendengar "Ach!" yang sama bergema. Mereka langsung mengenaliku. Yah, pasti! Kunjungan pertamaku adalah sebuah peristiwa besar dalam hidup mereka, dan ketika
peristiwa yang terjadi cuma sedikit mereka akan
selalu
diingat.
Aku berjalan ke ruang
tamu: si ibu, yang sudah lebih gemuk dan beruban, merangkak di lantai, memotong beberapa bahan berwarna biru. Anak perempuannya duduk di sofa sambil menjahit.
Ada bau ngengat yang sama; ada pola yang sama,
potret yang sama dengan sudut yang pecah. Tidak ada
yang berubah. Di sebelah potret uskup tergantung
potret Sang Kolonel, dan perempuan itu sedang berkabung. Kematian Sang Kolonel terjadi seminggu setelah
dia dipromosikan menjadi jenderal.
Kenangan menggenang. Sang janda meneteskan air mata.
"Kami mengalami kemalangan yang luar biasa," katanya.
"Suami saya, Anda tahu, sudah meninggal. Kami sendirian di dunia sekarang, dan tidak ada seorang
pun yang bisa kita andalkan selain diri kami sendiri. Yegor Semyonitch masih
hidup, tapi saya tidak punya kabar baik untuk diceritakan tentangnya. Mereka tidak akan menerimanya di biara karena --karena mabuk-mabukan.
Dan sekarang
karena kekecewaannya dia minum
lebih banyak.
Saya sedang
berpikir untuk menemui Komandan Daerah untuk membuat pengaduan. Apa Anda percaya, dia lebih dari sekali membuka paksa koper itu dan... mengambil gaun pengantin Manetchka dan
memberikannya kepada pengemis. Dia sudah mengambil semuanya dari kedua koper! Kalau dia terus seperti itu, Manetchka saya tidak akan punya gaun pengantin sama sekali."
"Apa yang kau
katakan, Mamam?" kata Manetchka, malu. "Tamu kita mungkin kira... tidak ada yang tahu apa yang dia kira...
aku tidak akan --tidak akan pernah-- menikah."
Manetchka melemparkan pandangannya ke langit-langit dengan tatapan penuh harap, jelas tidak sedetik pun yakin pada
apa yang dikatakannya.
Sesosok laki-laki kecil berkepala botak dengan mantel coklat dan sepatu karet tapi bukan sepatu
bot melesat
seperti tikus di lorong lalu menghilang. "Yegor
Semyonitch, mungkin," pikirku.
Aku memandang ibu dan
anak itu
bersamaan.
Mereka berdua tampak jauh lebih tua dan sudah sangat berubah. Rambut si ibu keperakan, tapi si anak perempuan begitu muram dan layu sehingga ibunya lebih terlihat seperti kakaknya, tidak lebih dari lima tahun lebih tua.
"Saya sudah putuskan untuk menemui
Komandan,"
kata si ibu kepadaku, lupa kalau dia sudah mengatakan hal itu
kepadaku.
"Maksudku untuk membuat pengaduan.. Yegor Semyonitch mengambil semua yang sudah kami buat, dan menawarkan itu untuk menebus jiwanya. Manetchka saya ditinggalkan tanpa gaun
pengantin."
Manetchka merona lagi, tapi kali ini dia tidak berkata apa-apa.
"Kami harus membuatnya lagi. Dan Tuhan tahu kami tidak kaya. Kami sendirian di dunia
sekarang."
"Kami sendirian di
dunia," ulang Manetchka.
Setahun yang lalu takdir
membawaku sekali lagi ke rumah
kecil itu.
Saat memasuki di ruang tamu, aku melihat seorang perempuan tua. Berpakaian serba hitam
dengan kain krep pleureuse6 berat, dia duduk di sofa sambil menjahit. Di sampingnya duduk seorang laki-laki tua kecil dengan mantel coklat dan sepatu karet tapi bukan sepatu
bot. Ketika melihatku, laki-laki itu melompat dan berlari keluar
ruangan.
Menjawab salamku, perempuan tua itu tersenyum dan berkata:
"Je suis charmée
de vous revoir, Monsieur7."
" Apa yang sedang
Anda buat?" tanyaku, agak terlambat.
"Ini blus. Kalau ini selesai saya akan membawanya kepada pendeta
untuk menyimpankannya, kalau tidak Yegor Semyonitch akan
membawanya pergi. Saya menyimpan semuanya pada pendeta sekarang," tambahnya berbisik.
Dan memandang potret anak perempuannya yang berdiri di depannya
di atas meja, dia menghela napas lalu berkata:
"Kita semua sendirian di dunia."
Dan di mana anak perempuannya? Di mana Manetchka? Aku tidak bertanya. Aku tidak berani
bertanya pada ibu tua yang memakai pakaian berkabung barunya. Dan ketika aku berada di dalam ruangan, sampai aku bangkit untuk pergi, tidak ada Manetchka
yang keluar untuk menyalamiku. Aku tidak mendengar
suaranya, atau langkah
kaki lembut malu-malunya....
Aku paham, dan hatiku terasa berat.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Rumah bandar: townhouse;
kompleks kecil yang berisi rumah-rumah yang dibangun secara teratur. Rumah
bandar biasanya memiliki sistem tertutup (cluster), dilengkapi dengan
fasilitas bersama seperti kolam renang, ruang terbuka, dan sebagainya, serta
memiliki sistem keamanan yang lebih baik daripada perumahan pada umumnya.
2 Sauna
Turki: hammam; jenis
pemandian uap atau tempat pemandian umum yang terkait dengan dunia Islam. Ini
adalah fitur yang menonjol dalam budaya dunia Muslim dan diwarisi dari model
thermae Romawi. Pemandian ini secara historis ditemukan di seluruh Timur
Tengah, Afrika Utara, al-Andalus, Asia Tengah, anak benua India, dan di Eropa
Tenggara di bawah kekuasaan Ottoman.
3 Où est mon cravatte lequel mon père m'avait envoyé de Koursk? : di mana dasiku yang dikirim ayahku lewat
Koursk? (Prancis)
4 Ah, est-ce que, Marie.... que...: ah, itu, Marie... itu... (Prancis).
5 Nous avons donc chez nous un homme peu connu de nous: jadi di sini kita punya orang yang cuma tahu sedikit (Prancis).
6 Pleureuse: orang yang berduka (Prancis).
7 Je suis charmée de vous revoir, Monsieur: aku senang melihatmu lagi, tuan (Prancis).

Comments
Post a Comment