Sang Pemburu (The Huntsman ~ Anton Chekhov)
Seorang laki-laki sekitar empat puluhan, tinggi, berbahu kecil, berkemeja merah, dengan celana yang ditambal dan sepatu boot, berjalan malas menyusuri tepian lapangan. Dia menyisir jalanan. Di sebelah kanannya hijau pepohonan, di kirinya, sejauh mata memandang, membentang lautan emas gandum siap panen. Wajahnya merah dan berkeringat. Sebuah topi joki putih, sepertinya hadiah dari beberapa pengawal yang murah hati, nangkring dengan gagah di kepalanya yang pirang. Di bahunya menggantung tas dengan burung belibis yang menggerutu di dalamnya. Pria itu membawa senapan laras ganda yang terkokang dan menyipitkan matanya ke arah anjing-tua-kurusnya, yang berlari di depan, mengendus semak-semak. Begitu tenang, tidak ada suara sama sekali. Semua yang hidup menyembunyikan dirinya dari panas.
“Yegor Vlasych!” sang pemburu tiba-tiba mendengar sebuah suara pelan.
Dia berhenti sebentar lalu berbalik, cemberut. Di sampingnya, seakan muncul begitu saja dari dalam tanah, berdiri seorang perempuan berwajah pucat sekitar tiga puluhan dengan sabit di tangannya. Dia mengintip wajah si pemburu dan tersenyum malu-malu.
“Ah, kau, Pelageya!” kata si pemburu, berhenti dan perlahan-lahan menetralkan senjatanya.
“Hmm... Bagaimana kau bisa ke sini?"
“Perempuan-perempuan dari desa kami bekerja di sini, jadi aku ke sini bersama mereka. Dipekerjakan sebagai pembantu, Yegor Vlasych.”
“O...,” Yegor Vlasych mendengus dan pelan-pelan kembali berjalan.
Pelageya mengikutinya. Mereka berjalan sekitar dua puluh langkah dalam keheningan.
“Aku sudah lama tidak melihatmu, Yegor Vlasych," kata Pelageya, menatap lembut bahu dan belikat si pemburu yang bergerak-gerak. “Kau mampir di pondokku untuk minum saat Paskah, dan aku belum melihatmu lagi sejak itu. Kau mampir sebentar saat Paskah, dan Tuhan tahu bagaimana... dalam keadaan mabuk... Kau memakiku, memukulku, lalu pergi. Aku menunggu dan menunggu. Aku selalu menunggumu datang. Eh, Yegor Vlasych, Yegor Vlasych! Kalau saja kau mau datang sesekali!”
“Apa yang bisa kukerjakan di tempatmu?"
“Tidak ada yang bisa dikerjakan di sana, tentu saja, cuma... ada isi rumah... Hal-hal untuk dilihat. Kau tuannya. Lihatlah dirimu, menembak belibis, Yegor Vlasych! Kenapa kau tidak duduk dan beristirahat?"
Saat mengatakan semua itu, Pelageya tertawa seperti orang bodoh dan memandang wajah Yegor. Wajah Pelageya memancarkan kebahagiaan.
“Duduk? Kenapa tidak,” kata Yegor acuh tak acuh dan mengambil tempat di antara dua anakan pinus. “Kenapa kau masih berdiri? Duduklah!”
Pelageya duduk sedikit lebih jauh di bawah sinar matahari dan, malu-malu campur gembira, menutupi senyum di bibirnya dengan tangannya. Dua menit berlalu dalam diam.
“Kalau saja kau mau datang sebentar saja," gumam Pelageya pelan.
“Buat apa?” desah Yegor, melepas topinya dan menyeka dahi merahnya dengan lengan bajunya. “Tidak perlu. Mampir satu-dua jam –menghabiskan waktu, membuatmu salah tingkah—dan jiwaku tidak tahan hidup sepanjang waktu di desa. Kau tahu aku adalah laki-laki yang keras. Aku mau ada tempat tidur dan teh yang hangat, dan percakapan mesra. Aku menginginkan semua kenikmatan itu, dan di desa kau cuma punya kemiskinan, jelaga. Aku bahkan tidak bisa tinggal di sana sehari saja. Misalkan mereka mengeluarkan keputusan bahwa aku benar-benar harus hidup denganmu, aku lebih baik membakar pondok itu atau bunuh diri. Dari dulu aku sudah keras seperti ini, tidak ada yang bisa mengubahnya.”
"Di mana kau tinggal sekarang?"
"Di tempat Tuan Dmitri Ivanych, sebagai pemburu. Aku melayaninya, tapi itu lebih seperti... dia membiarkanku karena dia suka."
"Itu bukan hal bagus untuk dilakukan, Yegor Vlasych. Buat orang itu cuma permainan, tapi buatmu itu seperti berdagang... pekerjaan yang sesungguhnya..."
"Kau tidak mengerti, bodoh," kata Yegor, memandang kosong ke langit. "Kau tidak mengerti dan tidak akan mengerti laki-laki seperti apa aku ini. Bagimu, aku ini gila, tersesat, tapi buat mereka yang mengerti, aku adalah penembak terbaik di seantero distrik ini. Orang-orang terhormat tahu itu bahkan mereka menuliskan sesuatu tentangku di majalah. Tidak ada yang bisa menandingiku dalam soal berburu. Dan kalau aku menganggap rendah pekerjaan kampunganmu, itu bukan karena aku keras atau sombong. Dari kecil, kau tahu, aku tidak mengenal hal lain selain senapan dan anjing. Ambil senapanku, aku akan mengambil pancing, ambil pancingku, aku akan berburu dengan tangan kosong. Yah, aku juga menjual kuda, berkeliling ke pameran-pameran setiap kali aku punya uang, dan kau tahu sendiri, kalau petani terlibat dengan pemburu atau pedagang kuda, itu adalah ucapan selamat tinggal pada bajaknya. Begitu perasaan merdeka mengendap dalam diri seorang laki-laki, tidak ada cara untuk mengeluarkannya lagi dari dirinya. Itu seperti ketika seorang tuan tanah menjadi aktor atau terlibat dalam seni yang lain, maka baginya tidak ada lagi keinginan untuk jadi pejabat atau tuan tanah. Kau perempuan. kau tidak mengerti, dan itu butuh pe-ngerti-an."
"Aku mengerti, Yegor Vlasych."
"Berarti kau tidak mengerti, karena kau mau menangis..."
"Aku... Aku tidak menangis...," kata Pelageya, berpaling. "Ini dosa, Yegor Vlasych! Kau bisa menghabiskan setidaknya satu hari saja denganku, perempuan malang. Sudah dua belas tahun aku menikah denganmu, dan... dan tidak pernah ada cinta di antara kita! Aku... aku tidak menangis..."
"Cinta...," gumam Yegor, menggaruk lengannya. "Tidak mungkin ada cinta. Itu cuma sebutan saja kalau kita adalah suami-istri, tapi apa benar begitu? Bagimu aku adalah laki-laki liar, dan buatku kau adalah seorang perempuan sederhana, yang tidak mengerti. Apakah kita adalah pasangan? Aku bebas, keras, nyantai, dan kau seorang buruh tani tanpa alas kaki, kau hidup di dalam lumpur, kau tidak pernah bisa santai. Aku berpikir seperti ini tentang diriku sendiri, bahwa aku adalah yang terbaik dalam hal berburu, tapi kau menatapku dengan rasa kasihan. Pasangan macam apa kita ini?"
"Tapi kita menikah di gereja, Yegor Vlasych!" isak Pelageya.
"Tidak atas kemauan sendiri... Apa kau lupa? Kau boleh berterima kasih pada Tuan Sergei Pavlych... dan dirimu sendiri. Tuan itu iri karena aku menembak lebih baik dari dirinya, membuatku mabuk selama satu bulan penuh, dan seorang laki-laki mabuk bukan cuma bisa 'dinikahkan' tapi bahkan bisa disuruh pindah agama. Dengan niat balas dendam dia menikahkanku dengan dirimu. Seorang pemburu dengan seorang gadis desa. Kau tahu aku mabuk, mengapa kau menikah denganku? Kau bukan budak, kau bisa bilang tidak! Tentu saja, keberuntungan buat seorang perempuan desa bisa menikah dengan seorang pemburu, tapi kita harus logis. Nah, jadi sekarang kau bisa meratap dan menangis. Ini cuma lelucon buat tuan itu, tapi kau menangis... menghantamkan kepalamu ke tembok."
Lalu hening. Tiga bebek liar terbang di atas lapangan. Yegor melihatnya dan mengikuti mereka dengan matanya sampai mereka berubah menjadi tiga bintik yang nyaris tak terlihat dan turun jauh di ujung hutan.
"Bagaimana kau hidup?" dia bertanya, menggeser matanya dari bebek ke Pelageya.
"Aku bekerja sekarang, dan di musim dingin aku mengambil bayi dari panti asuhan dan merawatnya dengan botol. Mereka memberiku satu setengah rubel setiap bulan." Lalu...
Sekali lagi hening. Dari tanaman yang dipanen mengalun lagu lembut, yang terputus di awal tadi. Hari ini terlalu panas untuk sebuah lagu.
"Orang-orang bilang kau membuatkan pondok baru untuk Akulina," kata Pelageya.
Yegor diam.
"Berarti dia lebih berarti daripada hatimu sendiri..."
"Cuma segitu keberuntunganmu, nasibmu!" kata sang pemburu, ngulet. "Hiduplah dengan itu, anak yatim. Tapi, bagaimanapun, selamat tinggal, kita sudah bicara terlalu banyak. Aku harus sampai di Boltovo sebelum malam."
Yegor bangkit, meregangkan tubuhnya, meletakkan senapannya di bahu. Pelageya berdiri.
"Dan kapan kau akan datang ke desa?" dia bertanya dengan lembut.
"Tidak ada gunanya. Aku tidak pernah tidak mabuk, dan ketika aku mabuk tidak ada untungnya buatmu. Aku marah ketika aku mabuk. Selamat tinggal!"
"Selamat tinggal, Yegor Vlasych..."
Yegor memakai topinya dan, memanggil anjingnya, meneruskan jalannya. Pelageya tetap bediri di tempatnya dan melihat punggungnya. Dia melihat bahunya yang bergerak-gerak, kepalanya yang gagah, langkahnya yang malas dan acuh tak acuh, dan matanya dipenuhi dengan kesedihan dan sebuah perasaan kasih. Tatapannya meraih sosok jangkung-kurus suaminya dan perasaan itu dan cinta itu... Laki-laki itu sepertinya merasakan tatapan itu, berhenti, dan memalingkan wajahnya... Dia diam, tapi Pelageya bisa melihat dari wajahnya, dari bahunya yang terangkat, laki-laki itu ingin mengatakan sesuatu padanya. Malu-malu dia mendatangi laki-laki itu dan menatapnya dengan pandangan memohon.
"Buatmu!" katanya, berpaling.
Laki-laki itu memberikannya selembar rubel lusuh dan segera berjalan pergi.
"Selamat tinggal, Yegor Vlasych!" katanya, sambil menerima rubel tadi.
Laki-laki itu berjalan menyusuri jalan yang lurus dan panjang sambil mengencangkan ikat pinggangnya. Dia berdiri pucat, tidak bergerak seperti patung, dan menangkapnya setiap langkah laki-laki itu dengan matanya. Tapi sekarang warna merah kemeja laki-laki itu menyatu dengan warna gelap celananya, langkahnya tidak bisa lagi dilihat, anjingnya tidak bisa dibedakan dengan sepatu boot-nya. Hanya ujung topinya yang masih bisa terlihat, tapi... tiba-tiba Yegor berbelok ke kanan lapangan dan ujung topi itu menghilang dalam lautan warna hijau.
"Selamat tinggal, Yegor Vlasych!"
Pelageya berbisik dan berjinjit supaya setidaknya bisa
melihat topi putih itu sekali lagi.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***

Comments
Post a Comment