Kisah Seorang Seniman (An Artist’s Story ~ Anton Chekhov)

Kisah Seorang Seniman (An Artist’s Story ~ Anton Chekhov)

I

Enam atau tujuh tahun yang lalu saya tinggal di salah satu distrik di Provinsi T----, di tanah milik seorang tuan tanah muda bernama Byelokurov, yang biasa bangun pagi-pagi, memakai pakaian khas petani, minum bir di malam hari, dan terus-menerus mengeluh kepada saya bahwa dia tidak pernah mendapatkan simpati dari siapa pun. Dia tinggal di pondok di taman, dan saya di rumah tua sang tuan tanah1, di ruangan besar dengan tiang-tiang, yang tidak ada perabotannya sama sekali kecuali sebuah sofa lebar yang biasa saya gunakan untuk tidur, dan meja yang biasa saya gunakan untuk membaringkan pasien saya. Selalu ada, bahkan dalam cuaca yang tenang, suara mendengung di tungku Amos tua, dan di tengah badai guntur seluruh rumah berguncang dan seolah-olah retak berkeping-keping; dan itu agak menakutkan, terutama di malam hari, ketika di kesepuluh jendela besarnya tiba-tiba terlihat kilatan petir.

Dikutuk oleh takdir untuk bermalas-malasan, saya sama sekali tidak melakukan apa pun. Selama berjam-jam saya menatap keluar jendela ke langit, ke burung-burung, ke jalan raya, membaca semua yang dikirim kepada saya lewat pos, lalu tidur. Kadang-kadang saya keluar rumah dan berkeliaran sampai larut di malam hari.

Suatu hari ketika saya pulang ke rumah, saya tidak sengaja tersesat di suatu tempat yang tidak saya ketahui. Matahari sudah mulai terbenam, dan bayangan senja menyelimuti ladang gandum yang sedang berbunga. Dua deretan pohon cemara tua, yang ditanam rapat, yang sangat tinggi berdiri seperti sepasang dinding yang membentuk jalan yang indah dan suram. Saya dengan mudah memanjat pagar dan berjalan di sepanjang jalan, tergelincir di atas daun cemara yang terserak setebal dua inci dari tanah. Saat itu sunyi dan gelap, dan di mana-mana di puncak pohon-pohon tinggi, cahaya keemasan yang terang bergetar dan membuat pelangi di jaring laba-laba. Ada bau getah yang kuat dan menyesakkan. Lalu saya berbelok ke jalan panjang yang dipenuhi pohon jeruk nipis. Di sini, semuanya juga sunyi dan menua; daun-daun tahun lalu menguning sedih di bawah kaki saya dan dalam bayangan senja mengintip di antara pepohonan. Dari kebun tua di sebelah kanan terdengar suara samar dan malas dari burung oriole emas, yang pasti sudah tua juga. Tapi akhirnya pepohonan jeruk itu berakhir. Saya berjalan melewati rumah tua berwarna putih dua lantai dengan sebuah teras, dan tiba-tiba terbuka di hadapan saya sebuah pemandangan halaman, kolam besar dengan tempat pemandian, sekumpulan pohon willow hijau, dan desa di seberangnya, dengan menara lonceng yang tinggi dan sempit yang di atasnya berkilauan sebuah salib yang memantulkan cahaya matahari terbenam.

Untuk sesaat, ini mengingatkan saya pada pesona yang sama dari sesuatu yang dekat dan sangat akrab, seperti rasanya saya pernah melihat pemandangan itu di suatu waktu di masa kecil.

Di gerbang batu putih di halaman yang mengarah ke ladang, gerbang kokoh kuno dengan singa di atasnya, berdiri dua orang gadis. Yang satu, yang lebih tua, adalah seorang gadis yang bertubuh ramping, pucat, dan cantik dengan rambut coklat kastanya yang sempurna dan mulut yang sedikit bawel, memiliki wajah serius dan nyaris tidak memperhatikan saya, sementara yang satunya lagi, yang masih sangat muda, berumur sekitar tujuh belas atau delapan belas, juga ramping dan pucat, dengan mulut dan mata yang besar, menatap saya dengan heran saat saya lewat, mengatakan sesuatu dalam Bahasa Inggris, dan merasa malu. Dan menurut saya kedua wajah yang menawan ini juga sudah lama saya kenal. Dan saya pulang ke rumah dengan perasaan seolah-olah saya baru saja bermimpi indah.

Suatu pagi tak lama setelah itu, ketika Byelokurov dan saya sedang berjalan-jalan di dekat rumah, sebuah kereta tiba-tiba melaju ke halaman, bergemerisik di atas rumput, dan di dalamnya duduk salah satu gadis itu. Yang lebih tua. Dia datang untuk meminta tanda tangan beberapa penduduk desa yang rumahnya terbakar. Berbicara dengan sangat serius dan hati-hati, dan tanpa melihat ke arah kami, dia memberi tahu kami berapa banyak rumah di desa Siyanovo sudah terbakar, berapa banyak laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang kehilangan tempat tinggal, dan apa saja langkah yang sudah diambil, pertama-tama, oleh Komite Bantuan, tempat dia sekarang menjadi anggotanya. Setelah menyerahkan daftar untuk kami tanda tangani itu, dia menyimpannya dan segera berpamitan dengan kami.

"Kau benar-benar melupakan kami, Pyotr Petrovitch," katanya kepada Byelokurov sambil menjabat tangannya. "Datanglah, dan kalau Tuan N (dia menyebut nama saya) mau berkenalan dengan para pengagum karyanya, dan datang menemui kami, ibu dan aku akan senang sekali."

Saya membungkuk.

Ketika dia pergi, Pyotr Petrovitch mulai bercerita tentangnya. Gadis itu, katanya, berasal dari keluarga baik-baik, dan namanya adalah Lidia Voltchaninov, dan perkebunan tempat dia tinggal dengan ibu dan saudara perempuannya, yang seperti desa di seberang kolam, disebut Shelkovka. Ayahnya pernah memegang posisi penting di Moskow, dan sudah meninggal dengan jabatan sebagai anggota dewan penasihat. Meskipun mereka memiliki cukup uang, keluarga Voltchaninov hidup di perkebunan mereka selama musim panas dan musim dingin tanpa pergi ke mana-mana. Lidia adalah seorang guru di sekolah Zemstvo2 di desanya sendiri, dan menerima gaji dua puluh lima rubel sebulan. Dia tidak menghabiskan harta apa pun untuk dirinya sendiri kecuali dari gajinya, dan bangga bisa mendapatkan nafkahnya sendiri.

"Keluarga yang menarik," kata Byelokurov. "Mari kita bahas suatu hari nanti. Mereka akan senang bertemu denganmu."

Suatu sore di hari libur kami memikirkan keluarga Voltchaninov, dan pergi ke Shelkovka untuk menemui mereka. Mereka —sang ibu dan dua putrinya— ada di rumah. Sang ibu, Ekaterina Pavlovna, yang dulunya cantik, tapi yang sekarang, menderita asma, depresi, suram, dan terlalu lemah untuk perempuan seusianya, mencoba menyenangkan saya dengan percakapan tentang lukisan. Setelah mendengar dari putrinya bahwa saya akan datang ke Shelkovka, dia buru-buru mengingat dua atau tiga lukisan pemandangan saya yang pernah dilihatnya di pameran di Moskow, dan sekarang bertanya apa yang ingin saya sampaikan melalui lukisan itu. Lidia, atau yang biasa mereka panggil Lida, berbicara lebih banyak kepada Byelokurov daripada kepada saya. Dengan serius dan tanpa senyum, dia bertanya kepadanya kenapa dia tidak ada di Zemstvo, dan kenapa dia tidak menghadiri satu pun pertemuannya.

"Itu tidak baik, Pyotr Petrovitch," kata gadis itu dengan nada mencela. "Itu tidak baik. Itu sangat buruk."

"Itu benar, Lida --itu benar," sang ibu mengiyakan. "Itu tidak baik."

“Seluruh distrik kita ada di tangan Balagin,” lanjut Lida, bicara kepada saya. “Dia adalah Ketua Dewan Zemstvo, dan dia sudah membagikan semua jabatan di distrik ini kepada keponakan-keponakannya dan menantu-menantunya; dan dia berbuat sesuka hatinya. Dia seharusnya ditentang. Laki-laki harus membuat partai yang kuat, tapi kau lihat seperti apa anak-anak muda kita. Memalukan sekali, Pyotr Petrovitch!"

Adik perempuannya, Genya, terdiam saat mereka bicara tentang Zemstvo. Dia tidak ikut dalam percakapan serius. Dia dianggap belum cukup dewasa oleh keluarganya, dan seperti anak kecil, selalu dipanggil dengan nama panggilan Misuce, karena memang begitulah dia dipanggil oleh pengasuh Inggrisnya ketika dia masih kecil. Dia selalu menatap saya dengan rasa ingin tahu, dan ketika saya melirik foto-foto di album, dia menjelaskan kepada saya: "Itu paman... itu ayah baptis," sambil menggerakkan jarinya di atas foto. Saat dia melakukannya, dia menyentuh saya dengan bahunya seperti anak kecil, dan saya bisa melihat dari jarak dekat dadanya yang halus dan belum berkembang, bahunya yang ramping, kepangan rambutnya, dan tubuh mungilnya yang kurus ditarik erat oleh ikat pinggangnya.

Kami bermain kroket dan tenis, kami berjalan-jalan di taman, minum teh, dan kemudian duduk lama sekali setelah makan malam. Setelah ruangan kosong besar dengan tiang-tiangnya, di rumah kecil yang nyaman ini yang tidak ada oleograf3 di dindingnya dan tempat para pelayan diperlakukan dengan sopan, saya merasa, seolah-olah, berada di rumah sendiri. Dan semuanya tampak muda dan murni di mata saya, berkat kehadiran Lida dan Misuce, dan ada atmosfer ketulusan di atas segalanya. Saat makan malam, Lida bicara lagi dengan Byelokurov tentang Zemstvo, tentang Balagin, dan perpustakaan sekolah. Dia adalah seorang gadis yang energik dan tulus, dengan sebuah keyakinan, dan menarik mendengarkannya, meskipun dia banyak bicara dan dengan suara keras —mungkin karena dia biasa bicara di sekolah. Di sisi lain, Pyotr Petrovitch, yang masih memiliki kebiasaan sejak kuliah untuk mengubah setiap perbincangan menjadi perdebatan, membosankan, datar, bertele-tele, dan jelas-jelas ingin terlihat pintar dan maju. Menunjuk-nunjuk, dia menjatuhkan mangkuk saus dengan lengan bajunya, membuat genangan besar di atas taplak meja, tapi tidak seorang pun kecuali saya yang menyadarinya.

Sudah gelap dan sunyi saat kami pulang.

“Pendidikan yang baik ditunjukkan bukan dengan tidak marah karena sausnya, tapi dengan pura-pura tidak melihat ketika orang menumpahkannya," kata Byelokurov sambil mendesah. "Ya, keluarga yang hebat dan terpelajar! Aku sudah dikeluarkan dari semua masyarakat yang terhormat; sungguh mengerikan bagaimana aku keluar darinya! Itu semua dengan kerja, kerja, kerja!"

Dia bicara tentang betapa kerasnya seseorang harus bekerja kalau ingin menjadi petani yang baik. Dan saya pikir dia adalah orang yang lamban dan menjemukan! Setiap kali dia bicara tentang sesuatu yang serius, dia mengucapkan "Er-er" dengan usaha keras, dan membuatnya, saat bicara, menjadi pelan, lambat dan ketinggalan. Saya agak yakin pada kemampuan bisnisnya kalau bukan karena fakta bahwa ketika saya memberinya surat untuk dikirim, dia menyimpannya di sakunya selama berminggu-minggu.

"Hal tersulit dari semuanya," gumamnya saat berjalan di samping saya --"hal tersulit dari semuanya adalah, sekeras apapun seseorang bekerja, dia tidak akan mendapatkan simpati dari siapa pun. Tidak ada simpati!"

II

Saya pergi untuk menemui keluarga Voltchaninov. Sebagai aturan saya duduk di anak tangga bawah teras; saya merasa gelisah karena ketidakpuasan terhadap diri saya sendiri; saya menyesal memikirkan hidup saya yang akan berlalu begitu saja dengan cepat dan tidak menarik, dan rasanya seperti ingin mencabut dari dada saya hati yang sudah terasa sangat berat. Sementara itu saya mendengar percakapan di teras, gemerisik gaun, halaman buku yang dibalik. Saya kemudian terbiasa dengan gagasan bahwa siang hari Lida akan menerima pasien, membagikan buku, dan sering pergi ke desa dengan payung tanpa topi, dan pada malam hari bicara dengan keras tentang Zemstvo dan sekolah. Gadis ramping, cantik, dan selalu tegas ini, dengan mulutnya yang kecil dan indah, selalu berkata dengan datar ketika pembicaraan beralih ke topik serius:

"Itu tidak menarik buatmu."

Dia tidak menyukai saya. Dia tidak menyukai saya karena saya adalah seorang pelukis pemandangan dan dalam lukisan-lukisan saya, saya tidak menggambarkan kesulitan hidup para petani, dan, seperti yang dia sangkakan, saya tidak peduli kenapa dia harus mengurusi soal-soal seperti itu. Saya ingat ketika saya berjalan-jalan di tepi Danau Baikal, saya bertemu dengan seorang gadis Buriat di atas kuda, mengenakan kemeja dan celana panjang kanvas berwarna biru Cina; saya bertanya padanya apakah dia mau menjual pipanya. Saat kami bicara, dia melihat dengan pandangan merendahkan pada wajah dan topi Eropa saya, dan dalam sekejap dia merasa bosan bicara dengan saya; dia berteriak pada kudanya dan berlari kencang. Dan dengan cara yang sama, Lida membenci saya seperti orang asing. Dia tidak pernah secara terbuka menunjukkan ketidaksukaannya, tapi saya merasakannya, dan duduk di anak tangga paling bawah teras, saya merasa kesal, dan berkata bahwa mengobati petani ketika seseorang bukan seorang dokter berarti menipu mereka, dan bahwa mudah untuk bersikap baik hati ketika seseorang memiliki tanah enam ribu hektar.

Sementara itu adiknya Misuce tidak peduli pada apa pun, dan menghabiskan hidupnya dengan santai seperti saya. Ketika dia bangun di pagi hari, dia langsung mengambil buku dan duduk untuk membaca di teras di sebuah kursi berlengan, dengan kaki tidak menyentuh tanah, atau membenamkan dirinya dengan buku di jalanan yang dipenuhi pohon jeruk, atau berjalan keluar ke ladang. Dia menghabiskan waktu seharian membaca, melahap buku dengan rakus, dan hanya dari tatapan lelah dan linglung di matanya dan wajahnya yang sangat pucat, orang bisa menebak bagaimana membaca terus-menerus itu menguras otaknya. Ketika saya datang wajahnya akan merona sedikit, meninggalkan bukunya, dan menatap wajah saya dengan matanya yang besar, lalu menceritakan pada saya dengan penuh semangat tentang apa pun yang sudah terjadi —misalnya, cerobong asap di aula pembantu yang terbakar, atau salah satu pemuda menangkap seekor ikan besar di kolam. Pada hari-hari biasa dia akan pergi dengan blus cerah dan rok biru tua. Kami berjalan-jalan bersama, memetik ceri untuk membuat selai, keluar dengan perahu. Ketika dia melompat untuk meraih buah ceri atau mendayung perahu, lengannya yang kurus dan lemah terlihat melalui lengan bajunya yang transparan. Atau ketika saya melukis sketsa, dan dia berdiri di samping saya sambil menyaksikan dengan penuh kekaguman.

Suatu hari Minggu di akhir bulan Juli saya datang ke rumah keluarga Voltchaninov sekitar pukul sembilan pagi. Saya berjalan-jalan di taman, menjaga jarak yang cukup jauh dari rumah, mencari jamur putih, yang jumlahnya sangat banyak pada musim panas, dan mengingat posisinya agar bisa datang dan mengambilnya nanti bersama Genya. Ada angin sepoi-sepoi yang hangat. Saya melihat Genya dan ibunya sama-sama mengenakan gaun tipis pulang dari gereja, Genya memegangi topinya yang tertiup angin. Setelah itu saya mendengar mereka minum teh di teras.

Bagi orang sembarangan seperti saya, yang mencoba mencari pembenaran atas kemalasan saya yang tidak ada habisnya, menghabiskan pagi hari libur di rumah pedesaan di musim panas selalu memiliki suasana tersendiri. Ketika taman yang hijau, masih basah dengan embun, berkilauan di bawah sinar matahari dan tampak berseri-seri karena kebahagiaan, ketika ada aroma mignonette4 dan oleander di dekat rumah, ketika anak-anak muda baru kembali dari gereja dan sarapan di taman, semua berpakaian indah dan ceria, dan orang yang tahu bahwa semua pemuda sehat, cukup makan, dan menawan itu tidak akan melakukan apa pun sepanjang hari, orang itu akan berharap agar kehidupannya berjalan seperti itu. Sekarang, saya juga punya pikiran yang sama, dan berjalan di sekitar taman yang memang dibuat untuk berjalan-jalan seperti itu, tanpa tujuan dan tanpa kegiatan, sepanjang hari, sepanjang musim panas.

Genya keluar dengan sebuah keranjang; dia memiliki ekspresi di wajahnya seolah-olah dia tahu dia akan

menemukan saya di taman, atau punya firasat tentang itu. Kami memetik jamur dan berbincang, dan ketika dia bertanya dia berjalan sedikit lebih maju agar bisa melihat wajah saya.

“Keajaiban terjadi di desa kemarin,” katanya. “Perempuan lumpuh Pelagea sudah sakit sepanjang tahun. Tidak ada dokter atau obat yang bisa menolongnya; tapi kemarin seorang perempuan tua datang dan membisikkan sesuatu kepadanya, lalu penyakitnya pun lenyap."

"Itu bukan apa-apa," kata saya. "Jangan mencari keajaiban cuma di antara orang sakit dan perempuan tua. Bukankah kesehatan juga adalah keajaiban? Dan kehidupan itu juga? Apa pun yang berada di luar nalar adalah keajaiban."

"Tidakkah kau takut terhadap sesuatu yang di luar nalar?"

“Tidak. Fenomena yang tidak aku mengerti aku hadapi dengan berani, dan tidak kewalahan olehnya. Aku di atas mereka. Manusia harus menyadari bahwa dirinya lebih unggul dari singa, harimau, bintang, lebih unggul dari segala sesuatu di alam, bahkan apa yang tampak ajaib dan berada di luar pemahamannya, atau kalau tidak dia bukan manusia, melainkan cuma seekor tikus yang takut pada segala hal."

Genya percaya bahwa sebagai seorang seniman saya tahu banyak hal, dan bisa menebak dengan benar apa yang saya tidak tahu. Dia sangat ingin saya mengajaknya ke wilayah Keabadian dan Keindahan --ke dunia yang lebih tinggi, seperti yang dia bayangkan, tempat saya merasa seperti berada di rumah saya sendiri. Dan dia bicara pada saya tentang Tuhan, tentang kehidupan kekal, tentang keajaiban. Dan saya, yang tidak pernah bisa menerima bahwa diri saya dan imajinasi saya akan hilang setelah kematian, menjawab: "Ya, manusia itu abadi”; “Ya, memang ada kehidupan kekal buat kita.” Dan dia mendengarkan, percaya, dan tidak meminta buktinya.

Saat kami akan pulang dia tiba-tiba berhenti dan berkata:

“Lida kami adalah orang yang luar biasa—bukan? Aku sangat mencintainya, dan siap mengorbankan nyawaku untuknya kapan saja. Tapi katakan padaku" --Genya menyentuh lengan baju saya dengan jarinya-- "katakan padaku, kenapa kau selalu berdebat dengannya? Kenapa kau kesal padanya?"

"Karena dia salah."

Genya menggelengkan kepalanya dan air mata mengalir di matanya.

"Itu tidak masuk akal!" katanya. Pada saat itu Lida baru saja kembali dari suatu tempat, dan berdiri dengan cambuk di tangannya, sosok yang ramping dan cantik di bawah sinar matahari, di tangga, dia memberi beberapa perintah kepada salah satu pemuda. Bicara dengan keras, dia dengan tergesa-gesa menerima dua atau tiga penduduk desa yang sakit; lalu dengan wajah sibuk dan cemas dia berkeliling ke setiap kamar, membuka lemari satu demi satu, dan naik ke lantai atas. Cukup lama sebelum mereka bisa menemukannya dan memanggilnya untuk makan malam, dan dia datang ketika kami sudah menghabiskan sup kami. Semua detail kecil ini saya ingat dengan baik, dan sepanjang hari itu saya mengingatnya dengan jelas, meskipun tidak ada hal istimewa yang terjadi. Setelah makan malam, Genya berbaring sambil membaca di kursi, sementara saya duduk di anak tangga paling bawah teras. Kami semua diam. Seluruh langit tertutup awan, dan hujan lebat mulai turun. Cuacanya panas; angin sudah mereda, dan tampaknya hari itu tidak akan pernah berakhir. Ekaterina Pavlovna keluar ke teras, tampak mengantuk dan membawa kipas angin.

“Oh, Ibu,” kata Genya sambil mencium tangannya, “tidak baik buat Ibu tidur di siang hari.”

Mereka saling mencintai. Ketika salah satu pergi ke taman, yang lain akan berdiri di teras, dan sambil melihat ke arah pohon, berteriak "Aa--oo, Genya!" atau "Ibu, di mana kamu?" Mereka selalu berdoa bersama, dan memiliki keyakinan yang sama; dan mereka saling memahami satu sama lain dengan sempurna bahkan ketika mereka tidak bicara. Dan sikap mereka terhadap orang-orang sama. Ekaterina Pavlovna juga cepat terbiasa dengan saya dan menyukai saya, dan ketika saya tidak datang selama dua atau tiga hari, dia menyuruh orang untuk bertanya apakah saya baik-baik saja. Dia juga memandang lukisan saya dengan antusias, dan dengan keterbukaan dan kesiapan yang sama untuk mengobrol seperti Misuce, dia menceritakan kepada saya apa yang terjadi, dan menceritakan kepada saya rahasia-rahasia rumah tangganya.

Dia memiliki rasa hormat yang sempurna kepada putri sulungnya. Lida tidak peduli dengan kasih sayang, dia hanya bicara tentang hal-hal yang serius; dia menjalani hidupnya terpisah, dan terhadap ibu dan saudara perempuannya dia bersikap seperti orang suci dan penuh teka-teki seperti laksamana yang selalu duduk di kabinnya bagi para pelaut.

"Lida kami adalah orang yang luar biasa," sang ibu sering berkata. "Benar, kan?"

Sekarang, ketika hujan gerimis, kami mulai bicara tentang Lida.

“Dia adalah gadis yang luar biasa,” kata ibunya, dan menambahkan dengan suara pelan, seperti seorang konspirator, memandang sekelilingnya dengan takut-takut: "Kau tidak akan menemukan orang seperti dia; hanya saja, tahukah kau, aku mulai merasa sedikit tidak nyaman. Sekolah, klinik, buku-buku --semua itu sangat bagus, tapi kenapa harus begitu ekstrem? Dia berumur tiga puluh, kau tahu; sudah waktunya baginya untuk berpikir serius tentang dirinya sendiri. Dengan buku-buku dan kliniknya, dia akan menemukan bahwa hidup sudah berlalu tanpa menyadarinya... Dia seharusnya sudah menikah."

Genya, mengalihkan pandangannya dari bacaannya, dengan rambut yang acak-acakan, mengangkat kepalanya dan berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri, sambil menatap ibunya:

"Ibu, semua ada di tangan Tuhan."

Lalu kembali tenggelam dengan bukunya.

Byelokurov datang dengan tunik dan kemeja bersulamnya. Kami bermain kroket dan tenis, lalu ketika hari mulai gelap, kami duduk lama sekali sambil makan malam dan bicara lagi tentang sekolah, dan tentang Balagin, yang menguasai seluruh distrik di bawah kekuasaannya. Saat saya meninggalkan keluarga Voltchaninov malam itu, saya membawa pergi kesan hari yang sangat, sangat panjang, dengan kesadaran melankolis bahwa segala sesuatu akan berakhir di dunia ini, betapa pun lamanya.

Genya mengantar kami sampai ke gerbang, dan mungkin karena dia sudah bersama saya sepanjang hari, dari pagi sampai malam, saya merasa bosan kalau tidak ada dia, dan semua anggota keluarga yang menawan itu dekat dan sayang kepada saya, dan untuk pertama kalinya pada musim panas itu saya ingin melukis.

"Katakan padaku, kenapa kau menjalani kehidupan yang suram dan tak berwarna seperti ini?" tanya saya pada Byelokurov saat saya berjalan pulang. "Hidupku suram, sulit, dan monoton karena aku seorang seniman, orang aneh. Sejak kecil aku sudah dihinggapi rasa iri, ketidakpuasan pada diri sendiri, tidak percaya pada karya-karyaku. Aku selalu miskin. Aku seorang pengembara, tapi kau --kau laki-laki yang sehat dan normal, tuan tanah, dan seorang laki-laki terhormat. Kenapa kau hidup dengan cara yang tidak menarik? Kenapa kau tidak menikmati hidupmu? Kenapa kau, misalnya, tidak jatuh cinta pada Lida atau Genya?"

“Kau lupa bahwa aku mencintai perempuan lain,” jawab Byelokurov.

Dia merujuk pada Liubov Ivanovna, perempuan yang tinggal serumah dengannya. Setiap hari saya melihat perempuan ini, sangat gemuk, bulat, dan berwibawa, bukan seperti seekor angsa yang gemuk, berjalan-jalan di taman, dalam pakaian tradisional Rusia dan manik-manik, selalu membawa payung; dan pembantunya selalu memanggilnya untuk makan malam atau minum teh. Tiga tahun sebelumnya dia mengambil salah satu pondok untuk liburan musim panas, dan tinggal di rumah Byelokurov tampaknya untuk selamanya. Perempuan itu sepuluh tahun lebih tua darinya, dan memegang tangannya dengan erat, sehingga dia harus meminta izin pada perempuan itu setiap dia mau keluar rumah. Perempuan itu sering terisak-isak dengan nada maskulin yang dalam, dan saya biasa mengirim pesan kepadanya bahwa kalau dia tidak berhenti, saya akan meninggalkan kamar saya; lalu dia pun berhenti.

Ketika kami sampai di rumah, Byelokurov duduk di sofa dan mengerutkan kening sambil berpikir, dan saya mulai berjalan naik turun ruangan, menyadari emosi lembut seolah-olah saya sedang jatuh cinta. Saya ingin bicara tentang keluarga Voltchaninov.

“Lida hanya bisa jatuh cinta pada seorang anggota Zemstvo, karena dia mengabdikan dirinya pada sekolah dan rumah sakit seperti adanya dia," kataku. "Oh, demi seorang gadis seperti itu, seseorang tidak hanya mau masuk Zemstvo, tapi bahkan memakai sepatu besi, seperti gadis dalam dongeng. Dan Misuce? Betapa manisnya dia, Misuce!"

Byelokurov, yang bergumam "Er--er," mulai berdiskusi panjang lebar tentang penyakit umur --pesimisme. Dia bicara dengan percaya diri, dengan nada seolah-olah saya tidak sepakat dengannya. Ratusan mil padang rumput yang tandus, monoton, dan terbakar tidak bisa menimbulkan depresi yang mendalam seperti yang dialami seseorang ketika dia duduk dan bicara, dan tidak tahu kapan dia akan pergi.

"Ini bukan masalah pesimisme atau optimisme," kata saya kesal; "hanya saja sembilan puluh sembilan dari seratus orang, tidak ada yang punya akal sehat."

Byelokurov menganggap ucapan itu ditujukan kepada dirinya, merasa tersinggung, lalu pergi.

III

"Pangeran menginap di Malozyomovo, dan dia meminta untuk diingatkan kepadamu," kata Lida kepada ibunya. Dia baru saja masuk, dan sedang melepas sarung tangannya. "Dia memberi banyak berita menarik... Dia berjanji untuk mengangkat masalah pusat bantuan medis di Malozyomovo lagi di majelis provinsi, tapi dia mengatakan harapannya kecil.” Dan menoleh ke arahku, dia berkata: “Maaf, aku selalu lupa bahwa ini tidak menarik buatmu."

Saya merasa kesal.

"Kenapa tidak menarik buatku?" kata saya sambil mengangkat bahu. "Kau tidak peduli untuk tahu pendapatku, tetapi kujamin pertanyaan itu sangat menarik buatku."

"Oh, ya?"

"Ya. Menurutku, pusat bantuan medis di Malozyomovo sama sekali tidak diperlukan."

Rasa jengkel saya menular padanya; dia menatap saya, memicingkan matanya, dan bertanya:

"Apa yang dibutuhkan? Pemandangan?"

"Pemandangan juga tidak. Tidak ada."

Dia selesai melepas sarung tangannya, dan membuka koran, yang baru saja dibawa dari pos. Semenit kemudian dia berkata pelan, jelas menahan diri:

“Minggu lalu Anna meninggal saat melahirkan, dan kalau ada pusat bantuan medis di dekatnya, dia akan hidup. Dan kupikir bahkan pelukis pemandangan harus memiliki beberapa pendapat soal ini."

“Aku punya pendapat yang sangat pasti tentang hal itu, kujamin,” jawab saya; dan dia menutupi dirinya dengan koran, seolah tidak mau mendengarkan saya. "Menurutku, semua sekolah, klinik, perpustakaan, pusat bantuan medis, dalam kondisi saat ini, hanya akan memperparah ketergantungan rakyat. Para petani terbelenggu oleh rantai, dan kau tidak memutus rantai tersebut, tapi justru menambah mata rantai baru padanya –itulah pandanganku soal itu."

Dia mengangkat matanya ke arah saya dan tersenyum ironis, dan saya terus mencoba merumuskan ide utama.

“Yang penting bukanlah Anna meninggal saat melahirkan, tapi semua keluarga Anna, keluarga Mavra, keluarga Pelagea, bekerja keras dari pagi sampai malam, jatuh sakit karena bekerja melebihi kekuatan mereka, seluruh hidup mereka gemetar memikirkan anak-anak mereka yang sakit dan kelaparan, sepanjang hidup mereka harus diobati, dan karena takut terhadap kematian dan penyakit, mereka menjadi layu dan tua lebih awal, serta mati dalam kotoran dan bau busuk. Anak-anak mereka memulai cerita yang sama saat mereka dewasa, dan begitu seterusnya selama ratusan tahun dan milyaran manusia hidup lebih buruk daripada binatang --dalam ketakutan terus-menerus, hanya untuk sepotong roti. Seluruh kengerian posisi mereka terletak pada kenyataan bahwa mereka tidak pernah punya waktu untuk memikirkan jiwa mereka, tentang citra dan rupa mereka. Dingin, lapar, teror binatang, beban kerja keras, bagaikan longsoran salju, menghalangi setiap jalan bagi mereka menuju aktivitas spiritual --yaitu, menuju apa yang membedakan manusia dari binatang dan satu-satunya hal yang membuat kehidupan layak untuk dijalani. Kau membantu mereka dengan rumah sakit dan sekolah, tapi kau tidak membebaskan mereka dari belenggu mereka dengan itu; sebaliknya, kau mengikat mereka dalam ikatan yang lebih erat, dengan memperkenalkan prasangka baru, kau meningkatkan jumlah keinginan mereka, belum lagi fakta bahwa mereka harus membayar kepada Zemstvo untuk obat-obatan dan buku, dan bekerja lebih keras daripada sebelumnya."

"Aku tidak akan berdebat denganmu," kata Lida sambil meletakkan koran itu. "Aku sudah pernah mendengar semua itu sebelumnya. Aku cuma akan mengatakan satu hal: orang tidak bisa duduk berpangku tangan. Memang benar bahwa kami tidak menyelamatkan manusia, dan mungkin kami melakukan banyak kesalahan; tapi kita melakukan apa yang kita bisa, dan kita benar. Tugas tertinggi dan paling suci bagi makhluk beradab adalah melayani tetangganya, dan kami mencoba melayani mereka sebaik mungkin. Kau tidak menyukainya, tapi orang tidak bisa menyenangkan semua orang."

"Itu benar, Lida," kata ibunya--"itu benar."

Di hadapan Lida ibunya selalu malu-malu, dan menatapnya dengan gugup saat dia bicara, takut mengatakan sesuatu yang berlebihan atau tidak tepat waktu. Dan dia tidak pernah menentangnya, tapi selalu setuju: "Itu benar, Lida --itu benar."

“Mengajari para petani untuk membaca dan menulis, buku-buku berisi ajaran dan sajak yang buruk, dan

pusat-pusat bantuan medis, tidak bisa mengurangi kebodohan atau tingkat kematian, sama seperti lampu dari jendelamu tidak bisa menerangi taman yang luas ini," kata saya. "Kau tidak memberikan apa pun. Dengan mencampuri kehidupan orang-orang ini, kau hanya menciptakan keinginan baru dalam diri mereka, dan tuntutan baru pada pekerjaan mereka."

"Akh! Ya Tuhan! Tapi kita harus melakukan sesuatu!" kata Lida dengan kesal, dan dari dari nada suaranya, orang bisa melihat bahwa dia menganggap argumen saya tidak berharga dan membencinya.

“Masyarakat harus dibebaskan dari kerja fisik yang berat,” kata saya. “Kita harus meringankan beban mereka, berikan mereka waktu untuk bernapas, sehingga mereka tidak menghabiskan seluruh hidup mereka di depan tungku, di bak cuci, dan di ladang, tapi juga punya waktu untuk memikirkan jiwa mereka, memikirkan Tuhan --mungkin punya waktu untuk mengembangkan kapasitas spiritual mereka. Panggilan tertinggi manusia adalah aktivitas spiritual-- pencarian terus-menerus akan kebenaran dan makna hidup. Buatlah pekerjaan kasar hewani tidak diperlukan buat mereka, biarkan mereka merasa bebas, kemudian kau akan melihat betapa menghinanya klinik dan buku-buku ini. Begitu seseorang menyadari panggilan hidupnya yang sebenarnya, dia hanya bisa dipuaskan dengan agama, ilmu pengetahuan, dan seni, dan bukan melalui hal-hal remeh-temeh ini."

"Membebaskan mereka dari kerja?" Lida tertawa. "Tapi apakah itu mungkin?"

"Ya. Coba ambillah bagian dari kerja keras mereka. Kalau kita semua, masyarakat kota dan desa, semua tanpa kecuali, setuju untuk membagi pekerjaan yang mana dihabiskan orang untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, mungkin kita masing-masing cuma akan perlu bekerja dua atau tiga jam sehari. Bayangkan kita semua, kaya dan miskin, bekerja hanya tiga jam sehari, dan sisa waktu kita bebas. Bayangkan lebih jauh bahwa untuk semakin sedikit kita bergantung pada tubuh kita dan untuk lebih sedikit bekerja, kita menciptakan mesin untuk menggantikan pekerjaan kita, kita mencoba untuk mengurangi kebutuhan kita sampai seminimal mungkin. Kita menegaskan pada diri kita sendiri dan anak-anak kita bahwa mereka tidak perlu takut pada kelaparan dan kedinginan, dan bahwa kita tidak perlu terus-menerus gemetar ketakutan akan kesehatan mereka seperti Anna, Mavra, dan Pelagea. Bayangkan kita tidak mengobati diri kita sendiri, tidak membuat klinik, pabrik tembakau, tempat penyulingan --betapa banyaknya waktu luang akan tersisa buat kita semua! Kita semua bersama-sama akan mengabdikan waktu luang kita untuk ilmu pengetahuan dan seni. Sama seperti petani yang kadang-kadang bekerja, seluruh masyarakat bersama-sama memperbaiki jalan, sehingga kita semua, sebagai sebuah komunitas, akan mencari kebenaran dan makna kehidupan, dan aku yakin bahwa kebenaran akan ditemukan dengan sangat cepat; manusia akan lari dari ketakutan akan kematian yang terus menerus, menyakitkan, dan menindas, dan bahkan dari kematian itu sendiri."

"Tapi kau bertentangan dengan dirimu sendiri," kata Lida. "Kau bicara tentang ilmu pengetahuan, sementara kau sendiri menentang pendidikan dasar."

“Pendidikan dasar ketika seseorang tidak punya apa-apa untuk dibaca selain  papan tanda di tempat-tempat umum dan kadang-kadang buku-buku yang tidak bisa dipahami orang --pendidikan seperti itu sudah ada di kita sejak zaman Rurik5; Petrushka6-nya Gogol7 sudah dibaca dari lama, tapi karena desa itu ada di zaman Rurik jadi dia masih tetap begitu. Yang dibutuhkan bukan yang pendidikan dasar, tapi kebebasan untuk mengembangkan kapasitas spiritual yang luas. Yang dibutuhkan bukan sekolah, tapi universitas."

"Kau juga menentang pengobatan."

“Ya. Itu hanya diperlukan untuk mempelajari penyakit sebagai fenomena alam, bukan untuk menyembuhkannya. Kalau seseorang mau mengobati, bukan penyakitnya, tapi penyebabnya. Hilangkan penyebab utamanya --kerja fisik, maka tidak akan ada penyakit. Aku tidak percaya pada ilmu yang menyembuhkan penyakit," lanjut saya dengan bersemangat. "Ketika ilmu dan seni menjadi nyata, mereka tidak bertujuan pada tujuan pribadi sementara, tapi pada tujuan abadi dan universal --mereka mencari kebenaran dan makna hidup, mereka mencari Tuhan, mencari jiwa, dan ketika mereka terikat pada kebutuhan dan kejahatan hari ini, pada klinik dan perpustakaan, mereka hanya mempersulit dan menghambat kehidupan. Kita punya banyak dokter, ahli kimia, pengacara, banyak orang yang bisa membaca dan menulis, tapi kita sama sekali tidak memiliki ahli biologi, matematikawan, filsuf, dan penyair. Seluruh kecerdasan kita, seluruh energi spiritual kita, dihabiskan untuk memuaskan kebutuhan sementara, kebutuhan sekejap. Ilmuwan, penulis, seniman, bekerja keras; berkat mereka, kemudahan hidup semakin bertambah dari hari ke hari. Tuntutan fisik kita meningkat, tapi kebenaran masih jauh dari kenyataan, dan manusia masih tetap menjadi binatang yang paling rakus dan paling kotor; segala sesuatu yang mengarah pada kemerosotan mayoritas umat manusia, dan hilangnya semua kemampuan untuk hidup selamanya. Dalam kondisi seperti itu, karya seorang seniman tidak memiliki makna, dan semakin berbakat dia, semakin aneh dan semakin tidak bisa dipahami posisinya, karena ketika kita perhatikan, jelaslah bahwa dia bekerja untuk menghibur binatang yang rakus dan kotor, dan mendukung tatanan yang ada. Dan aku tidak peduli pada kerja dan aku tidak akan bekerja... Tidak ada gunanya; biarkan bumi tenggelam menuju kehancuran!"

“Misuce, keluar dari kamar!” kata Lida kepada adiknya, sepertinya dia berpikir bahwa kata-kata saya berbahaya buat gadis muda itu.

Genya menatap ibu dan saudara perempuannya dengan sedih, lalu keluar dari ruangan.

“Itu adalah hal-hal menakjubkan yang dikatakan orang ketika mereka ingin membenarkan ketidakpedulian mereka,” kata Lida. "Lebih mudah untuk tidak setuju pada sekolah dan rumah sakit, daripada mengajar atau mengobati."

“Itu benar, Lida —itu benar,” sang ibu mengiyakan.

"Kau berkata tidak mau bekerja," kata Lida. "Kau jelas-jelas menganggap penting pekerjaanmu. Mari kita berhenti berdebat; kita tidak akan pernah sepakat, karena aku menempatkan klinik dan perpustakaan yang tidak sempurna yang baru saja kau bicarakan dengan nada menghina di tingkat yang lebih tinggi daripada pemandangan apapun." Dan segera berbalik ke ibunya, lalu dia mulai bicara dengan nada yang berbeda: "Sang Pangeran sudah sangat banyak berubah, dan jauh lebih kurus daripada saat dia terakhir bersama kita. Dia akan dikirim ke Vichy."

Dia bercerita kepada ibunya tentang pangeran itu untuk menghindari bicara dengan saya. Wajahnya berseri-seri, dan untuk menyembunyikan perasaannya dia membungkuk rendah di atas meja seolah-olah dia rabun dekat, dan berpura-pura membaca koran. Kehadiran saya tidak menyenangkan baginya. Saya mengucapkan selamat tinggal lalu pulang.

IV

Suasana di luar masih cukup sunyi; desa di seberang kolam sudah tertidur; tidak ada cahaya yang terlihat, dan hanya bintang-bintang yang samar-samar tercermin di kolam. Di gerbang dengan singa di atasnya Genya berdiri tak bergerak, menunggu untuk mengantar saya.

“Semua orang di desa sudah tidur,” kata saya padanya, mencoba melihat wajahnya di kegelapan, dan saya melihat matanya yang gelap dan sedih menatap saya. "Pemilik tempat-tempat umum dan pencuri kuda sudah tidur, sementara kita, orang-orang terpelajar, bertengkar dan saling membuat jengkel satu sama lain."

Itu adalah suatu malam di bulan Agustus yang melankolis --melankolis karena sudah ada perasaan musim gugur; bulan terbit di balik awan ungu, dan memancarkan cahaya redup ke jalan dan di ladang gelap jagung musim dingin di sisi-sisinya. Tiba-tiba sebuah bintang jatuh. Genya berjalan di samping saya sepanjang jalan, dan berusaha untuk tidak melihat ke langit, agar dia tidak melihat bintang jatuh, yang entah kenapa membuatnya takut.

"Aku yakin kau benar," katanya sambil menggigil karena udara malam yang lembab. "Kalau orang-orang, semua bersama-sama, bisa mengabdikan diri mereka pada tujuan spiritual, mereka akan segera mengetahui segalanya."

"Tentu saja. Kita adalah makhluk yang lebih tinggi, dan kalau kita benar-benar menyadari seluruh kekuatan kejeniusan manusia dan hidup hanya untuk tujuan yang lebih tinggi, pada akhirnya kita akan menjadi dewa. Tapi itu tidak akan pernah terjadi --umat manusia akan merosot hingga tidak ada lagi jejak kejeniusan."

Ketika gerbang sudah tak terlihat, Genya berhenti dan berjabat tangan dengan saya.

"Selamat malam," katanya sambil menggigil; dia tidak mengenakan apa pun kecuali blusnya di bahunya dan meringkuk karena kedinginan. "Datanglah besok."

Saya merasa sedih ketika memikirkan akan ditinggal sendirian, kesal dan tidak puas dengan diri saya sendiri dan orang lain; dan saya juga berusaha untuk tidak melihat bintang jatuh. "Tunggulah sebentar lagi," kata saya padanya, "aku mohon padamu."

Saya mencintai Genya. Saya pasti mencintainya karena dia menemui saya saat saya datang dan mengantar saya ketika saya pergi; karena dia menatap saya dengan lembut dan antusias. Betapa sangat indah wajahnya yang pucat, lehernya yang ramping, lengannya yang ramping, kelemahannya, kemalasannya, bacaannya. Dan kecerdasannya? Saya curiga kecerdasannya di atas rata-rata. Saya terpesona dengan luasnya pandangannya, mungkin karena pandangannya berbeda dengan Lida yang tegas dan cantik, yang tidak menyukai saya. Genya menyukai saya, karena saya seniman. Saya sudah menaklukkan hatinya dengan bakat saya, dan memiliki hasrat yang besar untuk melukis  hanya untuknya saja; dan saya memimpikannya sebagai ratu kecil saya yang bersama saya akan memiliki semua pohon-pohon, ladang-ladang, kabut, fajar, pemandangan yang indah dan menyejukkan di tengah-tengah sesuatu  yang membuat saya merasa sangat kesepian dan tidak berguna.

"Tunggulah sebentar lagi," pinta saya padanya. "Aku mohon padamu."

Saya melepas mantel saya dan meletakkannya di bahunya yang dingin; takut terlihat jelek dan absurd dalam mantel laki-laki, dia tertawa, melepaskannya, dan pada saat itu saya meletakkan tangan saya melingkarinya dan menutupi wajah, bahu, dan tangannya dengan ciuman.

"Sampai besok," bisiknya, lembut, seolah takut memecah kesunyian malam itu, dia memeluk saya. "Kita tidak punya rahasia satu sama lain. Aku harus memberi tahu ibu dan kakakku sekaligus... Sungguh mengerikan! Ibu tidak apa-apa; Ibu menyukaimu --tapi Lida!"

Dia berlari ke gerbang.

"Selamat tinggal!" serunya.

Kemudian selama dua menit saya mendengar dia berlari. Saya tidak ingin pulang, dan tidak ada yang ingin saya kerjakan. Saya berdiri diam ragu-ragu sejenak, lalu berjalan perlahan kembali, untuk melihat sekali lagi ke rumah tempat dia tinggal, rumah tua yang manis dan sederhana, yang tampaknya sedang mengawasi saya dari jendela lantai atasnya, dan memahami semuanya. Saya berjalan melewati teras, duduk di kursi di dekat lapangan tenis, di bawah kegelapan pohon elm tua, dan melihat dari sana ke arah rumah itu. Di jendela lantai atas tempat Misuce tidur muncul cahaya terang, yang berubah menjadi hijau lembut --mereka sudah menutup lampu dengan kap lampu. Bayangan mulai bergerak.... Saya dipenuhi kelembutan, kedamaian, dan kepuasan terhadap diri saya sendiri --kepuasan karena mampu terbawa suasana oleh perasaan saya dan jatuh cinta, dan pada saat yang sama saya merasa tidak nyaman pada pikiran bahwa hanya beberapa langkah dari saya, di salah satu ruangan rumah itu ada Lida, yang tidak menyukai dan mungkin membenci saya. Saya tetap duduk di sana sambil bertanya-tanya apakah Genya akan keluar; saya mencoba mendengar dan membayangkan mendengar suara-suara orang berbicara di lantai atas.

Sekitar satu jam berlalu. Lampu hijau padam, dan bayangan tidak terlihat lagi. Bulan berdiri tinggi di atas rumah itu, dan menerangi taman yang sedang tertidur dan jalan setapak; bunga dahlia dan bunga mawar di depan rumah itu terlihat jelas, dan semuanya kelihatan berwarna sama. Cuaca mulai menjadi sangat dingin. Saya keluar dari taman, mengambil mantel di jalan, dan perlahan berjalan pulang.

Ketika besoknya setelah makan malam saya pergi ke rumah keluarga Voltchaninov, pintu kaca menuju taman terbuka lebar. Saya duduk di teras, menunggu Genya setiap menit, muncul dari di belakang hamparan bunga di halaman, atau dari salah satu jalan, atau sampai saya bisa mendengar suaranya dari dalam rumah. Lalu saya masuk ke ruang tamu, ke ruang makan. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Dari ruang makan saya berjalan sepanjang koridor panjang menuju aula dan kembali. Di koridor ini ada beberapa pintu, dan melalui salah satu dari pintu itu saya mendengar suara Lida:

“‘Tuhan... mengirim... seekor gagak,’” katanya dengan suara keras dan tegas, mungkin sedang mendiktekan --“‘Tuhan mengirim seekor gagak, sepotong keju... Seekor gagak... sepotong keju...' Siapa di sana?" dia berkata tiba-tiba, mendengar suara langkah saya.

"Ini aku."

"Ah! Maaf, aku tidak bisa keluar menemuimu saat ini; aku sedang memberi Dasha pelajaran."

“Apakah Ekaterina Pavlovna ada di taman?”

"Tidak, dia pergi bersama saudara perempuanku pagi ini ke bibi kami di provinsi Penza. Dan di musim dingin mereka mungkin akan pergi ke luar negeri," tambahnya setelah jeda sebentar. "'Tuhan mengirim... gagak... sepotong...keju...' Apakah kau sudah menuliskannya?"

Saya masuk ke aula, dan menatap kosong ke kolam dan desa, dan suara itu sampai kepada saya "Sepotong keju... Tuhan mengirim sepotong keju kepada seekor gagak."

Dan saya kembali melalui jalan yang sama seperti saat saya pertama kali datang ke sini --pertama dari halaman ke taman melewati rumah, lalu ke jalan yang dipenuhi pohon jeruk nipis.... Pada titik ini saya disusul oleh seorang anak kecil yang memberi saya sebuah catatan:

"Aku sudah menceritakan semuanya pada kakakku dan dia bersikeras agar aku berpisah denganmu," saya membaca. "Aku tidak bisa melukainya dengan tidak mematuhinya. Tuhan akan memberimu kebahagiaan. Maafkan aku. Kalau saja kau tahu betapa sedihnya ibuku dan aku menangis!"

Lalu ada jalan cemara yang gelap, pagar yang rusak.... Di ladang tempat gandum hitam sedang berbunga dan burung cerek memanggil, sekarang ada sapi dan kuda yang tertatih-tatih. Di lereng ada petak-petak jagung musim dingin berwarna hijau cerah. Perasaan tenang dari keseharian itu menghampiri saya dan saya merasa malu dengan semua yang sudah saya katakan di rumah keluarga Voltchaninov, dan saya merasa bosan dengan kehidupan seperti sebelumnya. Ketika sampai di rumah, saya berkemas dan berangkat malam itu juga ke Petersburg.

***

Saya tidak pernah melihat keluarga Voltchaninov lagi. Belum lama ini, dalam perjalanan saya ke Krimea, saya bertemu Byelokurov di dalam kereta. Seperti sebelumnya, dia mengenakan jaket dan kemeja bersulam, dan

ketika saya bertanya bagaimana keadaannya, dia menjawab, terpujilah Tuhan, dia baik-baik saja. Kami mulai bercakap-cakap. Dia sudah menjual tanah miliknya dan membeli tanah lain yang lebih kecil, atas nama Liubov Ivanovna. Dia tidak bisa bercerita banyak tentang keluarga Voltchaninov. Lida, katanya, masih tinggal di Shelkovka dan mengajar di sekolah; dia secara bertahap berhasil mengumpulkan lingkaran orang-orang yang bersimpati padanya yang membuat partai yang kuat, dan pada pemilu terakhir megalahkan Balagin, yang hingga saat itu masih menguasai seluruh distrik di bawah kekuasaannya. Tentang Genya dia hanya memberitahu saya bahwa dia tidak tinggal di rumah itu, dan dia tidak tahu di mana dia berada.

Saya mulai melupakan rumah itu, dan hanya kadang-kadang ketika saya sedang melukis atau membaca, tiba-tiba saya teringat lampu hijau di jendela, suara langkah kaki saya saat saya berjalan pulang melewati ladang di malam hari, dengan hati yang penuh dengan cinta, menggosok-gosok tangan saya dalam dingin. Dan kadang-kadang, di saat saya sedih dan tertekan karena kesepian, saya punya ingatan samar, dan sedikit demi sedikit saya mulai merasa bahwa dia juga memikirkan saya --bahwa dia sedang menunggu saya, dan bahwa kami akan bertemu....

Misuce, di manakah kau berada?

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Rumah seigniorial: dikenal sebagai rumah bangsawan atau tempat tinggal seigneurial, adalah jenis tempat tinggal yang dibangun dan dihuni oleh seorang seigneur, tuan tanah feodal, dalam konteks sistem penguasaan tanah seigneurial.

2 Zemstvo: lembaga pemerintahan lokal yang didirikan sebagai konsekuensi dari reformasi emansipasi tahun 1861 di Kekaisaran Rusia oleh Kaisar Alexander II dari Rusia. Nikolay Milyutin menguraikan gagasan zemstvo, dan undang-undang zemstvo pertama mulai berlaku pada tahun 1864. Setelah Revolusi Oktober 1917, sistem zemstvo ditutup oleh kaum Bolshevik dan digantikan dengan sistem bertingkat dewan pekerja dan petani ("soviet").

3 Oleograf: cetakan seni multiwarna, juga dikenal sebagai kromolitograf, yang dirancang menyerupai lukisan cat minyak, sering kali diproduksi dengan menggunakan beberapa batu atau balok kayu untuk pencetakan dan pewarnaan tangan.

4 Mignonette: juga dikenal sebagai reseda; genus tanaman herba harum yang berasal dari Eropa, Asia barat daya dan Afrika Utara, dari Kepulauan Canary dan Iberia timur hingga India barat laut. 

5 Rurik: seorang kepala suku Varangian dari Rus' yang, menurut tradisi, dipanggil untuk memerintah di Novgorod pada tahun 862.Secara tradisional, Rurik dianggap sebagai pendiri dinasti Rurik, yang merupakan dinasti penguasa Kievan Rus' dan kerajaan-kerajaannya, dan akhirnya menjadi Tsar Rusia, hingga kematian Feodor I pada tahun 1598.

6 Petrushka: tokoh dalam novel Dead Soul karya Gogol.

7 Nikolai Vasilyevich Gogol (1809–1852): seorang novelis, penulis cerita pendek, dan penulis drama Rusia asal Ukraina.

Comments

Populer